Ibuku adalah sosok yang kulihat antagonis, ia sama sekali
tidak melankolis. Kami sering sekali bertengkar karena hal-hal yang kecil. Aku
masih suka menyalahkan ibu karena sangat jarang menyempatkan waktu untuk
mengasuhku dari kecil. Ia sangat sibuk bekerja, ia sibuk mengurus ayah ketika
sakit. Ibu itu sangat keras kepala jika bertengkar dengan ku. Lalu aku biasa
menutup pintu kamar atau tidak mau menelponnya selama berhari-hari. Tapi ibu
tetaplah ibu, meski aku bertingkah polah menyulut pertengkaran, ia tetap setia
menantiku pulang. Meski dia tahu aku jengkel karena pulang artinya aku tidak
akan lama denganya. Ibu tetap bekerja dan pulang hingga malam.
Aku semacam anak yang tumbuh mandiri tanpa ibu yang
senantiasa ada. Mungkin memang seperti itulah aku dibentuk. Aku sangat biasa
memutuskan semuanya sendiri, bahkan sekolah pun aku mendaftar sendiri. Ibu tak
pernah berguman ini itu soal pilihanku sekolah. Tetapi ia sering menganggapku
liar karena sulit diatur. Aku pemberontak ulung dirumah. Aku memang tak suka
jadi gadis jawa Solo, yang duduknya diatur. Aku benci aturan-aturan, ayah yang
liberal membuatku lebih suka bergaul denganya, tetapi setelah ayah tak ada,
tinggalah ibu yang diajak bicara. Aku tak siap. Aku melawan dan mengobarkan
perang.
Setiap minggu, aku dan ibu bertengkar karena hal sepele. Aku
tidak pulang, main hingga sore atau tiba-tiba sudah berada diluar kota tanpa
sepengetahuanya. Begitu ia menelpon, ia akan terkaget aku ada di Banyuwangi,
Bandung, Jakarta, Bangkok, Singapura, Bali dan Lombok. Ya, betapa ia mungkin
tidak siap, anaknya tumbuh dengan dobrakan aturan. Ibuku shock ketika melihatku
hanya memakai celana pendek ketika pulang ke Solo. Ibuku geleng-geleng kepala
ketika ke acara arisan keluarga, aku mengenakan kaos. Intinya ibuku adalah
orang yang sangat ketat aturan, sementara aku orang paling santai didunia. Aku
tak suka birokrasi, aku tak suka janji-janji. Ibu sering bilang jadi perempuan
harus nurut, tetapi aku adalah contoh kegagalan abadi. Bagaimana aku lebih
sering beragumen menurut pandanganku dan menentang cara ibu. Dan ibu selalu
mengalah, ia hidup untuk mengalah pada anaknya yang tak tahu aturan ini.
Semakin kesini, hubunganku dengan ibu memang kumaknai lebih
dalam. Kami sering bertengkar karena watak kami memang sama. Sama-sama ngotot,
sama-sama ngeyel. Itulah kenapa aku lebih cocok berbicara dengan ayah ketimbang
berbicara dengan ibu. Ibu adalah cermin dari keras kepalanya Nyai Ontosoroh
dalam berbisnis. Ibuku pebisnis ulung, tak ada yang bisa mengalahkan kuatnya ia
mengatur keuangan rumah tangga, memiliki toko dagang, persewaan, mengurus sawah
dan beberapa tenaga kerja dirumah. Aku yakin, ia lah sumber kekuatan, penopang
keluarga ketika ayah ambruk, kakak-kakak sudah sibuk dengan urusannya sendiri.
Ibu tetap siap, ibu tetap sigap dalam keras kepalanya untuk merawat ayah
sendiri, ia ingin mengabdikan hidupnya untuk suaminya.
Karakternya menurun kepadaku, ia menurunkan sifat kerja
keras dan mandiri. Ia mengajarkan nilai-nilai tekad yang kuat meraih cita-cita.
Ibu ingin aku belajar rajin, sekolah diluar negeri dan bekerja mandiri. Tapi
mungkin ia bukan orang yang bisa berkomunikasi dengan baik tentang kasih
sayang. Ia keras padaku, tapi melunak ketika aku mulai diam dan mengunci diri
dikamar. Ibu tahu aku bukan sosok yang mudah marah dengan emosional. Aku lebih
suka mengurung diri dikamar, ia tahu jika aku sudah seperti itu, aku sedang
dalam kondisi marah. Lalu ibu mengajakku makan dan berkata manis. Tanda ia
minta maaf dan aku pun luluh
Ibu-ibu, maaf sering sekali membuatmu marah ditelepon.
Karena itu caraku agar kau bisa mencambuku menyelesaikan skripsiku. Maaf kalau
aku tak pulang, semua untukmu. Agar cepat kelar skripsiku, maaf aku sering tak
meluangkan waktu, ini untukmu agar cita-citamu aku sekolah lagi dan mandiri
tercapai. Ku genggam doamu agar aku rajin berdoa dan belajar. Bu,aku ingin kau
bangga, meski hubungan kita selalu naik turun karena karakter kita yang
sama-sama keras kepala, aku paham kita saling menyayangi dengan cara
masing-masing. Dalam teriakan, ketidaksepakatan, dalam kesendirian, semua akan
berlalu dengan baik. Kau akan bahagia bu, aku janji J