Selasa, 09 Agustus 2016

Frustasi Pendidikan : Sebuah Pengalaman Pribadi Untuk Merespon Full Day School

Dua hari yang lalu, saya sempat tertegun membaca potongan berita dari seorang teman facebook yang mengabarkan bahwa menteri pendidikan, Muhadjir Effendy  akan menerapkan sistem full day school. Sistem ini ditujukan untuk anak-anak SD dan SMP untuk seharian penuh di sekolah. Alasannya, agar mereka tetap bisa diawasi dan tidak terjadi hal-hal yang menyimpang jika pulang sekolah sementara orang tua masih bekerja. Sang menteri kini telah berniat untuk sesegera mungkin mensosialisasikan hal tersebut ke sekolah-sekolah negeri maupun swasta, dari tingkat nasional hingga tingkat daerah. [1]

Membaca berita ini mata saya langsung merah dan saya rasanya pengen teriak sekencang-kencangnya. Saya termasuk anak korban dari  kurikulum dan sudah bertahun-tahun merasa terdzolimi oleh sistem pendidikan yang berantakan di negeri ini. Saya merasa dampak itu masih berpengaruh signifikan pada diri saya pribadi dan sampai hari ini  saya masih berusaha menghilangkan hal itu. Tidak mudah.  Ada semacam trauma yang tidak berkesudahan dan saya baru mulai bisa pelan-pelan bangkit setelah sampai jejang kuliah S1, dimana saya masuk pada departemen dan fakultas yang sesuai dengan minat saya.

Sebagai ilustrasi sederhana, saya masuk di sebuah sekolah dasar yang memberikan ruang untuk bergerak sangat luas. SD saya dikelilingi sawah dan sungai. Saya biasa pulang sekolah bermain di selokan, memancing ikan di sungai bahkan mandi di sungai selepas olahraga. Guru-guru saya membebaskan saya untuk mengekspresikan apa yang saya sukai. Mereka tak monoton mengajar di kelas. Kadang jika kelas menggambar atau menulis puisi, kami dibebaskan berada diluar kelas untuk mencari inspirasi. Tiap musim hujan, area lompat jauh adalah tempat favorit karena bisa main digenangan air sepuasnya. Kasti adalah olahraga sehari-hari, lompat tali, main kelereng, petak umpet, makan kwaci, godril, manisan, mencari buah duwet dan kedodong adalah ritual, memanjat pohon kesemek adalah kenikmatan. Di kelas, kami terbiasa mendongeng didepan kelas, telinga kami juga terbiasa mendengar dongeng tentang kisah nabi-nabi dari guru agama kami, dari situ kami belajar menjadi pendengar yang baik.

Saya juga termasuk anak yang aktif dalam berbagai lomba. Saya dulu ikut olahraga tenis meja hingga tingkat provinsi. Guru dan bapak saya paham, saya anak yang tak bisa diam, maka kemudian keaktifan saya disalurkan lewat olahraga. Selain itu, saya juga ikut pramuka siaga dan ikut berbagai lomba didalamnya. Di SD kira-kira ada 20 piagam yang saya dapat dari berbagai macam lomba. Hingga kemudian, tahun 2001 awan hitam mulai menyelimuti kehidupan saya. Kenikmatan lahir batin dimasa SD lenyap seketika dengan terror bernama kurikulum dan ujian nasional.

Bulan juni 2001, saya masuk sebuah  sekolah favorit di kota saya. Saya mendaftar bersama bapak saya. Dari sebuah sekolah dasar yang penuh dengan pembelajaran dan bermain, berubah menjadi tembok penjara. Hidup saya, saya habiskan dengan 17 mata pelajaran, 8 jam sehari dalam 1 minggu. Setiap hari saya harus membawa buku berat dan berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer menuju sekolah dari jalan raya. Saya harus melepas latihan tenis meja saya, karena banyak waktu yang tersita untuk belajar. Saya harus berkompetisi di bidang yang tak pernah saya suka. Saya pembenci ilmu eksak tapi saya dipaksa dikelas untuk belajar apa yang tidak saya suka. Saya harus belajar fisika, biologi, matematika dan nilai saya memburuk. Saya mendapatkan peringkat paling buncit, sementara di sekolah dasar saya selalu juara kelas. Ini membuat saya frustasi, saya menjadi benci pada sekolah. Sekolah di bangku SMP adalah hal yang paling menyiksa. Saya dipaksa untuk duduk saja didalam kelas selama 8 jam. Tiap pagi, berangakat sekolah adalah hal yang paling menyiksa. Puncaknya, nilai matematika saya semua mendapat 5 selama hamper 4 semester. Saya ingin menangis setiap hari. Kalau bukan ibu yang menyuruh saya bertahan, saya sudah quit dari sekolah. Ibu saya hanya bilang bertahan saja nduk, setidaknya ini satu-satunya jalur yang bisa kamu tempuh. Sabar saja ya. Saat itu, tak ada opsi sekolah alternatif di kota saya yang bisa membuka ruang bagi kreatifitas, misalkan sekolah alam atau sekolah seni dll. Ibu kemudian memberikan kebebasan bagi saya untuk ikut aktivitas yang saya suka diluar pelajaran, ibu menyuruh saya les yang saya suka,  les menyanyi, ikut pramuka sebagai ganti aktifitas fisik olahraga, ikut karate dll. Tujuannya sederhana, agar saya tidak stress dan frustasi. Nilai saya yang jelek pun tidak pernah diungkit sama ibu. Dia tahu saya sudah banyak pikiran dan kacau karena pelajaran yang bertubi. Ia ingin saya anaknya selamat, setidaknya saya harus lolos dulu di SMP.

Saya lulus dari SMP dengan beban berat seperti bertarung. Saya frustasi dan stress. Imun saya menurun dengan munculnya alergi dalam tubuh saya. Saya gampang sakit. Masuk SMA, dibangku kelas 1, kejadian berulang. Namun sepertinya saya lebih terlatih. Saya mulai bisa memilah dan masa bodoh dengan pelajaran yang saya benci. Saya gak peduli dengan nilai-nilai. Saya berfokus saja pada apa yang saya suka. Saya gak perduli kata orang soal bodohnya saya di kelas. Hidup 3 tahun penuh siksaan kurikulum masa SMP, tidak boleh lagi terulang. Ketika masuk kelas 2 SMA, saya memutuskan masuk ke jalur ilmu sosial. Alasan saya sangat mendasar, saya pembeci ulung pelajaran hitungan. Di jurusan ilmu sosial, saya mulai menata ulang kehidupan sekolah saya. Saya mencoba bangkit pelan-pelan. Saya membangun pertemanan menjadi lebih baik. Dulu saya amat tertutup karena banyak orang menganggap saya bodoh karena gak pinter matematika, fisika, kimia, dll. Saya belajar berempati lagi banyak anak-anak yang mungkin nasibnya seperti saya ketika remaja. Saya membangun pertemanan kecil agar tak kesepian, saya tidak punya genk. Hanya 2-3 teman dekat yang saya punya. Sebagian yang lain adalah teman-teman kelas biasa saja.

Di kelas 2 SMA inlah saya mulai tahu bagaimana membagi focus dan menangani kesedihan saya. Saya pelan-pelan bisa belajar dengan cermat karena mata pelajaran yang tidak banyak. Jumlah jam belajar saya juga tak banyak. Saya mulai dekat dengan laki-laki juga. Saya mulai sering jalan-jalan, menjadi teman curhat banyak teman dan membaca buku yang saya suka, sejarah dan sosiologi. Saya mulai senang membaca Tempo. Saya lebih suka membelanjakan uang untuk membeli buku. Saya merasa bisa bicara didepan orang banyak. Lebih banyak ruang untuk diskusi, negosiasi dan bisa belajar tentang toleransi.  Waktu saya seolah kembali ke zaman SD. Banyak bermain, tidak terbebani meski ada ujian nasional karena saya merasa jauh lebih nyaman pada diri saya sendiri pada waktu itu sebagai remaja. Semuanya bisa saya kendalikan dengan baik. Hal itu terlihat ketika saya diterima di 3 universitas negeri secara bersamaan. Hingga akhirnya saya memutuskan masuk ke UGM.

Di UGM, saat itu tahun 2007. Saya tercatat sebagai mahasiswa FISIPOL. Saya meninggalkan kota kelahiran saya dan memulai hidup mandiri. Awalnya saya takut, tapi saya tahu kalau tidak pergi maka saya tidak akan pernah mandiri. Berdiri di Sansiro, menghadap ke timur, datanglah diatas plaza fisipol dekan waktu itu, Pak Mochtar Masoed. Saya yang baru kenal ospek merasa takut kalau ada kekerasan dan perploncoan. Masih lugu dan sambil tertunduk, saya mendengar ucapan beliau, kurang lebih ucapannya seperti ini;

“Hari ini kalian semua, selamat datang di FISIPOL, kampus kalian, rumah kalian. Anggaplah ini adalah rumah kalian tumbuh dan mendapatkan segala macam ilmu. Dengarkanlah semua, pelajarilah semua, bacalah semua, lalu pilihlah yang kalian anggap benar menurut hati nurani kalian. Kalian disini bukan lagi anak-anak SMA, kalian disini datang sebagai manusia yang dihargai kemanusiaanya”

Selama 17 tahun hidup, saya tidak pernah merasakan diajak berbicara sebagai manusia. Saya tertegun dan sempat meneteskan air mata, namun buru-buru saya hilangkan. Selama saya hidup, pasca duduk dibangku SMP, saya hanya dianggap murid robot. Tak pernah diajak bicara secara setara, dianggap manusia.  Saya hanya jadi korban untuk menerima kurikulum tanpa pernah saya ditanya apakah bersedia atau tidak. Saat itu saya mengingat masa-masa paling pedih yang saya harus habiskan tiap harinya di sekolah dengan penuh beban, selama 8 jam belajar. Frustasi dengan nilai dan ujian. Sementara orang tua saya tidak bisa berbuat banyak karena hanya mekanisme formal itulah yang harus saya lalui. Tidak ada cara yang lain. Merekalah yang membuat saya mau dan mampu bertahan.

Setelah 9 tahun, pasca saya menginjakan kaki di kampus, saya merasa menjadi lebih baik. Saya tahu bertapa bobroknya kurikulum yang selalu berganti-ganti tanpa pernah menimbulkan efek kritis, membebaskan dan  menginspirasi. Kelas yang monoton adalah momok, apalagi full day school yang bisa saja membuat anak tak hanya stress tapi juga depresi. Mereka tidak hanya dikekang kurikulum, jam bermain mereka direnggut, kreatifitas dijarah dan nalar kritis direpresi.  

Saya mungkin salah satu yang selamat dari kesalahan kurikulum karena  orang tua saya punya andil penuh membebaskan saya ketika saya sudah tidak tahan dengan sekolah. Saya memilih jurusan yang tepat dengan minat saya hingga saya berkembang, dan bersyukur pula punya lingkungan kuliah dan komunitas yang sangat supportive kepada saya.

Tapi saya tidak bayangkan, bagaimana nasib anak-anak lain pak menteri?

Saya hanya satu dari sekian juta anak yang bisa selamat. Saya kira janganlah main-main dengan system pendidikan pak.

Jika  menyelesaikan masalah satu anak saja, mereka harus melewati sekian tahun panjang penderitaan untuk sembuh, berapa puluh tahun waktu yang dibutuhkan agar hilang trauma dari satu generasi, akibat (lagi-lagi) salah ambil kebijakan! Ajak mereka (anak-anak) bicara, karena mereka manusia yang punya hati nurani dan paling tahu apa yang mereka inginkan dari kata hati mereka sebagai MANUSIA...

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...