Minggu, 06 Desember 2020

Jalan Terang

 Allah ku yang Maha Baik, Maha Pemberi, Penyayang.

Selama dua hari, entah apa yang Engkau bawa kepada hamba. Hujan tangis yang tak henti-hentinya ditengah sakit menstruasi. Malam-malam yang tak kumengerti dan penuh kepedihan. Teringat almarhum Ibu.

Ditengah kesakitan di perut, sepertinya Engkau memintaku untuk mengingatMu, Ya Rabb ku. Malam mendung tanpa bintang kuhabiskan untuk memahami kegundahan yang kau berikan kepada hamba. Kepada hamba yang kecil dan kerap tak berdaya menghadapi cobaan-cobaan yang Engkau beri.

Dalam kesedihan berlindang air mata dengan sakitnya perutku, pikiran yang entah bagaimana membayangkan tentang sakit dan kematian. Aku hanya meminta kepadaMu ya Rabb, beri aku tanda-tandaMu.

Sejurus kemudian Engkau memberikan penjelasan dengan tulisan di KalamMu. 

"Berprasangka baiklah"

Sekujur tubuhku merinding dan menangis. Mengingat betapa hamba hanya makhluk kecil, yang seringkali berharap keajaiban dari Engkau. Berharap syafaat dari Rasul. Meminta perlindungan dan pertolongan hanya kepadaMu.

Kini satu langkah Engkau berikan kemurahan ilmu kepada hamba untuk berprasangka baik atas segala yang terjadi pada hidup hamba. Untuk menyerahkan sepenuhnya kehendak Engkau terhadap hamba. 

Kematian Ibu, seharusnya hamba rasakan sebagai cara Engkau menyayangi beliau. Beliau sekarang dekat dengan Engkau. Betapa banyak kehangatan dan cahaya yang Engkau pancarkan kepada Ibu. Sementara disini aku lebih banyak menangis menahan rindu. 

"Engkau mengajari bahwa segalanya tak perlu Engkau khawatirkan. Seluruh hidupmu, seluruh takdir, dan kehidupan serta akhiratnya sudah Aku atur, engkau tak perlu khawatir. Tak sejengkal pun Aku tak menjaga apapun yang sudah menjadi kuasaKu atas makhluk"

Semenjak 30 tahun dilahirkan di dunia, hamba kerap kekanak-kanakan dan berbuat yang tak baik. Izinkan aku menjadi manusia yang baik. Memelihara kehidupan dengan kebaikan. Memelihara diri dengan berpuasa. Hamba ingin dan kuatkan hamba. Jaga hamba dan lindungi hamba. Mungkin ini hanya kecil dibandingkan dengan segala nikmat dan kebaikan yang Engkau beri kepada hamba. Tapi izinkan hamba mengabdi kepada Engkau dengan menjadi khalifah yang baik ya Rabb, Ya Allah SWT.

Bismillahirohmanirohim...

Selasa, 01 Desember 2020

Surat Kebahagiaan untuk Ibu

Hai Ibu

Saat aku menulis surat ini, aku masih kebingungan kemana alamat surat Ibu. Sampai ada sesuatu yang berbisik ke telingaku, "Ibu ada di darahmu, tak kemana-mana"

Aku hanya menghela nafas dan mengusap air mata. Ibu, dulu aku siap untuk menulis surat untuk Bapak. Tapi rasa-rasanya jemari ini tak kuat menuliskan kata-kata, meyakini bahwa Ibu telah tiada dan aku berkirim surat tanpa tujuan.

Ibu, aku mau bilang, hari ini Nduk sudah mewujudkan salah satu mimpi Ibu. Ibu, hari ini aku sudah menyelesaikan tanda jadi untuk membeli tanah di Bantul. Aku beli tanah Bu di daerah Bangunjiwo. Dekat Tugu Gentong Bu. Alhamdulillah uangnya juga cukup. Gak nyangka ya Bu, bulan Juni saat ibu pergi, aku masih kebingungan mencari uang buat beli tanah dan sekejap setelah Ibu pergi, semua jalan rezeki terbuka. Ibu bilang ya sama Allah untuk melancarkan keinginanku? Ya, Ibu kan sekarang dekat sekali sama Allah.

Aku jadi ingat ya Bu. Dulu waktu swargi Bapak meninggal, aku justru bisa keluar negeri. Terbang tinggi sesuai mimpi Bapak.

Oh ya Ibu, doain ya 7 Desember nanti AJB dan Balik Nama tanah. Ukuran tanahnya lumayan untuk bangun rumah, 118 meter Bu. Rencanaku semoga dalam 1 tahun ini segera bisa membangun ya Bu. Aku minta doa Ibu agar bisa memohon juga sama Allah agar dimudahkan rezekimu. Aku pengen mewujudkan mimpi Ibu agar kami punya rumah tanpa hutang, sesuai dengan pesan Ibu dulu.

Saat 3 tahun lalu mungkin Ibu takut, aku akan kenapa-kenapa karena suamiku difabel. Saat membeli tanah pertama di Kulonprogo, justru suamikulah yang minta persetujuan Ibu. Saat beli mobil jazz dulu,ibu hanya lihat secara virtual aja. Meski didalam mimpi akhirnya Ibu datang ngajak Budhe lagi naik mobilku umpek-umpekan di jok belakang. Betapa bahagianya Bu diriku, meski hanya dalam mimpi.

Hari ini, aku pulang dengan mata sembab, berangan andai ibu masih ada. Tapi lagi-lagi sahabatku Didi mengingatkanku

"Lakukan ritual yang sama dengan cara yang berbeda. Tetap kabari Ibuk dengan cara ternyamanmu sekarang. Yakini ibuk menerima kabarmu"

Makanya aku langsung menulis ini untuk Ibu. Hatiku terasa lebih ringan Bu. Ada lautan doa yang akan selalu kucurahkan ke Ibu dan Bapak disana. Ada banyak hal yang akan selalu kutuliskan untuk melepaskan rinduku kepadamu Ibu.

Sembah Pangabektiku Kagem Ibu lan Bapak.

Gusti pemilik Jagad, doa kulo kagem Ibu Sudarmi kalian Bapak Juri Suharto. Swargi kanthi tentrem lan langgeng. Al Fatihah

Kamis, 19 November 2020

Long Journey of Trauma

Menerima diri sendiri itu ternyata jauh lebih sulit dari yang kukira. Memaafkan masa lalu juga ternyata tidak mudah. Setelah kepergiaan Ibu secara mendadak, ada trigger besar yang membuat saya memiliki kontrol emosi yang rendah dan mood swing yang hebat. Selama berbulan-bulan saya menahan diri dan mengenali kembali apa yang terjadi didalam diriku. Ada masa-masa dimana aku sangat mudah untuk menangis dan terpukul sendiri atas apa yang aku perbuat.

Kesedihan-kesedihan itu telah banyak merundung kehidupanku selama ini. Hingga ada suatu keberanian besar yang akhirnya aku ambil untuk kembali lagi mendatangi psikolog. Ini adalah satu langkah yang akhirnya kuputuskan aku ambil karena aku ingin makin yakin bahwa ada hal yang tidak beres menghantuiku. 

Oh ya, sebelum ke psikolog, selain mood swing dan kontrol emosi yang buruk, aku sering terbangun ditengah malam dan dalam sekali waktu menangis entah disebabkan oleh apa, tak jelas.

Sejujurnya kedatanganku ke psikolog sudah cukup mantap atas diskusi dengan suamiku. Ia pasti lelah juga mendapati diriku yang kontrol emosinya makin parah. Hanya diawal kepergianku ke psikolog, ia tak kuberi tahu. Ketika pulang baru aku cerita segalanya.

Di psikolog, aku melakukan analisa mendalam atas masa lalu yang aku alami. Aku berkata kepada psikolog bahwa yang tidak beres bukan orang lain tapi diriku. Masalahnya ada didalam diriku. Aku membutuhkan penegasan dan bantuan untk melakukan pemetaan atas apa yang terjadi didalam diriku sendiri.

Satu per satu, menggunakan alat bantu papan catur, aku diajak menengok kembali segala masalah yang pernah terjadi didalam hidupku. Titik goncangan awal kuterima tahun 1995, saat seluruh tatanan kehidupan keluarga berubah. Dimana kakakku perempuan menikah dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab hingga hari ini dan ia masih terjebak didalam kekerasan dalam rumah tangga. Ibu tak menyetujui pernikahannya sedangkan bapak melunak karena tidak tega dengan anak yang tengah dimabuk cinta. Aku sendiri setelah dewasa mengira keputusan kakak perempuanku menikah adalah murni karena kekerasan seksual. 

Setelah ia menikah, ibu lebih banyak menjadi pribadi yang tak kuat mengontrol emosi. Pelampiasannya adalah kepadaku. Selama puluhan tahun, aku menyimpan kedukaan yang panjang. Selama bertahun-tahun itu pula, sosok yang selalu kujadikan tumpuan adalah Bapakku. Ia yang kuanggap sosok yang menjadi malaikat penyelamatku. Hanya saja, itu tak berlangsung lama. Ketika tragedi kembali terjadi tahun 2000 ketika kakak perempuan dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu terjerembab kedalam hutang hingga ratusan juta dan mengguncang keluarga kami. Bapak shock, menjual seluruh aseetnya dan kemudian terkena serangan stroke.

Kondisi bapak stroke membuatku hidup dalam kerentanan secara psikis. Diusia 12 tahun aku menahan benar tekanan untuk sekolah tapi disaat yang sama mendapati orang tua yang sakit. Di tahun-tahun setelahnya bapak berkali-kali terkena serangan stroke. Ini membuatku lebih banyak berdiam diri dan mengurung diri. Secara sosial aku sangat mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial meski terpaan masalah keluarga sangat bertububi-tubi. Aku menyalurkan segala kemarahan dan kekecewaan yang ada didalam keluarga dengan segala tragedinya dengan belajar dan berjuang terus meraih mimpi-mimpiku. 

Kehidupan makin tambah pelik ketika kakak laki-lakiku justru menganggap perbuatanku untuk mandiri dianggap melawan ibuku. Aku memutuskan bekerja karena tahu bahwa biaya pengobatan bapak akan menguras kantong perekonomian keluarga. Hingga aku mengambil alih sepenuhnya hidupku dengan bekerja sebelum aku lulus kuliah meski akhirnya skripsiku kedodoran. Aku membiarkan semua pelampiasan, judgement yang muncul dari ibu dan kakak laki-lakiku sebagai omongan lalu. Mungkin saat bapak yang sudah tak bisa bicara tahu bahwa aku memanggul teralu banyak pelampiasan dan rasa marah dari Ibu dan kakakku atas konflik yang terjadi dari pernikahan kakak perempuanku. Tapi suasana Jogja membuatku tertolong, aku merasa inilah rumah, kebebasan sekaligus kegelisahanku tentang apa yang disebut kehangatan keluarga. Dengan segala gemblengan itu, di kota pelajar ini aku menjadi sangat mandiri untuk mengerjakan banyak hal, menghidupi kehidupanku sendiri, dan berdiri diatas kakiku sendiri meski kadang goyah dengan goncangan-goncangan yang ada. 

Saat bapak meninggal, itulah masa paling hitam didalam hidupku. Tahun 2012 adalah titik paling nadir didalam hidupku. Ia yang kusebut malaikat telah pergi, mangkat setelah menungguku pulang. Ia menungguku. Ikatan batin yang kuat membuatku paham untuk segera mengikhlaskannya. Pergi untuk selamanya.

Saat ia pergi, aku merasa benar-benar tak punya lagi orang yang bisa memahamiku tanpa kata. Aku kehilangan pegangan kuat untuk hidup. Tidak ada orang yang mengenalku betul diriku selain Bapakku. Di saat genting itulah aku bertemu dengan suamiku sekarang, Ryan. Ia teman baik yang mau mendengar segala keluh kesahku. Tentang keputusasaanku untuk bisa bergairah lagi meraih apa yang sudah kurancang sebagai bagian masa depan karierku. 

Saat bapak pergi, aku dirundung duka yang cukup dalam hingga aku pergi ke psikiater. Aku merasakan ketidaknyamanan. Disaat yang sama relasiku setelah bapak meninggal dengan orang-orang rumah memburuk. Ini bentuk kekecewaan mendalam yang tak pernah aku ungkapkan, betapa hidupku akhirnya penuh dengan peluh dan kesedihan karena keputusan-keputusan sembrono, yang berakibat fatal pada mentalku. Apa aku kemudian marah? Reaksiku lebih banyak diam. Aku banyak menumpahkan semua ke Ryan, meski ada pula yang kusimpan dalam tangis pada malam-malam panjang. Dan sejak bapak pergi, aku gak pernah mau menikah. Kosong. Saat itu setelah 8 bulan bapak pergi, hubungan percintaanku juga kandas. Aku sendirian.

Dimasa-masa inilah aku benar-benar merasa terasing dari keluarga. Aku hingga hari ini tidak tahu benar apa yang membuatku bisa bertahan kala itu. Disamping itu, saat itu ada beberapa laki-laki yang mendekati dan mengajakku serius. Tapi lebih banyak aku juga urung. Aku paham, banyak hal yang tidak beres didalam diriku. Direntan juni 2013, setahun setelah bapak pergi, aku memutuskan lebih banyak menyepi, sendiri dan menikmati waktu untuk diriku sendiri.

Mungkin fase-fase juni-november 2013 ini lah aku merasakan keterasingan dari keluarga tetapi juga mengalami kegembiraan bahwa aku bisa menerima diriku sendiri. Jujur, pada malam-malam selama beberapa bulan itu, aku mulai belajar mengikhlaskan Bapak, mulai belajar menerima bahwa diriku sendiri adalah orang yang kesepian. Bahwa kesepian itu juga tak apa-apa. Aku juga makin dekat dengan Allah. Dalam satu momen, aku merelakan dan mengikhlaskan pelan-pelan segala kesendirian, ketakutan dan keterasingan itu dengan sadar bahwa memang itu takdir yang harus kujalani. Tak perlu lagi dihindari.

Tanggal 4 November, segala kepasrahanku dikejutkan Tuhan dengan menerima Ryan sebagai pacarku. Aku nyaman dengannya sebagai sosok laki-laki yang dewasa. Tapi sejujurnya aku tak sungguh-sungguh berniat berpacaran dengannya. Waktu itu, aku hanya berpikir, mungkin hubungan ini hanya akan bertahan maksimal 1-2 bulan saja. Lagi pula aku juga tahu, ia baru saja putus. Tak mungkin ia benar-benar mencintaiku. Namun, keisengan ini ternyata membuatku justru bertaruh banyak hal didalam kehidupanku.

Saat Ibu tahu Ryan pacaraku itu difabel, ibu menolak dengan keras. Hal ini membuat konflikku dengan seluruh keluarga meruncing. Aku tetap kukuh dengan pendirianku untuk tetap mendampinginya, berpacaran walau tanpa persetujuan. Sejujurnya aku juga tidak tahu mengapa alasan aku memilihnya dan mengapa aku berani bertaruh masa depan dengan menjadi pasangannya. Dasarku hanya keyakinan bahwa ia laki-laki baik dan mimpi. Mimpi beberapa hari sebelum ia melamarku secara personal, ada sosok yang mengatakan bahwa itu dia jodohmu. Dalam itu aku menatap punggungnya, ia memakai baju merah. Baju yang kukenal betul, ia menengok dan itu adalah Ryan.Sejak mimpi itu, aku hanya memiliki keyakinan yang cukup bahwa ia layak kuperjuangkan.

Butuh 3 tahun sampai akhirnya kami menikah. Menikah juga bukan hal yang gampang. Keluargaku penuh keraguan untuk percaya pada pernikahanku. Saat ryan melamar didepan ibuku, ia tak segera mengiyakan. Butuh beberapa bulan sampai akhirnya ibuku setuju. Penerimaan ibu untuk setuju mungkin juga erat kaitannya dengan dunia batinku sebagai orang Jawa. 

Saat itu, di hari kelahiran Nabi Muhammad, aku datang ke sebuah makam yang kuhafal betul sebagai tempat yang paling teduh selain Imogiri dan Giriloyo. Malam itu dari Condongcatur aku berangkat kesana. Ditanya oleh abdi dalem, aku hanya bilang ingin disini. Hingga ada rombongan peziarah datang dan mengajakku masuk ke dalam makam. Disana aku hanya mendoakan mereka yang telah pergi, dan merestui apapun yang aku lakukan, karena aku percaya mereka yang dimasa lalu selalu menangungi kita sebagai bagian dari masa depan. Setelah itu aku pulang ke rumah dan bertemu Ibu, entah kenapa ia tiba-tiba setuju.

Pada malam itu, saat ibu setuju untuk aku segera lamaran, aku naik motor sendirian. Melewati sawah dan memandang bulan. Begitu banyak jalan yang kulalui untuk bisa mendapatkan kebahagiaan. Aku tak pernah mudah mendapatkan apa yang menjadi pilihan-pilihanku. Tak jarang aku lebih banyak dicemooh atas pilihan-pilihanku. Aku banyak mengambil garis komando hidupku meski kadang terbentur tidak karuan. Aku ingin dunia paham, bahwa seorang perempuan harus menghidupi mimpi-mimpi yang ia percayai, meski dunia akan remeh terhadap pilihannya.

Pernikahan ini menjadi pernikahan yang membahagiakan bukan hanya untuk kami tapi juga keluarga. Sejujurnya, kedatangan Ryan didalam hidupuku adalah anugrah, cinta dan cahaya indah atas segala penantian, penderitaan, pendaman kesedihan dan kegelisahan atas segala yang kuhadapi dari usia 5 hingga 27 tahun. Aku tak pernah sebahagia ini didalam hidupku setelah usia 5 tahun. 

Riak-riak didalam pernikahan kami tak begitu banyak. Pernikahan ini berjalan sangat santai dan penuh dengan adaptasi. Goncangan sempat datang ketika akhirnya aku menumpahkan segala amaraku kepada laki-laki yang jadi suami kakakku karena kakakku kembali mengalami KDRT dan tinggal di rumah ibu selama 1 bulan. 

Emosi hampir 22 tahun itu aku tumpahkan dan amarah itu tak kuasa ku keluarkan. Aku sebenarnya ingin menahannya tapi tak bisa. Kakak laki-laki dan ibukku sangat terkaget, aku yang tak pernah marah menjadi seperti kesehatan dengan mengatakan laki-laki itu pembunuh bapakku dan hancurnya keluargaku. 

Aku sejujurnya takut ibu akan ambruk secara mental karena kakakku kembali mengalami KDRT. Seluruh keluarga kami menginginkan ia segera bercerai tapi ia memutuskan tidak demi anak. Ia kembali dan kami masih was-was sampai hari ini karena mereka ternyata juga memiliki persoalan pelik terkait keuangan dan kekerasan. 

Hingga 11 Juni 2020, pagi hari aku ditelepon bahwa ibu tak sadar diri dikamarku. Aku terkaget, temenung. Aura itu datang, suasana itu kembali menjelma seperti 14 Februari 2012. Ibu akan pergi, aku meyakini itu. Tepat 13 Juni 2020, pukul 16.40 Ibu pergi.

Jelas itu memukulku. Sampai saat aku menuliskan ini, mulutku masih kelu, mataku masih menahan air mata. Terbayang-bayang ibu, yang merindukanku tanpa pernah aku menemuinya. Ada rasa tersayat di batin. Meski disaat yang sama aku bersyukur, ibu tak mengalami sakit yang lama. 

Setelah kepergiaanya, ada ruang kosong didalam batinku yang tak pernah terisi lagi. Suatu malam, aku pernah duduk di pojok perpus rumah dan menangis karena aku merindukannya. Ibu tahu betapa aku bahagia sekali mendapatkan Ryan dan betapa ia bangga memiliki menantu seperti dia. Menantu yang selalu ia banggakan karena tak pernah ia mendapatkan perlakuan yang begitu baik dari menantu laki-laki yang perhatian terhadapnya. 

Ibu percaya benar kepada suamiku, termasuk urusan warisan, menengahi konflik keluarga kami, hingga menemani ibu operasi. Saat ini aku meyakini benar ia sangat bahagia melihatku, hanya tinggal aku harus mengikhlaskan beliau.

Dari psikolog aku paham, aku harus pelan-pelan memaafkan seluruh dendam, amarah, kesedihan terhadap semua, apalagi dengan laki-laki suami kakakku. Biarkan Tuhan membalas dengan caraNya. 

Aku harus bisa menata kembali seluruh mimpi. Membuat kembali peta hidup. Melakukan afirmasi dan relaksasi. Psikologku berkata bahwa aku sungguh-sungguh pribadi sangat kuat bisa bertahan dengan kondisi seperti ini dari usia 5 tahun. 

Segala kemarahan dan mood swing ini akan selesai jika aku melepaskan dan memaafkan semua hal yang pernah kualami. Masa lalu yang kujadikan pelajaran hidup.

Pelan-pelan, aku ingin bahagia dengan suamiku. Pelan-pelan membangun mental yang lebih sehat. Keluarga yang lebih assertif, kehidupan yang lebih santai. Aku juga berdoa jika Tuhan, Allah SWT berkenan memberikan kami keturunan, aku ingin anak-anak hidup dengan mental yang lebih sehat dan bahagia. Seperti kelakarku, kalau bapaknya ryansiip harusnya istrinya harus juga siip hehehehe

I hope ini akan jadi satu langkah awal. Oh ya selain afirmasi, psikolog juga memintaku mengalihkan segala emosi dengan afirmasi ke kegiatan positif. Jika mood swing dan kemarahan keluar, segera bergerak dan bernafas panjang karena itu sangat membantu. 

Ini jelas buka hal yang mudah tapi aku mau berubah. Aku ingin lebih sehat. Aku ingin suamiku makin sayang kepadaku, agar keluarga kami akan jauh-jauh lebih bahagia setelahnya. Beruntung, aku mendapatkan support luar biasa darinya setelah aku pulang dari psikolog.

Hari ini 19 November 2020, selang 7 tahun setelah aku mengiyakan lamarannya, aku ingin hidup jauh lebih bahagia dunia dan akhirnya bersamanya :)

Kamis, 27 Agustus 2020

My Pain

I know he loved her ex-girl friend so much until now. I came to his life a month after they separated each other and few months later, he knew her ex-girl friend told lies about her engagement with her ex. 

I never has problem with this girl until I know love conversation transcript from LINE account between them that I found in email when he told me to send email using his account when he was still relationship with me. It hurts me so much until now. I can't imagine how he can send love massage each other and saved it in email.

I was angry and our relation became different until now. I never trust again him 100% again like before. It is such like insecurity? 

I had history to go out from toxic relationship and decided to be independent woman. Honestly, I never believe about marriage life will perfect. I never give again all of my attention like before. I do peace to my self. I learn to love my self. 

Am I angry with this girl?

Yes of course. I still try to forgive her without she knew why I'm angry. Someday, may be she will read it. However, until now I learn to never give and hope all of to people but only to God. 

And how about your man?

I just said "A woman will forgive everything but she can fly away every time if you hurt her again" 



Jumat, 21 Agustus 2020

Pernikahan

Orang selalu berkata, wah suamimu hebat ya? Keren dan lain-lain. Dan tentu saja masih banyak perempuan yang menggilai dia meski ia sudah jadi suami saya. Beberapa dari mereka masih merayu. Biasanya saya cuma ketawa-ketawa saja dan menggoda dia dengan kata-kata cieee hehe

Jauh sebelum suamiku berada di posisi sekarang dan mungkin pencapaian-pencapaiannya nanti, ia masih kupandang sama. Tak berubah. Sebagai partner, saya selalu memposisikan diri sebagai orang yang mawas memandang situasi dan kondisi. Di saat-saat santai hingga genting, hampir kami lalui bersama. 

Sudah tak terhitung diskusi panjang dan cara pandang berbeda kita lalui untuk menyepakati banyak hal. Saya mungkin sering cerewet dalam banyak hal dan menjadi kritikus paling galak. Karena saya percaya, selain saling mengerti, pasangan adalah orang yang harus bisa melihat kondisi secara holistik untuk menganalisis situasi dan merasakan "rasa" yang entah dari mana untuk bisa memastikan bahwa keputusan suaminya "benar" atau pun salah. Selebihnya, untuk proses menjalani, saya lebih menyerahkan kepadanya.

Foto di Ketep, Januari 2014

Saya mempercayai pernikahan harus diawali dengan visi yang jelas. Sejak menerimanya dalam kehidupan saya, saya sudah menyiapkan diri dengan fisik dan mental yang kuat untuk mendukungnya secara lahir dan batin. Memang saya petarung ulung untuk hal-hal yang prinsipil dan berjuang sampai titik akhir jika memang ada laki-laki yang mau hidup dengan saya. Makanya dulu banyak laki-laki jiper. Ia satu-satunya laki-laki yang tidak menganggap bahwa pencapaian, kecerdasan, dan kebebasan yang saya dapat sebagai sebuah ancaman. Ia tahu semakin saya dipercaya, saya makin bisa bertanggungjawab.

Dulu, alm Ibu tidak merestui kami. Ketika ia belum diterima, ia tanya kepada saya mau maju apa tidak. Saya tegas jawab, ya maju. Aku gak akan jiper karena hal-hal kayak gini. Aku percaya cinta bisa mengalahkan segalanya. Mungkin dia juga kaget lebih tepatnya, ada cewek agak berandal mau berjuang dari bawah bersama dia, menentang orang tua lagi.

Kedepan, kehidupannya akan semakin sibuk dan berkembang. Artinya sebagai istri, saya akan melampaui jalan terjal juga untuk memastikan keselamatan lahir dan batin atas jalannya ia dan pernikahan ini. 

Sejak bersamanya saya tahu, hidupnya bukan lagi untuk saya semata. Hidupnya akan lebih terkuras untuk orang banyak. Pernikahan ini harus membawa berkah bagi banyak orang, begitu prinsip kami. Semoga segala jalan terjal kami bisa menjadi ladang keberkahan bagi pernikahan ini, bagi banyak orang baik di dunia maupun akhirat. Amin :)




Jumat, 31 Juli 2020

Cinta nyatanya melebihi ruang dan waktu tatkala ia ditadahkan didalam doa

Kehilangan nampak sederhana ketika ia selesai ditunaikan.
Tapi ia menjadi berat ketika dijalani.

Ada banyak cinta yang harus dipahami kembali melebihi kehadiran.
Ada banyak rindu yang harus didefinisikan ulang tanpa sentuhan.
Pertanyaan-pertanyaan "mengapa" yang tak pernah ada ujung jawabannya.

Kehilangan menjadi saksi bisu yang dialami setiap manusia ketika dihampiri oleh kematian.
Kesenduan, langit mendung, dingin, alam yang berbeda.

--cinta nyatanya melebihi ruang dan waktu tatkala ia ditadahkan didalam doa--

Bantul, 31 Juli 2020

Kamis, 30 Juli 2020

Yang kutahu, mereka yang telah pergi adalah abadi

Ini jelas bukan perkara yang mudah. Di malam yang dingin, beberapa hari belakangan aku selalu rindu dengan orang tuaku yang telah pergi, terutama rindu dengan Ibu. Ada banyak rasa sesak yang memenuhi dada yang ingin aku tuliskan untuk mengurangi beban yang kutanggung menjadi anak yatim piatu.

Aku tidak pernah menyangka akan secepat ini menjadi anak yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Dulu aku berpikir bahwa Ibu akan berumur panjang, tapi ternyata Ibu hanya diberi waktu delapan tahun untuk hidup setelah Bapak meninggal tahun 2012.

Semenjak kecil memang aku berjarak dengan Ibu karena ia terlampau sering sibuk bekerja. Kadang aku sebal dengan Ibu kala aku kecil hingga beranjak remaja. Itu juga karena aku kesepian sejujurnya. Aku sempat pula bersitegang hampir 3 tahun lamanya karena Ibu sempat menolak aku menikah dengan suamiku sekarang, meski setelah kami menikah, suamiku malah menjadi menantu yang paling ia sayangi.

Perjalanan hidupku bersama Ibu kurasakan memang alot dan penuh liku tapi semua atas dasar karena Ibu mencintaiku. Kelak ketika aku menikah, aku tersadar betul bahwa Ibu sepenuhnya membanggakanku karena tak pernah goyah dengan pilihan-pilihan hidupku. Ibu selalu berkata bahwa aku anaknya yang tangguh. Tak pernah sekalipun mengeluh padanya. Meski kemudian Ibu menangis karena tahu alasanku tak pernah bercerita karena aku tak mau Ibu terbebani fisik dan mental karena sudah menemani Bapak selama puluhan tahun dengan bayang-bayang stroke.

Aku tak pernah menyangka, perjalanan terakhirku ke Lombok tak pernah lagi mengantarkanku pulang ke rumah Ibu karena pandemi Covid-19. Aku tak pernah menyangka upayaku untuk melindunginya ternyata justru menjadi saksi bisu aku tak pernah menemui Ibu secara langsung hingga ajal menjemput Ibu.

Aku mengenang betul bagaimana ia merindukanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah dihari ia benar-benar pulang kepada Gusti Allah. Menjelang kepergiaannya ia tak pernah benar-benar menyentuhku, melihatku secara langsung. 

Kepergiaan Ibu membuatku lebih banyak merenung. Berbeda dengan Bapak yang membuatku tergocang lahir dan batin. Ada banyak hal yang tak sempat kuutarakan kepada beliau betapa aku juga rindu untuk menemuinya. Tapi semua sudah menjadi suratan takdir yang tak pernah bisa dicerna dengan sederhana dengan logika manusia.

Aku cukup bersyukur, Ibu tak mengalami rasa sakit yang lama seperti Bapak. Ia pergi dengan tenang, tak bangun-bangun di kamar tidurku. Ia seperti pergi dengan cara yang kupikir enak sekali. Tak susah. Detik-detik terakhir di ICU ia lalui tanpa drama. Ia pergi tepat ketika aku menghadap CCTV dimana ia berbaring. Lalu air mataku berhamburan, tak pernah lagi menyentuh atau melihatnya. Ibu pergi begitu saja. Tampak tenang dan memang sudah begitu seharunya manusia kembali ke Gusti Allah.

Hal yang justru membuatku merasa berat adalah setelah Ibu dimakamkan. Ada rasa-rasa kosong. Entah apa namanya, menyesak di dada yang tak pernah aku pahami sebelumnya. Aku baru belajar memahami perasaan ini. Aku belajar menerimanya sebagai bagian dari penerimaan atas kehilangan. Aku tetap menghadapinya dengan tenang dan baik-baik saja. 

Toh aku meyakini betul, mereka yang telah pergi juga tak pernah benar-benar pergi. Mereka sudah melampaui ketakutannya sendiri tentang apa yang disebut dengan kematian.

Perasaan berat kehilangan ini sekali lagi coba kuatasi dengan menulis. Tak ada obat lain kukira selain juga waktu. Aku berhasil selamat dari stress pasca kematian Bapak dengan menulis. Kini mungkin aku harus mengulanginya sekali lagi untuk meredakan segala bentuk kehilangan yang memang harus dihadapi lagi sendiri dan tak boleh lari.

--yang kutahu, mereka yang telah pergi adalah abadi--

Bantul, 30 Juli 2020

Mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi

Bulan Juli 2013 adalah bulan yang amat dingin, daun bambu kering berjatuhan dan berserakan di tanah kebun, suara burung prenjak bercicit. Didalam rumah ada ketegangan antara seorang ibu dan anak. Ibu yang menuntut haknya dipenuhi dan anak yang ingin kebebasannya tak terenggut. Anak itu masih terpukul dengan kematian bapaknya. Ia marah kepada dunia karena ia jadi yatim. 

Ada duka terpendam terpancar dari matanya. Mata penuh kesedihan dan penuh trauma. Ia ngotot sendiri dan tingkahnya berdampak buruk pada jiwanya sendiri. Esok pagi, tanpa berpamitan ia pergi. Ini bukan rumah, tak ada kehangatan disini. Semua dingin seperti dinding pengadilan penuh tuntutan. 

Di sela kemarahannya, ia pergi ke tempat dimana ia biasa menyendiri bertahun-tahun. Di dalam kamar itu, untuk pertama kalinya ia menangis. Meratapi diri. Merasakan bagaimana rasanya perih di batin. Tidak pergi. Ia menghadapinya. Ia menerima sepi. Menerima kesendirian. Menerima dirinya yang ia tinggalkan. 

"Sendirian itu tak apa. Tak memiliki siapa-siapa juga tak apa. Tak dicintai tak apa. Tak memiliki pasangan juga tak apa. Ditinggalkan juga tak apa-apa. Sendirian itu baik. Mulailah mencintai dirimu sendiri. Tak apa-apa, terimalah dirimu apa adanya"

---kelak dikemudian hari, ketika ia sudah terbiasa sendirian, ia terkaget karena Tuhan mengirimkan banyak kegembiraan dengan cara yang tak disangka-sangka---

Bantul, 30 Juli 2020
--mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi--

Kamis, 12 Maret 2020

Doa-Doa Yang Bekerja Bersama

Akhirnya, hari ini tiba. Hari yang memasuki pintu-pintu hidup selanjutnya. Hari dimana kemungkinan-kemungkinan baru terbuka. Dan kami memutuskan untuk memasuki kemungkinan-kemungkinan baru yang entah apa, kami tak tahu. Tapi hari ini kami memutuskan apa yang kami tahu : menikah. Pintu yang memasuki segala entah. Kami percaya bahwa dengan berdua, akan menjadi banyak kemungkinan baru. Cinta yang kami yakini hingga melangkahkan kami ke “hari nikah” ini adalah cinta yang selalu kami harapkan menumbuhkan segala hal. Bukan cinta yang berarti satu tambah satu berarti menyatu, tetapi satu tambah satu yang bisa berarti dua, tiga, lima dan seterusnya. Sebab setiap manusia yang dilahirkan Tuhan memiliki sikap dan perbedaan-perbedaannya masing-masing, tidak harus melebur jadi satu karena pernikahan. Justru ia harus menumbuhkan “yang banyak”, melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih banyak, melahirkan kebaikan-kebaikan yang berguna bersama. Dan karena itulah kami belajar untuk menjadi dewasa, bukan semata karena usia, tetapi dalam laku dan pikiran, juga dalam rasa. Sebab dewasa juga adalah pertemuan-pertemuan (yang kadang pahit) dengan diri sendiri.

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...