Jumat, 01 Juli 2022

Rumah Hangat

Sebagai anak bungsu yang lahir dengan jarak 11 dan 13 tahun dari kedua kakak ku, aku termasuk anak perempuan yang manja, terutama kepada bapak. Bapak sangat sayang kepadaku, kasih sayangnya hangat kepadaku. Caranya memperlakukanku sangat hangat dan penuh kasih. Seumur hidupku, aku merasa sangat dikasihi oleh bapak, meski ia sudah tidak ada. Kehangatannya lah yang membuatku merasa harus melanjutkan hidup. 

Aku mengalami banyak kesulitan hidup setelah alm bapak mengalami sakit pertama kalinya, di saat usiaku 8 tahun. Bapak masih memberikan kasih sayang yang hangat, namun pelan-pelan berkurang. Sesuatu yang amat bertolak belakang dengan ibu, yang lebih banyak disiplin, mungkin cenderung kasar kepadaku. Hingga akhirnya aku memperoleh wounded inner child dari alm ibuku. Selama rentang waktu sejak bapaku sakit pertama kalinya, hatiku selalu berdoa, suatu saat, aku bisa menemukan cinta yang hangat seperti yang alm bapak berikan kepadaku, meski hanya sebentar.

Selama usia 8 tahun hingga aku beranjak remaja dan kuliah, aku berkali-kali berpacaran. Meskipun berakhir dengan berantakan dan tidak jelas. Berkali-kali aku pacaran. Mungkin karena aku mencari figur bapak juga. Dan memang banyak menelan kekecewaan karena apa yang kuharapkan juga tidak pernah mewujud dalam sosok laki-laki. Tahun 2012, aku memutuskan untuk sebaiknya tidak perlu menikah. Aku tidak berharap banyak karena di tahun itu, aku kehilangan bapak.

Namun, mungkin Tuhan mendengar doaku kala itu. Saat alm bapak pergi, di saat itulah Mas Ryan datang didalam hidupku. Aku tidak tahu kenapa, ia begitu baik dan hangat kepadaku. Saat aku merasa sendirian, ia selalu ada dan mau menemaniku. Berkali-kali kami jalan, ia bisa dekat denganku sebagai sahabat dan rekan kerja. Aku masih pacaran dengan orang lain, meski akhirnya putus. Aku bahkan tidak berharap banyak pada kehidupan, sekedar menjalani hidup.

November 2013, aku tidak menyangka, ia mengajakku menikah. Iya, meski iseng. Hubungan yang awalnya kupikir hanya akan berjalan hitungan minggu atau bulan, ternyata tidak seperti itu. Aku tidak tahu kenapa, ia mau denganku. Ia menemaniku menyelesaikan skripsi, ia menyediakan bahu ketika aku lelah, mau bersamaku saat kami ditolak alm ibu (yang masih sering membuatku kesal, karena ibu menolak diberikan menantu yang baik), ia selalu memelukku dengan hangat saat aku merasa dunia bahkan terasa tidak menerimaku. Aku mengingat satu kenangan, saat aku memeluknya hampir 1 jam, dan dia tidak berbicara banyak. Itu terjadi saat kami ditolak ibu, dan aku merasa sangat tidak ada lagi orang yang memahamiku seperti mas ryan. Bertahun-tahun, mungkin ia tahu, aku menanggung duka. Setelah alm bapak pergi, tak ada seorang pun di rumah yang mau menerimaku secara apa adanya. Aku jarang pulang, dan hanya ia tempatku pulang dan bersandar. Saat dunia bahkan tidak menerimaku lagi. 

Perasaan tersisihkan itu selalu muncul didalam diriku, hingga aku sadar itu adalah bawaan dari wounded inner childku. Aku merasa sangat insecure karena bertahun-tahun benar-benar merasa sendiri dan tidak memiliki sosok yang mengerti diriku seperti alm bapak. Aku kerap menangis bahwa aku tidak memiliki kesempatan untuk memiliki keluarga yang hangat. Hingga aku akhirnya menerimanya sebagai sebuah bagaian pembelajaran, untuk pula mengatakan cukup bahwa ibukku tidak memiliki skill kehangatan seperti alm bapak dalam memahamiku. Aku tidak perlu menggugat sesuatu, dimana alm ibu juga tidak mungkin bisa memberikannya. Ini seperti omong kosong.

Ryan adalah sosok hangat itu. Ia selalu menerimaku secara apa adanya. Ia sangat pengertian kepadaku dan percaya kepadaku. Sosok laki-laki yang membuatku merasa aman disampingnya. Tidak pernah melarangku, selalu mendukung cita-citaku. Aku merasa menjadi perempuan beruntung di dunia ini karena memilikinya. Kehangatan dan kasihnya juga membuatku berubah cukup banyak. Ia memastikan bahwa bersamanya, aku akan aman. Tidak ada lagi rasa ketakutan dan mampu mandiri diatas kakiku sendiri. Bertahun-tahun, inner childku merasa ketakutan. Tapi adanya Ryan, membuatnya menjadi tidak takut. Tapi Ryan memberiku suatu daya, bahwa aku bisa hidup dan layak dicintai. Sesuatu yang hampir sepenuhnya hilang, saat bapak sakit dan kemudian meninggal. 

Takdirku untuk bersamanya seperti benang merah, ada banyak hal yang kusadari mengikat kami sejak lama. Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku merasakan, ia sudah mengenalku sejak lama. Ia bisa dengan mudah bersamaku tanpa sungkan. Ia bisa kuajak makan, ngobrol, ngopi bahkan menjagaku saat aku pingsan. Memastikan jika aku siuman dan baik. Aku tidak pernah tahu, mengapa ia mau menemaniku, bahkan saat ia juga masih memiliki pasangan. Ia tetap hangat kepadaku. 

Saat aku hampir memutuskan memilih untuk menerima lamaran seseorang, ia malah justru mengajakku untuk bertemu, mengobrol. Aku tahu, aku bahkan bimbang ingin kemana. Aku tidak tahu akan melangkah seperti apa. Namun, aku merasa Ryan seperti tidak ingin aku pergi dan bersama yang lain. Ia mengajakku ngobrol hingga tengah malam sambil memegang tanganku. Sesuatu yang dulu pernah ia lakukan saat aku berjalan berdua dengannya, dan aku kikuk untuk bagaimana menyikapinya. Malamnya, ia melamarku. Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya kepadanya. Benar-benar mungkin ini takdir.

Ia membuatku menyadari bahwa aku sangat berharga. Ia memberikanku jalan untuk kembali menjadi sosok yang penuh cinta setelah bertahun-tahun bahkan aku tidak dianggap di keluarga, tidak mendapat kasih sayang, diperlakukan dengan kasar tanpa pengertian. Aku menyadari, bersamanya, aku menjadi sosok yang ternyata berguna, bisa bahagia, bisa menjadi diri sendiri, bisa dewasa dan mandiri. 

Saat aku berasamanya, aku hanya melihat cinta dan tersenyum. Hal yang aku rasakan saat aku bertemu alm bapak. Rasa yang entah puluhan tahun lalu aku jalani, dan hilang ketika pelan-pelan ia stroke. Bersamanya, aku merasa dunia seburuk dan sekeras apapun pasti bisa dilalui. Orang-orang selalu bertanya, mengapa mataku selalu penuh cahaya ketika bersamanya? 

Ia telah menghidupkan cinta dari alm bapak yang ada didalam diriku. Namun, cinta itu sempat padam karena begitu bengisnya kebencian, kekasaran dan pengabaian yang kulami dari cara ibu mendidikku. Aku bukan hanya merasa terasakiti, tapi juga merasa tidak punya rumah untuk bersandar. Ryan adalah rumah itu. Puluhan tahun aku mencari rumah, penuh luka. Dan akhirnya kutemukan rumah yang hangat, di diri suamiku. 

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...