Jumat, 31 Juli 2020

Cinta nyatanya melebihi ruang dan waktu tatkala ia ditadahkan didalam doa

Kehilangan nampak sederhana ketika ia selesai ditunaikan.
Tapi ia menjadi berat ketika dijalani.

Ada banyak cinta yang harus dipahami kembali melebihi kehadiran.
Ada banyak rindu yang harus didefinisikan ulang tanpa sentuhan.
Pertanyaan-pertanyaan "mengapa" yang tak pernah ada ujung jawabannya.

Kehilangan menjadi saksi bisu yang dialami setiap manusia ketika dihampiri oleh kematian.
Kesenduan, langit mendung, dingin, alam yang berbeda.

--cinta nyatanya melebihi ruang dan waktu tatkala ia ditadahkan didalam doa--

Bantul, 31 Juli 2020

Kamis, 30 Juli 2020

Yang kutahu, mereka yang telah pergi adalah abadi

Ini jelas bukan perkara yang mudah. Di malam yang dingin, beberapa hari belakangan aku selalu rindu dengan orang tuaku yang telah pergi, terutama rindu dengan Ibu. Ada banyak rasa sesak yang memenuhi dada yang ingin aku tuliskan untuk mengurangi beban yang kutanggung menjadi anak yatim piatu.

Aku tidak pernah menyangka akan secepat ini menjadi anak yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Dulu aku berpikir bahwa Ibu akan berumur panjang, tapi ternyata Ibu hanya diberi waktu delapan tahun untuk hidup setelah Bapak meninggal tahun 2012.

Semenjak kecil memang aku berjarak dengan Ibu karena ia terlampau sering sibuk bekerja. Kadang aku sebal dengan Ibu kala aku kecil hingga beranjak remaja. Itu juga karena aku kesepian sejujurnya. Aku sempat pula bersitegang hampir 3 tahun lamanya karena Ibu sempat menolak aku menikah dengan suamiku sekarang, meski setelah kami menikah, suamiku malah menjadi menantu yang paling ia sayangi.

Perjalanan hidupku bersama Ibu kurasakan memang alot dan penuh liku tapi semua atas dasar karena Ibu mencintaiku. Kelak ketika aku menikah, aku tersadar betul bahwa Ibu sepenuhnya membanggakanku karena tak pernah goyah dengan pilihan-pilihan hidupku. Ibu selalu berkata bahwa aku anaknya yang tangguh. Tak pernah sekalipun mengeluh padanya. Meski kemudian Ibu menangis karena tahu alasanku tak pernah bercerita karena aku tak mau Ibu terbebani fisik dan mental karena sudah menemani Bapak selama puluhan tahun dengan bayang-bayang stroke.

Aku tak pernah menyangka, perjalanan terakhirku ke Lombok tak pernah lagi mengantarkanku pulang ke rumah Ibu karena pandemi Covid-19. Aku tak pernah menyangka upayaku untuk melindunginya ternyata justru menjadi saksi bisu aku tak pernah menemui Ibu secara langsung hingga ajal menjemput Ibu.

Aku mengenang betul bagaimana ia merindukanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah dihari ia benar-benar pulang kepada Gusti Allah. Menjelang kepergiaannya ia tak pernah benar-benar menyentuhku, melihatku secara langsung. 

Kepergiaan Ibu membuatku lebih banyak merenung. Berbeda dengan Bapak yang membuatku tergocang lahir dan batin. Ada banyak hal yang tak sempat kuutarakan kepada beliau betapa aku juga rindu untuk menemuinya. Tapi semua sudah menjadi suratan takdir yang tak pernah bisa dicerna dengan sederhana dengan logika manusia.

Aku cukup bersyukur, Ibu tak mengalami rasa sakit yang lama seperti Bapak. Ia pergi dengan tenang, tak bangun-bangun di kamar tidurku. Ia seperti pergi dengan cara yang kupikir enak sekali. Tak susah. Detik-detik terakhir di ICU ia lalui tanpa drama. Ia pergi tepat ketika aku menghadap CCTV dimana ia berbaring. Lalu air mataku berhamburan, tak pernah lagi menyentuh atau melihatnya. Ibu pergi begitu saja. Tampak tenang dan memang sudah begitu seharunya manusia kembali ke Gusti Allah.

Hal yang justru membuatku merasa berat adalah setelah Ibu dimakamkan. Ada rasa-rasa kosong. Entah apa namanya, menyesak di dada yang tak pernah aku pahami sebelumnya. Aku baru belajar memahami perasaan ini. Aku belajar menerimanya sebagai bagian dari penerimaan atas kehilangan. Aku tetap menghadapinya dengan tenang dan baik-baik saja. 

Toh aku meyakini betul, mereka yang telah pergi juga tak pernah benar-benar pergi. Mereka sudah melampaui ketakutannya sendiri tentang apa yang disebut dengan kematian.

Perasaan berat kehilangan ini sekali lagi coba kuatasi dengan menulis. Tak ada obat lain kukira selain juga waktu. Aku berhasil selamat dari stress pasca kematian Bapak dengan menulis. Kini mungkin aku harus mengulanginya sekali lagi untuk meredakan segala bentuk kehilangan yang memang harus dihadapi lagi sendiri dan tak boleh lari.

--yang kutahu, mereka yang telah pergi adalah abadi--

Bantul, 30 Juli 2020

Mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi

Bulan Juli 2013 adalah bulan yang amat dingin, daun bambu kering berjatuhan dan berserakan di tanah kebun, suara burung prenjak bercicit. Didalam rumah ada ketegangan antara seorang ibu dan anak. Ibu yang menuntut haknya dipenuhi dan anak yang ingin kebebasannya tak terenggut. Anak itu masih terpukul dengan kematian bapaknya. Ia marah kepada dunia karena ia jadi yatim. 

Ada duka terpendam terpancar dari matanya. Mata penuh kesedihan dan penuh trauma. Ia ngotot sendiri dan tingkahnya berdampak buruk pada jiwanya sendiri. Esok pagi, tanpa berpamitan ia pergi. Ini bukan rumah, tak ada kehangatan disini. Semua dingin seperti dinding pengadilan penuh tuntutan. 

Di sela kemarahannya, ia pergi ke tempat dimana ia biasa menyendiri bertahun-tahun. Di dalam kamar itu, untuk pertama kalinya ia menangis. Meratapi diri. Merasakan bagaimana rasanya perih di batin. Tidak pergi. Ia menghadapinya. Ia menerima sepi. Menerima kesendirian. Menerima dirinya yang ia tinggalkan. 

"Sendirian itu tak apa. Tak memiliki siapa-siapa juga tak apa. Tak dicintai tak apa. Tak memiliki pasangan juga tak apa. Ditinggalkan juga tak apa-apa. Sendirian itu baik. Mulailah mencintai dirimu sendiri. Tak apa-apa, terimalah dirimu apa adanya"

---kelak dikemudian hari, ketika ia sudah terbiasa sendirian, ia terkaget karena Tuhan mengirimkan banyak kegembiraan dengan cara yang tak disangka-sangka---

Bantul, 30 Juli 2020
--mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi--

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...