Selasa, 02 Maret 2021

Ibu #1

Selama bertahun-tahun, inilah mungkin tahun dimana aku akan membuka semua tabir yang kusimpan rapi dalam batin, diri dan jiwa didalam diriku. Sudah saatnya aku menumpahkannya karena orang yang selama ini membuatku meratap tapi sekaligus kusayangi telah pergi. Ibuku.

Tulisan di blog ini aku buat untuk menerapi diriku sendiri. Menuangkan semua derita yang pernah kualami sebagai anak dan relasi ibu anak yang berimbas pada hubungan kami yang up and down dan diakhiri dengan kepergiaan yang menurutku tragis dan menyakitkan. Aku tidak pernah menyangka kami dipisahkan seperti ini, saat dimana aku mulai menerima ia apa adanya sebagai seorang Ibu.

Aku membenci ibuku. Itu yang pertama ingin kukatakan sebagai anak. Aku bahkan sudah merasa ia ibu tiri yang jahat sejak aku berusia 5 tahun. Sejak semua tragedi keluarga terjadi dan baru kutahu, ia juga seperti aku karena keadaaan.

Ibu orang keras. Orang kokoh dan teguh. Orang punya keinginan yang tak bisa dipengak kalau orang Jawa bilang. Tapi kelak, setelah aku dewasa aku tahu, sisi inilah yang membuat keluarga kami bakoh, diterpa badai seberat apapun hingga kepergiaanya.

Ibu lahir sebagai anak ke 4, dari Mbah Joyo. Seorang perempuan yang juga merasakan jurang kehancuran saat ditinggal mati suaminya di masa sangat muda dengan meninggalkan 7 orang anak. Saat Mbah Joyo kakung pergi inilah, aku tahu ibu sebenarnya goncang secara psikis hingga ia dititipkan kepada kakak pertamanya karena mbah Joyo putri sudah tidak kuat menanggung beban ekonomi dengan anak yang cukup banyak sementara suaminya meninggal.

Ibu sendirian. Ibu bertahan dengan ketidakmampuan finansial orang tuanya dan mungkin juga menanggung derita yang kuat karena juga tak mampu membagi apapun dengan siapapun saat itu hingga mungkin ia baru bisa menjadi lebih ayem ketika menikah dengan Bapak. Ibu dan Bapakku menikah juga bukan dengan perkara yang mudah. Keluarga bapak menentang pernikahan itu karena Ibu dianggap keluarga yang tidak lengkap dan keras. Hanya mbah kakung dari Bapak yang menerima Ibu apa adanya. Itulah kenapa Ibu begitu terpukul ketika mbah kakung dari Bapak pergi karena ia merasa bahwa mbah kakung adalah pengganti Bapaknya. 

Ibu bertahan dan bertahan dengan banyak situasi sulit. Ia memutuskan tidak sekolah, hanya lulus SD demi mengalah untuk adik-adiknya. Ia berdagang, menggotong daun jati, berjalan puluhan kilo untuk bisa berjualan apapun agar ia bisa makan dan memberi makan adik-adiknya. Saat menuliskan ini, aku meneteskan air mata. Meneteskan air mata kepedihan betapa hidupnya tak mudah dan bagaimana ia pasti berusaha keras agar aku menjadi orang berhasil dengan cara yang cukup keras. Walaupun itu juga membutuhkan air mata kesedihan untuk melepaskan seluruh dendam, kebencian dalam relasi kami yang akhirnya aku tahu, ia cinta yang sepaket dengan sakitnya pula.

Aku ingin mengakhiri dulu tulisan ini karena aku belum kuat lagi menulis karena akan ada banyak hal menyakitkan yang selama ini kusimpan sendiri sebagai anak akan kugoreskan dalam pena. Ini cara satu-satunya cara yang kupunya selain ke psikiater untuk memaafkan segala hal yang terjadi dalam relasi kami sebagai ibu dan anak. 

Al Fatihah untuk Ibu

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...