Sabtu, 17 Desember 2022

Aku dan Ibu

Semenjak alm ibuku pergi, aku sering digeluti pertanyaan, apakah aku sudah bisa membuatnya bangga, sebagai anak, kami berdua suka berantem. Setelah aku rasakan, aku ingat dan refleksikan kembali segala yang kulakukan, semua rasa hidupku bersumber darinya.
Meskipun aku banyak kecewa, aku sekolah ditempat paling baik, justru karena alm ibu. Sebagai anak yang lebih suka males-malesan, ngeyelan, dan nilai rapot yang gak jelas, ibu selalu menerima semua hasil belajarnya. Pernah ia mengatakan kepadaku saat aku SMP, kalau aku anak cerdas, hanya belum ketemu tempatnya saja dimana. Batinku saat itu, ya elah bu, aku kan males-malesan. Aku mulai belajar giat, sejak kelas 2 dan 3 SMA. Aku yang biasanya ranking bawah, pada saat kelas 2 mulai jadi peringkat 1 atau 2. Tujuanku cuma 1, agar aku masuk UGM. Ya karena itu mimpi ibu. Ibu cuma lulusan SD. Tapi ibu orang yang gigih dan tangguh. Ia selalu berpikir, mau kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, asal aku sekolah. Meskipun ditengah proses itu, ya tetap kami gak akur. Ibu juga sering ngomel, banyak kejadian yang membuatku trauma juga. Aku dan ibu menghadapi banyak kejadian-kejadian berat dalam hidup. Bisa dibilang, di kondisi-kondisi paling buruk di hidup kami, aku lah anak yang paling kecil, paling sering jadi sasaran emosinya ibu yang pusing menjadi kepala keluarga dan merawat bapak yang stroke.
Kami juga gak akur lagi pas aku pacaran dan gak dapat restu. Empat tahun gelut hampir tiap minggu. Tapi aku juga gak pernah maksa ibu buat merestui pilihanku. Aku dah hafal, ia akan luluh hanya dengan waktu. Aku gak mau maksa ibu apa-apa. Aku tetap nurut sampai ia mau menerima dengan sendirinya. Sampai akhirnya, ia mulai mengerti pilihanku. Sebagai anak yang sering pikirannya sudah sampai 10, yang lain masih di 3, kata ibu, ia sering kepontal-pontal memikirkan cara berpikirku. Aku juga bingung, bagaimana memahami ibu. Pusing pokoknya. Gak akur.
Setelah aku menikah, ia mulai mengerti bahwa aku banyak belajar, bagaimana menjalani hidup. Ibu masih sering menganggapku seperti anak-anak. Yang kusadari adalah bentuk kekesalanku, karena ia jarang hadir pada fase-fase aku membutuhkannya. Hampir lebih dari separuh hidupku, ibu sudah menjadi pencari nafkah dan menghidupi banyak orang yang bekerja di rumah. Ia tumpuan dari orang-orang yang bekerja kepadanya, secara sosial ia termasuk perempuan dengan pengaruh besar. Bayangin, pas nikahin aku, tamunya 2000 belum tamu-tamu lain yang datang dari keluarga maupun kerabat. Ia punya relasi yang kuat secara sosial. Aku menyadari itu saat pesta pernikahannya. Sudah janda tapi bisa menikahkan anaknya sendirian dan masih kuat. Ibu paling senang saat aku menikah, katanya semua pas. Makanan tidak kelebihan, semua sesuai porsinya. Ia juga senang, aku madeg.
Dengan semua drama yang terjadi, aku merasa beruntung bahwa meskipun kami tak akur, sebenarnya kami saling menjaga satu sama lain. Aku bisa dibilang nampak tidak perduli dan cuek bebek sama ibu. Seringkali aku melihat ibu lebay dan berlebihan. Aku tahu, ibu seringkali merasa bahwa ia tak punya banyak waktu padaku ketika aku kecil dan remaja. Setelah aku menikah, ia selalu ingin dekat denganku. Meski akunya juga cuek bebek. Aku gak terbiasa dekat dengan beliau, tapi aku akan selalu jadi nomor pertama berada digarda paling depan kalau ibu kenapa-kenapa. Apa saja akan kulakukan, asal ibu baik. Aku bukan anak yang bisa membuat tenang ibu memang, ia baru memahami caraku bertindak dengan berjalannya waktu. Aku punya cara-cara yang berbeda untuk mengatur hidupku. Ibu berupaya melanjutkan value lama dari generasi sebelumya. Aku yang merasa tidak cocok, ya tidak menggunakannya. Ini membuat kami sering gak ngerti. Aku hanya berupaya menjadi versiku sendiri, tidak selalu menjadi anak yang selalu menyenangkan orang tua. Aku ingin ibuku memahami bahwa cara tumbuhku berbeda, dan itu tidak apa-apa.
Pas ibu pergi, sedihku tidak terkira. Ya alasanku hidup selama ini dalam situasi-situasi sulit sudah pergi. Tapi pelan-pelan, aku merasakan, kami memang berelasi dengan unik. Aku yakin, ia bangga kepadaku. Aku juga bangga kepadanya. Kadang-kadang cinta memang aneh. Yang tenang ya Bu disana. Jangan ngomel-ngomel mulu, hehehehe. I love you..

Minggu, 11 Desember 2022

Mengeluarkan Trauma

Butuh keberanian besar untuk bertemu momen paling menyakitkan didalam hidup. Menemuinya butuh kesiapan, kesadaran dan pengertian. Beberapa hari belakangan, aku mulai mengeluarkan trauma lagi. Aku berupaya menyiapkan diriku untuk menemuinya, meski kadang efeknya jauh diluar perkiraanku. Aku sudah berupaya mindful tapi selalu ada drama yang tak terduga. Seperti beberapa hari yang lalu, aku masuk lagi ke trauma yang paling dalam. Tubuhku langsung gemetar hebat, kepalaku sakit, mulai memukul tembok, lalu menangis. Namun, itu ternyata tidak cukup. Selang tak berapa lama, aku memuntahkan semua makanan yang ada di perutku, padahal aku tidak sakit. Aku sendiri merasa merinding setelah itu. Aku takjub dengan keberanianku sendiri. Pelan-pelan, sakit didada seperti ada yang lepas meski belum semuanya. Masih ada sisa. Sebaiknya jika kalian belum ngerti handling dengan kondisi ini, harus didampingi psikolog. Diriku sendiri, berani karena aku dan pasanganku sudah tahu apa yang biasanya terjadi. Suamiku akan disampingku, jika aku mulai mengerluarkan gerak gerik melepas trauma. Ia tetap akan menunggu, jika perlu akan memelukku karena aku akan menangis ketika mengeluarkan trauma itu. Dan memang trauma ini harus dikeluarkan. Setelah rasa sakit itu, maka pelan-pelan akan pulih. Masih ada yang tersisa tapi tidak seperti dulu rasa traumanya. Aku pelan-pelan mulai berani dan kembali menjadi diriku sendiri. Menerima rasa sakit lalu melepaskannya. Emang ga enak sih, tapi ini cara satu-satunya menyembuhkan luka. Semakin kita mengenali diri dan luka, semakin kita bisa baik dengan diri sendiri dan orang lain 😊

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...