Minggu, 27 Januari 2013

Ibu dan Pemberontakan


Ibuku adalah sosok yang kulihat antagonis, ia sama sekali tidak melankolis. Kami sering sekali bertengkar karena hal-hal yang kecil. Aku masih suka menyalahkan ibu karena sangat jarang menyempatkan waktu untuk mengasuhku dari kecil. Ia sangat sibuk bekerja, ia sibuk mengurus ayah ketika sakit. Ibu itu sangat keras kepala jika bertengkar dengan ku. Lalu aku biasa menutup pintu kamar atau tidak mau menelponnya selama berhari-hari. Tapi ibu tetaplah ibu, meski aku bertingkah polah menyulut pertengkaran, ia tetap setia menantiku pulang. Meski dia tahu aku jengkel karena pulang artinya aku tidak akan lama denganya. Ibu tetap bekerja dan pulang hingga malam.

Aku semacam anak yang tumbuh mandiri tanpa ibu yang senantiasa ada. Mungkin memang seperti itulah aku dibentuk. Aku sangat biasa memutuskan semuanya sendiri, bahkan sekolah pun aku mendaftar sendiri. Ibu tak pernah berguman ini itu soal pilihanku sekolah. Tetapi ia sering menganggapku liar karena sulit diatur. Aku pemberontak ulung dirumah. Aku memang tak suka jadi gadis jawa Solo, yang duduknya diatur. Aku benci aturan-aturan, ayah yang liberal membuatku lebih suka bergaul denganya, tetapi setelah ayah tak ada, tinggalah ibu yang diajak bicara. Aku tak siap. Aku melawan dan mengobarkan perang.

Setiap minggu, aku dan ibu bertengkar karena hal sepele. Aku tidak pulang, main hingga sore atau tiba-tiba sudah berada diluar kota tanpa sepengetahuanya. Begitu ia menelpon, ia akan terkaget aku ada di Banyuwangi, Bandung, Jakarta, Bangkok, Singapura, Bali dan Lombok. Ya, betapa ia mungkin tidak siap, anaknya tumbuh dengan dobrakan aturan. Ibuku shock ketika melihatku hanya memakai celana pendek ketika pulang ke Solo. Ibuku geleng-geleng kepala ketika ke acara arisan keluarga, aku mengenakan kaos. Intinya ibuku adalah orang yang sangat ketat aturan, sementara aku orang paling santai didunia. Aku tak suka birokrasi, aku tak suka janji-janji. Ibu sering bilang jadi perempuan harus nurut, tetapi aku adalah contoh kegagalan abadi. Bagaimana aku lebih sering beragumen menurut pandanganku dan menentang cara ibu. Dan ibu selalu mengalah, ia hidup untuk mengalah pada anaknya yang tak tahu aturan ini.

Semakin kesini, hubunganku dengan ibu memang kumaknai lebih dalam. Kami sering bertengkar karena watak kami memang sama. Sama-sama ngotot, sama-sama ngeyel. Itulah kenapa aku lebih cocok berbicara dengan ayah ketimbang berbicara dengan ibu. Ibu adalah cermin dari keras kepalanya Nyai Ontosoroh dalam berbisnis. Ibuku pebisnis ulung, tak ada yang bisa mengalahkan kuatnya ia mengatur keuangan rumah tangga, memiliki toko dagang, persewaan, mengurus sawah dan beberapa tenaga kerja dirumah. Aku yakin, ia lah sumber kekuatan, penopang keluarga ketika ayah ambruk, kakak-kakak sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Ibu tetap siap, ibu tetap sigap dalam keras kepalanya untuk merawat ayah sendiri, ia ingin mengabdikan hidupnya untuk suaminya.

Karakternya menurun kepadaku, ia menurunkan sifat kerja keras dan mandiri. Ia mengajarkan nilai-nilai tekad yang kuat meraih cita-cita. Ibu ingin aku belajar rajin, sekolah diluar negeri dan bekerja mandiri. Tapi mungkin ia bukan orang yang bisa berkomunikasi dengan baik tentang kasih sayang. Ia keras padaku, tapi melunak ketika aku mulai diam dan mengunci diri dikamar. Ibu tahu aku bukan sosok yang mudah marah dengan emosional. Aku lebih suka mengurung diri dikamar, ia tahu jika aku sudah seperti itu, aku sedang dalam kondisi marah. Lalu ibu mengajakku makan dan berkata manis. Tanda ia minta maaf dan aku pun luluh

Ibu-ibu, maaf sering sekali membuatmu marah ditelepon. Karena itu caraku agar kau bisa mencambuku menyelesaikan skripsiku. Maaf kalau aku tak pulang, semua untukmu. Agar cepat kelar skripsiku, maaf aku sering tak meluangkan waktu, ini untukmu agar cita-citamu aku sekolah lagi dan mandiri tercapai. Ku genggam doamu agar aku rajin berdoa dan belajar. Bu,aku ingin kau bangga, meski hubungan kita selalu naik turun karena karakter kita yang sama-sama keras kepala, aku paham kita saling menyayangi dengan cara masing-masing. Dalam teriakan, ketidaksepakatan, dalam kesendirian, semua akan berlalu dengan baik. Kau akan bahagia bu, aku janji J

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...