Selasa, 06 Desember 2016

Surat Hari Pertama

Sudah berhari-hari saya menunggu hujan. Saya ingin melihat air turun dari langit lalu berlomba-lomba mencari jalan untuk sampai ke muara. Saya rindu bau tanah sehabis hujan. Hujan memberiku hati sejuk sekaligus kenangan-kenangan yang mengukir dipikiran.

Hujan memberi pertanda beribu-ribu tanda kemesraan Tuhan kepada setiap mahkluknya. Ia menjadikan air menjadi pelepas dahaga bagi daun-daun yang kering, sungai-sungai yang kerontang kembali mengalir, burung-burung berlarian kembali ke sarang dan manusia mulai mencari keteduhan agar tak basah.

Hari ini adalah hari pertama dari sekian waktu jarak memisahkan saya dengan kamu. Entah berapa kilometer lagi rindu kembali menemukan rumahnya. Ini bukan pertama kalinya berjarak waktu. Tapi ini pertama kalinya aku berjarak tanpa menyapamu. Hari-hari ini aku harus membiasakan diriku tanpa dirimu, Mas.

Mas, kamu pasti ingat hampir tiap hari setiap kita berdua pulang kerja, ada waktu kita makan bersama. Ada kalanya aku sering ngotot memasak untuk kamu meskipun kamu pasti tidak setuju. Kamu tidak ingin aku lelah setelah seharian bekerja. Tapi aku tahu, kamu tak pernah menolak setiap masakanku. Kamu bilang masakanku enak. Tumis kangkung adalah masakan kesukaanmu. Biasanya dengan tempe goreng kamu lahap memakan.

Aku tahu, niatmu membeli banyak buku resep masakan, seperti Mustika Rasa" sebuah buku tentang resep masakan di era Soekarno bukanlah tanpa alasan. Harga buku itu amat mahal. Tapi bagimu membeli buku itu perlu menurutmu. Kamu tentu tahu, aku sangat menyukai bumbu-bumbu dan rempah-rempah Nusantara. Aku sangat menyukai tempat rempah-rempah yang dijual dibeberapa toko. Kamu mengerti sekali bahwa aku punya cita-cita untuk ke Maluku, menjelajahi Ternate dan Tidore. Tempat rempah-rempah berjaya pada masanya. Kamu paham benar mengapa aku ingin sekali ke pulau Banda Neira tempat banyak sekali tokoh nasional dibuang karena aku ingin mencari akar kembali. Sehabis membeli buku itu kamu bilang "Nduk entar masak dari buku ini, ya?" lalu aku pun mengangguk.

Kamu tahu, aku punya mimpi bahwa anak-anak kelak selain harus menjadi dirinya sendiri yang merdeka, masa depan mereka juga ditentukan oleh masakan dirumah. Apakah makanannya dibuat secara instant atau dengan rempah yang memasaknya membutuhkan rasa dan cinta kasih. Aku bilang kepadamu, hasilnya akan berbeda. Anak-anak harus tumbuh dengan otentik kataku. Tidak tercerabut apapun dari akar bapak maupun ibunya. Maka kitalah yang harus mencari akar kita dan menurunkannya, termasuk makanan yang tersaji kepadanya.

Mas,beberapa hari ini aku sibuk menulis. Laporan bertumpuk seperti aku dikejar oleh setan. Tapi seperti katamu, "kamu harus berikan yang terbaik dari dirimu, jangan pernah mengecewakan orang yang memberikan kepercayaan padamu". Itu aku pegang kuat dalam mengerjakan apapun.

Mas, aku rindu sapaanmu. Tapi tugasmu jauh lebih membuatku kuat. Kamu disana memberi ilmu, berbagi kebaikan. Tak ada yang membahagiakan kecuali kamu bisa membahagiakan dan berbagi ilmu dengan orang banyak. Itu jelas-jelas kebahagian utama bagiku. Cinta, seperti janji kita, tak ada gunanya bila tak memberikan manfaat bagi sesama.

Kaliurang, dibawah hujan deras.
6 Desember 2016








Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...