Kamis, 19 November 2020

Long Journey of Trauma

Menerima diri sendiri itu ternyata jauh lebih sulit dari yang kukira. Memaafkan masa lalu juga ternyata tidak mudah. Setelah kepergiaan Ibu secara mendadak, ada trigger besar yang membuat saya memiliki kontrol emosi yang rendah dan mood swing yang hebat. Selama berbulan-bulan saya menahan diri dan mengenali kembali apa yang terjadi didalam diriku. Ada masa-masa dimana aku sangat mudah untuk menangis dan terpukul sendiri atas apa yang aku perbuat.

Kesedihan-kesedihan itu telah banyak merundung kehidupanku selama ini. Hingga ada suatu keberanian besar yang akhirnya aku ambil untuk kembali lagi mendatangi psikolog. Ini adalah satu langkah yang akhirnya kuputuskan aku ambil karena aku ingin makin yakin bahwa ada hal yang tidak beres menghantuiku. 

Oh ya, sebelum ke psikolog, selain mood swing dan kontrol emosi yang buruk, aku sering terbangun ditengah malam dan dalam sekali waktu menangis entah disebabkan oleh apa, tak jelas.

Sejujurnya kedatanganku ke psikolog sudah cukup mantap atas diskusi dengan suamiku. Ia pasti lelah juga mendapati diriku yang kontrol emosinya makin parah. Hanya diawal kepergianku ke psikolog, ia tak kuberi tahu. Ketika pulang baru aku cerita segalanya.

Di psikolog, aku melakukan analisa mendalam atas masa lalu yang aku alami. Aku berkata kepada psikolog bahwa yang tidak beres bukan orang lain tapi diriku. Masalahnya ada didalam diriku. Aku membutuhkan penegasan dan bantuan untk melakukan pemetaan atas apa yang terjadi didalam diriku sendiri.

Satu per satu, menggunakan alat bantu papan catur, aku diajak menengok kembali segala masalah yang pernah terjadi didalam hidupku. Titik goncangan awal kuterima tahun 1995, saat seluruh tatanan kehidupan keluarga berubah. Dimana kakakku perempuan menikah dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab hingga hari ini dan ia masih terjebak didalam kekerasan dalam rumah tangga. Ibu tak menyetujui pernikahannya sedangkan bapak melunak karena tidak tega dengan anak yang tengah dimabuk cinta. Aku sendiri setelah dewasa mengira keputusan kakak perempuanku menikah adalah murni karena kekerasan seksual. 

Setelah ia menikah, ibu lebih banyak menjadi pribadi yang tak kuat mengontrol emosi. Pelampiasannya adalah kepadaku. Selama puluhan tahun, aku menyimpan kedukaan yang panjang. Selama bertahun-tahun itu pula, sosok yang selalu kujadikan tumpuan adalah Bapakku. Ia yang kuanggap sosok yang menjadi malaikat penyelamatku. Hanya saja, itu tak berlangsung lama. Ketika tragedi kembali terjadi tahun 2000 ketika kakak perempuan dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu terjerembab kedalam hutang hingga ratusan juta dan mengguncang keluarga kami. Bapak shock, menjual seluruh aseetnya dan kemudian terkena serangan stroke.

Kondisi bapak stroke membuatku hidup dalam kerentanan secara psikis. Diusia 12 tahun aku menahan benar tekanan untuk sekolah tapi disaat yang sama mendapati orang tua yang sakit. Di tahun-tahun setelahnya bapak berkali-kali terkena serangan stroke. Ini membuatku lebih banyak berdiam diri dan mengurung diri. Secara sosial aku sangat mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial meski terpaan masalah keluarga sangat bertububi-tubi. Aku menyalurkan segala kemarahan dan kekecewaan yang ada didalam keluarga dengan segala tragedinya dengan belajar dan berjuang terus meraih mimpi-mimpiku. 

Kehidupan makin tambah pelik ketika kakak laki-lakiku justru menganggap perbuatanku untuk mandiri dianggap melawan ibuku. Aku memutuskan bekerja karena tahu bahwa biaya pengobatan bapak akan menguras kantong perekonomian keluarga. Hingga aku mengambil alih sepenuhnya hidupku dengan bekerja sebelum aku lulus kuliah meski akhirnya skripsiku kedodoran. Aku membiarkan semua pelampiasan, judgement yang muncul dari ibu dan kakak laki-lakiku sebagai omongan lalu. Mungkin saat bapak yang sudah tak bisa bicara tahu bahwa aku memanggul teralu banyak pelampiasan dan rasa marah dari Ibu dan kakakku atas konflik yang terjadi dari pernikahan kakak perempuanku. Tapi suasana Jogja membuatku tertolong, aku merasa inilah rumah, kebebasan sekaligus kegelisahanku tentang apa yang disebut kehangatan keluarga. Dengan segala gemblengan itu, di kota pelajar ini aku menjadi sangat mandiri untuk mengerjakan banyak hal, menghidupi kehidupanku sendiri, dan berdiri diatas kakiku sendiri meski kadang goyah dengan goncangan-goncangan yang ada. 

Saat bapak meninggal, itulah masa paling hitam didalam hidupku. Tahun 2012 adalah titik paling nadir didalam hidupku. Ia yang kusebut malaikat telah pergi, mangkat setelah menungguku pulang. Ia menungguku. Ikatan batin yang kuat membuatku paham untuk segera mengikhlaskannya. Pergi untuk selamanya.

Saat ia pergi, aku merasa benar-benar tak punya lagi orang yang bisa memahamiku tanpa kata. Aku kehilangan pegangan kuat untuk hidup. Tidak ada orang yang mengenalku betul diriku selain Bapakku. Di saat genting itulah aku bertemu dengan suamiku sekarang, Ryan. Ia teman baik yang mau mendengar segala keluh kesahku. Tentang keputusasaanku untuk bisa bergairah lagi meraih apa yang sudah kurancang sebagai bagian masa depan karierku. 

Saat bapak pergi, aku dirundung duka yang cukup dalam hingga aku pergi ke psikiater. Aku merasakan ketidaknyamanan. Disaat yang sama relasiku setelah bapak meninggal dengan orang-orang rumah memburuk. Ini bentuk kekecewaan mendalam yang tak pernah aku ungkapkan, betapa hidupku akhirnya penuh dengan peluh dan kesedihan karena keputusan-keputusan sembrono, yang berakibat fatal pada mentalku. Apa aku kemudian marah? Reaksiku lebih banyak diam. Aku banyak menumpahkan semua ke Ryan, meski ada pula yang kusimpan dalam tangis pada malam-malam panjang. Dan sejak bapak pergi, aku gak pernah mau menikah. Kosong. Saat itu setelah 8 bulan bapak pergi, hubungan percintaanku juga kandas. Aku sendirian.

Dimasa-masa inilah aku benar-benar merasa terasing dari keluarga. Aku hingga hari ini tidak tahu benar apa yang membuatku bisa bertahan kala itu. Disamping itu, saat itu ada beberapa laki-laki yang mendekati dan mengajakku serius. Tapi lebih banyak aku juga urung. Aku paham, banyak hal yang tidak beres didalam diriku. Direntan juni 2013, setahun setelah bapak pergi, aku memutuskan lebih banyak menyepi, sendiri dan menikmati waktu untuk diriku sendiri.

Mungkin fase-fase juni-november 2013 ini lah aku merasakan keterasingan dari keluarga tetapi juga mengalami kegembiraan bahwa aku bisa menerima diriku sendiri. Jujur, pada malam-malam selama beberapa bulan itu, aku mulai belajar mengikhlaskan Bapak, mulai belajar menerima bahwa diriku sendiri adalah orang yang kesepian. Bahwa kesepian itu juga tak apa-apa. Aku juga makin dekat dengan Allah. Dalam satu momen, aku merelakan dan mengikhlaskan pelan-pelan segala kesendirian, ketakutan dan keterasingan itu dengan sadar bahwa memang itu takdir yang harus kujalani. Tak perlu lagi dihindari.

Tanggal 4 November, segala kepasrahanku dikejutkan Tuhan dengan menerima Ryan sebagai pacarku. Aku nyaman dengannya sebagai sosok laki-laki yang dewasa. Tapi sejujurnya aku tak sungguh-sungguh berniat berpacaran dengannya. Waktu itu, aku hanya berpikir, mungkin hubungan ini hanya akan bertahan maksimal 1-2 bulan saja. Lagi pula aku juga tahu, ia baru saja putus. Tak mungkin ia benar-benar mencintaiku. Namun, keisengan ini ternyata membuatku justru bertaruh banyak hal didalam kehidupanku.

Saat Ibu tahu Ryan pacaraku itu difabel, ibu menolak dengan keras. Hal ini membuat konflikku dengan seluruh keluarga meruncing. Aku tetap kukuh dengan pendirianku untuk tetap mendampinginya, berpacaran walau tanpa persetujuan. Sejujurnya aku juga tidak tahu mengapa alasan aku memilihnya dan mengapa aku berani bertaruh masa depan dengan menjadi pasangannya. Dasarku hanya keyakinan bahwa ia laki-laki baik dan mimpi. Mimpi beberapa hari sebelum ia melamarku secara personal, ada sosok yang mengatakan bahwa itu dia jodohmu. Dalam itu aku menatap punggungnya, ia memakai baju merah. Baju yang kukenal betul, ia menengok dan itu adalah Ryan.Sejak mimpi itu, aku hanya memiliki keyakinan yang cukup bahwa ia layak kuperjuangkan.

Butuh 3 tahun sampai akhirnya kami menikah. Menikah juga bukan hal yang gampang. Keluargaku penuh keraguan untuk percaya pada pernikahanku. Saat ryan melamar didepan ibuku, ia tak segera mengiyakan. Butuh beberapa bulan sampai akhirnya ibuku setuju. Penerimaan ibu untuk setuju mungkin juga erat kaitannya dengan dunia batinku sebagai orang Jawa. 

Saat itu, di hari kelahiran Nabi Muhammad, aku datang ke sebuah makam yang kuhafal betul sebagai tempat yang paling teduh selain Imogiri dan Giriloyo. Malam itu dari Condongcatur aku berangkat kesana. Ditanya oleh abdi dalem, aku hanya bilang ingin disini. Hingga ada rombongan peziarah datang dan mengajakku masuk ke dalam makam. Disana aku hanya mendoakan mereka yang telah pergi, dan merestui apapun yang aku lakukan, karena aku percaya mereka yang dimasa lalu selalu menangungi kita sebagai bagian dari masa depan. Setelah itu aku pulang ke rumah dan bertemu Ibu, entah kenapa ia tiba-tiba setuju.

Pada malam itu, saat ibu setuju untuk aku segera lamaran, aku naik motor sendirian. Melewati sawah dan memandang bulan. Begitu banyak jalan yang kulalui untuk bisa mendapatkan kebahagiaan. Aku tak pernah mudah mendapatkan apa yang menjadi pilihan-pilihanku. Tak jarang aku lebih banyak dicemooh atas pilihan-pilihanku. Aku banyak mengambil garis komando hidupku meski kadang terbentur tidak karuan. Aku ingin dunia paham, bahwa seorang perempuan harus menghidupi mimpi-mimpi yang ia percayai, meski dunia akan remeh terhadap pilihannya.

Pernikahan ini menjadi pernikahan yang membahagiakan bukan hanya untuk kami tapi juga keluarga. Sejujurnya, kedatangan Ryan didalam hidupuku adalah anugrah, cinta dan cahaya indah atas segala penantian, penderitaan, pendaman kesedihan dan kegelisahan atas segala yang kuhadapi dari usia 5 hingga 27 tahun. Aku tak pernah sebahagia ini didalam hidupku setelah usia 5 tahun. 

Riak-riak didalam pernikahan kami tak begitu banyak. Pernikahan ini berjalan sangat santai dan penuh dengan adaptasi. Goncangan sempat datang ketika akhirnya aku menumpahkan segala amaraku kepada laki-laki yang jadi suami kakakku karena kakakku kembali mengalami KDRT dan tinggal di rumah ibu selama 1 bulan. 

Emosi hampir 22 tahun itu aku tumpahkan dan amarah itu tak kuasa ku keluarkan. Aku sebenarnya ingin menahannya tapi tak bisa. Kakak laki-laki dan ibukku sangat terkaget, aku yang tak pernah marah menjadi seperti kesehatan dengan mengatakan laki-laki itu pembunuh bapakku dan hancurnya keluargaku. 

Aku sejujurnya takut ibu akan ambruk secara mental karena kakakku kembali mengalami KDRT. Seluruh keluarga kami menginginkan ia segera bercerai tapi ia memutuskan tidak demi anak. Ia kembali dan kami masih was-was sampai hari ini karena mereka ternyata juga memiliki persoalan pelik terkait keuangan dan kekerasan. 

Hingga 11 Juni 2020, pagi hari aku ditelepon bahwa ibu tak sadar diri dikamarku. Aku terkaget, temenung. Aura itu datang, suasana itu kembali menjelma seperti 14 Februari 2012. Ibu akan pergi, aku meyakini itu. Tepat 13 Juni 2020, pukul 16.40 Ibu pergi.

Jelas itu memukulku. Sampai saat aku menuliskan ini, mulutku masih kelu, mataku masih menahan air mata. Terbayang-bayang ibu, yang merindukanku tanpa pernah aku menemuinya. Ada rasa tersayat di batin. Meski disaat yang sama aku bersyukur, ibu tak mengalami sakit yang lama. 

Setelah kepergiaanya, ada ruang kosong didalam batinku yang tak pernah terisi lagi. Suatu malam, aku pernah duduk di pojok perpus rumah dan menangis karena aku merindukannya. Ibu tahu betapa aku bahagia sekali mendapatkan Ryan dan betapa ia bangga memiliki menantu seperti dia. Menantu yang selalu ia banggakan karena tak pernah ia mendapatkan perlakuan yang begitu baik dari menantu laki-laki yang perhatian terhadapnya. 

Ibu percaya benar kepada suamiku, termasuk urusan warisan, menengahi konflik keluarga kami, hingga menemani ibu operasi. Saat ini aku meyakini benar ia sangat bahagia melihatku, hanya tinggal aku harus mengikhlaskan beliau.

Dari psikolog aku paham, aku harus pelan-pelan memaafkan seluruh dendam, amarah, kesedihan terhadap semua, apalagi dengan laki-laki suami kakakku. Biarkan Tuhan membalas dengan caraNya. 

Aku harus bisa menata kembali seluruh mimpi. Membuat kembali peta hidup. Melakukan afirmasi dan relaksasi. Psikologku berkata bahwa aku sungguh-sungguh pribadi sangat kuat bisa bertahan dengan kondisi seperti ini dari usia 5 tahun. 

Segala kemarahan dan mood swing ini akan selesai jika aku melepaskan dan memaafkan semua hal yang pernah kualami. Masa lalu yang kujadikan pelajaran hidup.

Pelan-pelan, aku ingin bahagia dengan suamiku. Pelan-pelan membangun mental yang lebih sehat. Keluarga yang lebih assertif, kehidupan yang lebih santai. Aku juga berdoa jika Tuhan, Allah SWT berkenan memberikan kami keturunan, aku ingin anak-anak hidup dengan mental yang lebih sehat dan bahagia. Seperti kelakarku, kalau bapaknya ryansiip harusnya istrinya harus juga siip hehehehe

I hope ini akan jadi satu langkah awal. Oh ya selain afirmasi, psikolog juga memintaku mengalihkan segala emosi dengan afirmasi ke kegiatan positif. Jika mood swing dan kemarahan keluar, segera bergerak dan bernafas panjang karena itu sangat membantu. 

Ini jelas buka hal yang mudah tapi aku mau berubah. Aku ingin lebih sehat. Aku ingin suamiku makin sayang kepadaku, agar keluarga kami akan jauh-jauh lebih bahagia setelahnya. Beruntung, aku mendapatkan support luar biasa darinya setelah aku pulang dari psikolog.

Hari ini 19 November 2020, selang 7 tahun setelah aku mengiyakan lamarannya, aku ingin hidup jauh lebih bahagia dunia dan akhirnya bersamanya :)

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...