Rabu, 27 Maret 2013

Malaikat Itu Juga Tahu, kan?

Dulu kita pernah menyanyikan lagu ini. Aku sangat suka lagu ini, saat pertama kali mendengarkan lagu ini dinyanyikan oleh Dee. Kini lagu ini dinyanyikan lagi oleh Gleen Fredly. Aku selalu menyanyi untukmu sampai kapan pun. Aku masih akan menyanyi di cafe itu. Percaya bahwa ingatan tak pernah luntur meski telah berlalu menjadi kenangan. Maaf sering menangis, maaf aku tak sempat menemuimu sebelum banyak kemo itu menyakitkan tubuhmu. Aku tak akan berhenti menyanyi. Kamu tetap juaranya. Janji :((
Lelahmu jadi lelahku juga

Kali ini hampir habis dayaku
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat

Hampamu tak kan hilang semalam



Namun tak kau lihat terkadang malaikat

Kau selalu meminta terus kutemani

Namun tak kau lihat terkadang malaikat


Rabu, 13 Maret 2013

Kali Oyo : Semacam Perjalanan Melawan Diri


Ini perjalanan gila, melompat dari ketinggian 10 meter, menikmati sinar matahari dan tentu saja bermain dengan air. Perjalanan ini selalu memberi kenangan, kenangan untuk melawan diri sendiri dan kenangan untuk menikmati alam sungai Oyo di Gunung Kidul.Selalu rindu dengan tempat ini. Sangat!

Saya memulai perjalanan ini dari Solo, pukul lima pagi saya sudah bangun dan sholat subuh. Memutuskan untuk mandi dan merapikan barang-barang yang akan saya bawa ke Jogja. Saya berangkat agak terburu-buru tanpa sempat sarapan di rumah.

Ponakan-ponakan kecil saya masih terlelap tidur, meski samar saya mendengar mereka menangis. Ibu saya sudah berada di dapur, menyiapkan secangkir teh hangat untuk mengganjal rasa dingin. Saya bilang dan meminta maaf ke ibu, kalau tidak sempat sarapan dirumah, karena mengejar kereta jam 7 pagi di stasiun Purwosari.

Saya ke stasiun dengan menaiki bis, sembari melihat sawah yang melirik disisi kanan dan kiri mata kanan saya. Ini sungguh menyenangkan, menghirup udara pagi yang segar dan sinar matahari yang menyentuh lembut punggung tubuhmu. Saya sempat berbincang kepada kernet  bus, dia bertanya tentang tujuan saya. Seperti biasa, dari keseluruhan kernet yang sempat saya jumpai setiap minggu pagi, mereka mengira saya akan berangkat ke gereja. Alasannya hanya satu, saya tidak membawa kitab tentu saja tetapi mengira bahwa buku tebal yang saya bawa adalah Alkitab. Saya hanya tersenyum saja, kemudian turun di Purwosari.

Jumat, 08 Maret 2013

Merayakan Keberdayaan Perempuan


Tulisan ini dimuat di Kedaulatan Rakyat Edisi 8 Maret 2013. Tulisan ini saya persembahkan untuk perempuan yang tengah merayakan Hari Perempuan Internasional dan tengah berusaha menggapai keberdayaan dan keadilan..

Merayakan  Keberdayaan Perempuan

Oleh : Any Sundari[1]

Tak henti-hentinya kita disuguhi berita kekerasan terhadap perempuan di media cetak dan elektonik. Hari ini mungkin mereka yang menjadi korban, tetapi tak menutup kemungkinan Anda atau keluarga Anda bisa menjadi korban. Tak pernah terlihat upaya serius dari negara untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, mulai dari kasus pemerkosaan, pelecehan seksual dan  nikah siri yang berawal dari perselingkuhan. Faktanya, suara perempuan dan anak sebagai korban dalam lingkup rumah tangga maupun kekerasan dalam ranah publik tak pernah didengar.

Masih jelas diingatan, bagaimana akhir tahun 2012 publik dikejutkan oleh kasus nikah siri yang dilakukan bupati Garut, Aceng Fikri. Belum lagi kasus Aceng reda, publik digegerkan pula oleh kasus istri Wakil Walikota Magelang, yang menuntut pertanggungjawaban suami karena telah menelantarkan dan melarang ia bertemu anak-anaknya. Media semakin bertambah ramai, ketika elemen dalam masyarakat, memprotes Daming, seorang calon hakim agung yang berceloteh bahwa perempuan korban juga menikmati pemerkosaan yang terjadi pada dirinya.

Kita bisa melihat, betapa  tidak pekanya para pejabat publik kita dengan pespektif keadilan perempuankorban. Hal ini sekaligus mengamini realitas bahwa pejabat publik kita tidak hanya lemah terhadap godaan uang dan kekuasaan, tetapi juga lemah terhadap godaan syahwat dan prinsip kesetiaan terhadap pasangannya.  Perdebatan publik terbelah  antara etis dan tidak etis atas perilaku pejabat publik tersebut. Tetapi, mungkin kita semua lupa, bahwa yang paling dirugikan adalah perempuan korban dan anak. Suara mereka hampir tak pernah kita  didengar, padahal dampak kekerasan terhadap keduanya sangatlah kompleks, dari  kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi hingga sosial.

Menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 maret, tema internasional yang diusung oleh penggerak isu perempuan di seluruh dunia adalah 

Terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidaklah disebabkan oleh faktor tunggal. Mulai dari faktor individual, kontribusi struktur budaya dan masyarakat yang mendiskriminasi perempuan, hingga pembiaran negara yang tak pernah tuntas menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan. Korban sudah kelelahan menunggu, terobosan-terobosan perundang-undangan tidak terlalu memberi manfaat penuh terhadap hak-hak korban. Hanya sedikit perempuan korban yang berani melaporkan kasus kekerasannya. Mulai dari alasan malu, tekanan sosial hingga stigmatisasi terhadap korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Tidak terjadi sinergitas positif antara perundang-undangan dengan fakta lapangan karena faktor kuatnya kontrol kebudayaan yang tidak memihak perempuan.

Sepanjang tahun 2012, Rifka Annisa sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan mencatat  303 kekerasan dalam lingkup rumah tangga di Yogyakarta. Tahun ini kasus kekerasan masih didominasi kekerasan terhadap istri sebanyak 226 kasus, kekerasan dalam pacaran sebanyak 28 kasus, pemerkosaan 28 kasus, pelecehan seksual sebanyak 9 kasus serta kekerasan dalam keluarga ada 11 kasus.

Dari data 303 kasus kekerasan, sebanyak 98 perempuan korban yang datang ke Rifka Annisa mengalami kekerasan psikologis akibat perselingkuhan pasangannya. Perselingkuhan dari tahun ke tahun juga menjadi penyebab utama meningkatnya angka perceraian. Berdasarkan data dari Badilag.net atau Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama pada tahun 2011, terjadi 27.279 kasus perceraian, sebanyak 20.563 kasus disebabkan oleh perselingkuhan. Kasus kekerasan psikologis akibat perselingkuhan mendapatkan momentum perhatian publik di akhir tahun 2012, ketika media mengangkat isu perselingkuhan, poligami dan nikah siri yang dilakukan oleh pejabat publik, khususnya yang dilakukan oleh Aceng Fikri.

Perdebatan publik menjadi panas dengan wacana apakah etis atau tidak jika seorang pejabat publik melakukan perselingkuhan yang berujung pada poligami dan nikah siri. Namun, publik dan media gagal membaca akar dari persoalan yang terjadi. Memang, Aceng Fikri dan beberapa pejabat lain akhirnya mundur, atas persoalan ketidaketisan perilaku pejabat. Namun, tak lantas pencopotan ini memberi efek jera terhadap perjabat publik untuk tidak melakukan kekerasan terhadap pasangannya maupun perempuan lain.

Akar persoalan utama yang harus dilihat dari kekerasan terhadap perempuan adalah ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dimana akses perempuan terhadap pendidikan,menjangkau sumber daya, dan pengambilan keputusan masih sangat terbatas. Relasi yang timpang membuat banyak perempuan pada akhirnya menerima keputusan untuk mendapatkan kekerasan sebagai hal yang wajar. Keberdayaan perempuan tidak sepenuhnya berada pada otonomi dirinya sendiri. Jika ditarik garis lurus, kekuasaan yang dominan terhadap akses sumber daya, baik uang, jabatan, maupun keputusan yang berdampak pada inferioritas salah satu pihak, pada akhirnya menimbulkan kekerasan.

Dalam konteks, kasus perselingkuhan yang berujung pada nikah siri dan poligami, maka perempuanlah yang dirugikan atas sempitnya ruang tawar, karena akses perempuan yang terbatas dalam berbagai sumber daya yang bisa menopang keberdayaannya. Keberdayaan disini, diartikan perempuan berani mengambil sikap untuk menentukan arah hidupnya dengan resiko dan tanggung jawab yang siap dia emban, tanpa takut dan tertekan akibat kuatnya kontrol atas relasi yang tidak seimbang. Selanjutnya, penguatan keberdayaan bisa ditarik dalam ranah yang lebih luas, yakni keberdayaan ekonomi, sosial dan psikologis perempuan. Harapannya, ketika keberdayaan telah tumbuh, maka ia akan tahu  dan bisa memutus kekerasan yang ia alami, agar tak lagi menjadi korban kekerasan untuk kedua kalinya.

Hari ini, kita dapat menyaksikan masih banyak perempuan yang belum merayakan keadilan untuk dirinya sendiri. Masih banyak ruang-ruang kekerasan yang sengaja atau tidak, tetap dilanggengkan untuk kehidupan yang tak aman untuk perempuan. Ruang itu tak hanya dalam bentuk perselingkuhan, tetapi ia terselubung dalam ruang kebijakan dan peraturan-peraturan daerah. Mengutip kata Charles Malik seorang filsuf dari Lebanon “

[1] Manager Humas dan Media Rifka Annisa Women’s Cricis Center


Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...