Bagaimana menaguhkan rinduku
padamu Pak. Rasa didadaku amat berkecamuk tak karuan. Makin lama jarak waktu
dari hari kematianmu, hatiku makin tersayat-sayat, sesak dan kehilangan arahnya
untuk pulang. Disana Bapak melihat semuanya dengan terang terhadapku tapi aku
tidak pak, aku lepas tak terkendali.
Tiap kali aku ingin menangis, aku
tak punya bapak untuk mengadu. Ingin kutahan air mata, tapi akhirnya ia jatuh
juga. Doa-doa terucap, menatap ke langit. Aku tahu Pak, kau baik disana tapi
rindu ternyata berbeda dengan rapalan janji doa akan tempat terbaik disana.
Rindu berbeda dengan itu semua, jika rindu itu makin melebar, ia seperti lubang
yang menganga. Seperti virus yang menyebar dan menghidupkan sendi kesedihan dalam
rongga hati.
Pak, bagiku semua nampak sangat
beragam ketika aku dihadapkan pada umur dari akte, berusia 24 tahun. Didepan
cermin, kerapkali aku menatap diriku. Aku nampak seperti anak manja, yang tak
pernah berubah, merasa bahwa masih ada ayah yang setia tidur bersamaku,
mengompres panasku, membikinkan mie goreng jika aku kelaparan, mengantarkanku
ke toko buku dan mengajakku naik motor menjelang tidur agar aku lekas terlelap.
Pak, aku gagap untuk ditinggal sendiri. Tak kusangka, semua begitu amat pahit
dari waktu dimana kau berada di pusara untuk pertama kalinya.
Dua hari lalu kau datang dalam
mimpi, nampak kala itu, kau menggunakan batik, berpeci hitam, tengah mencopot
sepatu. Berwajah segar dan hanya tersenyum sekilas saja. Kau menatapku, tak
berkata apapun. Tapi dari sana, aku paham bahwa itu wajah rindumu. Dulu ketika
Bapak masih ada, kerapkali aku melihat bapak menatapku tanpa aku pernah
menyadarinya, lalu jika aku tak sengaja melihat bapak menatapku, maka bapak
akan tersenyum saja.
Pak, hatiku terasa lengang.
Mungkinkah ini yang disebut kehilangan. Bahkan doa pun tak mampu mengobati untuk
meringankan. Aku tak memahaminya, sungguh Pak.