diunduh dari http://jongjava.com/web/images/stories/showbiz/celeb/Apr_10/emha.jpg |
Semalam saya bertemu dengan Cak Nun. Ya Cak Nun. Saya menyalaminya. Ia menyambut permintaan salaman saya dengan senyuman. Lalu saya tersenyum kembali, Senyum yang melegakan saya. Melegakan setelah pencarian saya bertahun-tahun tentang diri saya sebagai manusia. Ya manusia. Memang terkesan agak berat. Tapi sekian tahun, akhirnya saya tahu bagaimana saya sebaiknya bersikap dan berperilaku dalam identitas saya sebagai orang Jawa.
Setelah beranjak dewasa utamanya dibangku kuliah, saya sendiri dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pertanyaan dimana Tuhan? Mengapa ia mengirimkan saya kepada ibu yang sering berkonflik dengan saya? Mengapa saya begitu banyak mengalami keputusasaan. Bagaimana saya harusnya nanti bersikap? Mengapa Tuhan tak sepenuhnya memberikan gambaran yang jelas atas maksud-maksudnya? Terlebih lagi, kemarahan saya kepada Tuhan meledak ketika Bapak yang menjadi pegangan saya, guru saya dipendet (diambil) dengan sebegitu entengnya oleh Dia? Saya marah besar kala itu, kenapa hanya saya, anak terakhir yang tak sempat ditunggu oleh bapaknya saat wisuda ataupun kala ijab qobul.
Selama sekian tahun, saya memendam rasa kecewa atas beberapa hal dalam hidup saya. Saya tak punya guide yang jelas untuk hidup sebagai orang yang dewasa. Bayangkan, saya harus mencari sendiri, Kepontang panting, Mungkin kebanyakan orang dewasa seperti itu. Bagi saya ini adalah saat-saat terberat karena mau tak mau saya harus menempuh jalan sunyi, yang katanya menakutkan dan tak bersahabat itu.
Saya telah memamah banyak buku untuk menjawab pertanyaan tentang siapa saya dan mengapa saya berada disini. Latar belakang kuliah saya sebagai seorang Sosiolog, tak serta merta memberikan jawaban sempurna atas siapa diri saya, mengapa saya disini dan dimana Gusti Allah. Sebelum bertemu dengan Cak Nun semalam, saya hanya mampu menjawab satu pertanyaan terakhir yakni "dimanakah Gusti Allah". Pertanyaan itu membawa saya pada pencarian berbulan-bulan, kekurangan tidur dan sering menangis. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, saya akhirnya bertemu dengan Tuhan. Saya menemukannya ketika saya berjalan-jalan di toko buku. Entah mengapa kaki saya berjalanan menuju ke pojok toko buku. Tempat dimana disana terdapat banyak kitab tafsir dan juga Al Quran. Saya membeli sebuah Al Quran dan membawanya pulang. Sampai dirumah saya membacanya. Bukan membaca huruf arabnya, Saya justru membaca bahasa Indonesia. Sebelum membacanya, saya sempat mengancam Gusti Allah. Kalau Gusti Allah sampai tidak memberikan saya jawaban, saya akan marah besar pada Beliau. Masak katanya ini kitab pemberi petunjuk, saya tidak bisa menemukan jawabannya. Bayangkan, membaca dengan niat mencari tetapi dengan nada mengancam.
Lembar demi lembar pun saya buka, Sampai akhirnya di sebuah Surah Al Baqoroh, saya menemukan jawaban yang membuat saya mati kutu dihadapan Gusti Allah. Kurang lebih artinya seperti ini "Dimana pun kamu memandang, disitulah ada wajahKu berada". Seketika itu juga saya sujud dan menangis tersedu-sedu. Saya menangis tak karuan, Saya merasa malu. Ya malu melihat tingkah saya yang seolah-olah tak melihat Gusti Allah tapi sebenarnya Gusti Allah melihat saya dengan sangat teliti dan berbaik hati. Disela-sela menangis itu akhirnya saya pun akhirnya tertawa. Duh Gusti, saya ini memang manusia rendahan. Sok-sok an mencari. Padahal sudah Sampeyan pandangi saya dari tadi. Dari saya masih di rahim ibu sampai saya segede ini. Duh Gusti. Sejak itulah, saya memahami bahwa pencariaan akan Gusti Allah itu pribadi. Gak bisa disama-samakan rek antara satu orang dengan orang lain. Makanya sejak itu, saya tahun bahwa rukun iman itu domain Gusti Allah. Kamu gak bisa mengkafirkan orang lain, menilai orang lain, memaksa orang lain untuk sama denganmu. Kita sering kali tak tahan jika orang lain tak sama dengan kita. Berbeda. Dan kemudian itu menjadi sebuah masalah.
Pertemuan saya dengan Gusti Allah pun kemudian tak serta merta membuat saya jadi religius. Sama sekali tidak. Saya masih memiliki dua pertanyaan yang lain, siapa diri saya dan mengapa saya ada disini. Pencarian itu seperti pertarungan babak belur. Saya merasa tak nyaman dengan diri saya sendiri. Saya menemukan relasi dan konflik yang terus berbalut dalam hidup saya. Saya banyak melihat orang yang sak enake udele dewe (seenaknya sendiri). Gila kuasa, senggol kanan senggol kiri untuk dapatkan kuasa. Saya merasa kadang sampai frustasi sendiri, kok orang bisa tidak nguwongke wong liyo alias mengorangkan orang lain dalam bersikap dan bertingkah laku. Belum lagi sok-sokan diskusi soal Indonesia. Lah, saya malah kecemplung dalam kondisi keprihatinan yang tak habis-habis. Bagaimana mungkin manusia bisa-bisanya merendahkan manusia lain yang dari Gusti Allah lah dia juga diciptakan.
Fase-fase pencarian saya ini agak epik. Pegangan saya hanya satu, pesennya malaikat Jibril dari Gusti Allah pada Kanjeng Nabi di gua Hiro "Bacalah". Ya ming itu saja. Setelah baca, tahu sumber informasinya, ya saya harus konfirmasi pada orang yang lebih tahu dan paham. Saya ini ncen sadar bahwa saya kepengen banyak tahu. Tapi akhire bingung dewe. Kebingungan-kebingungan ini amat wajar sebenarnya. Sebagai perempuan Jawa, saya hampir sepenuhnya mencari jawaban soal hidup bukan dari sumber saya dibesarkan yakni di Jawa. Wejangan-wejangan soal hidup, utamanya dari bapak, hanya setengah-setengah saya dapatkan. Bapak saya yang semi-semi abangan dan Nahdiyin itu tak langsung menurunkan ilmu hidupnya secara langsung. Lebih tepatnya cuma tersamar, karena menjelang saya berusia 12 tahun, bapak terkena stroke pertama. Bapak sangat sensitif dan suka nangis sendiri. Lha kalau sampai tak tanya yang berat-berat, bisa kambuh stroke bapakku. Yo ra?
Belum sempat nanya, eh bapak ku malah dipendet. Pokok e aku malah tambah mangkel sama Gusti Allah. Lha aku tanya siapa?
Tiga tahun setelah bapak tidak ada, saya ini kayak kapal yang gak jelas arahnya. Pesawat yang bingung mau mendarat dimana. Dari Merry Riana sang motivator sampai Pram yang di buru di Buru sana saya jumpai. Ning yo hasilnya bukan nihil sih. Tapi gak ana rasane. Ibarat sayur lodeh, yo rasane gak gurih. Saya pentalitan (jungkir balik) juga dengan buku-buku jepang, tapi ya hambar. Sampai titik ketemu itu mulai ketemu ketika saya berdialog dengan seorang teman. Di sebuah senja, di pelataran atas Taman Sari Yogyakarta.
Saya dan dia berdialog tentang kekecewaan-kekecewaan saya soal hidup saya. Ia kemudian menawarkan saya untuk kembali pada identitas saya. Pada kejawaan saya. Pada leluhur saya. Ia mengingatkan saya untuk menelusur lagi identitas kejawaan saya. Siapa tahu disana ketemu jalannya, karena disanalah akar saya. Sebagai anak perempuan Jawa, Solo maneh, hidup saya dipenuhi dengan tata krama jawa yang kental. Saya suka sebel memang, kolot sih. Tapi tak ada salahnya saya mulai membuka kembali. Karena ari-ari saya yang dikubur di Jawa dan keturunan saya amat kental budaya Jawa.
Mulailah kembali saya buka manuskrip-manuskrip soal Jawa. Mula saya membaca pemikiran psikologi Jawa, Darmanto Jatman. Setelah membacanya saya agak tentram. Tidak tentram-tentram banget sebenarnya tetapi lebih baik. Disusul kemudian saya membaca Ki Ageng Suryomentaraman (KAS). Soal bagaimana mengolah rasa, getun sumelang, dan turun-turunanya. Tapi belum damai 100%. Sampai akhirnya saya menemukan ketenangan itu semalam, di tempat yang sama saya memulai dialog soal kejawaan saya, dipusat keraton Mataram, Taman Sari.
Dua hari sebelum kejadian ini saya diajak Mas (sebutan saya untuk pacar) untuk nonton Cak Nun dan Kyai Kanjeng. Sudah lama dia bilang tidak nonton Cak Nun dan Kyai Kanjeng. Maklum, dia ngaktivis NU. Jadi ya sukanya dengerin Cak Nun, Gus Dur, Habib Syech dan shalawatan. Walau kadang sholatnya gak teratur-atur amat. Kalau ku tanya kok gak sholah? Jawabane mesti" udah sholat, kamu gak lihat". Kalau gitu, ya tak biarin saja. Saya memang tak pernah mencampuri urusan dia dengan Gusti Allah. Itu hak preogatif si Mas.
Saya mancal (pergi) dengan dengan si Mas jam 8 malam. Niat saya sih ingin paling tidak bersua dengan teman-teman Maiahan. Setelah lama tak sempat ke Kasihan setiap tanggal 17. Kali ini Cak Nun bicara soal identitas Jawa. Ya Jawa, mbuh pas opo gak, Gusti Allah ngekon aku menyang acara yang ternyata aku disuruh nyari jawabannya ya disitu.
Cak Nun bicara banyak soal konsep Punokawan, Ksatria, Brahmana dan Dewa. Ia juga berkata soal konsep Jawa yang telah berdiaspora dengan berbagai negara. Saya menikmati musiknya yang mencampurkan konsepsi semua kebudayaan. Sloga Cak Nun adalah "Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat". Cak Nun menguatkan diri kami. Diri saya secara pribadi sebagai Jawa yang terasa minder dan kalut dengan persoalan-persoalan kekinian, Ketakutan akan ketidakpastian. Ia mengingatkan saya bahwa sebagai Jawa jangan sampai saya kehilangan kejawaan saya. Bukan dalam artian jawa lebih unggul dalam peradaban yang lain. Jawa adalah kebudayaan yang bisa mangku apapun, bukan menjajah, tapi nguwongke wong liyo.
Tiga tingkatan bahasa dalam jawa, kromo, madyo dan ngoko bukanlah perkara stratifikasi atau level bahasa, karena bahasa Jawa adalah soal rasa. Rasa dalam kata yang tak pantas diucapkan tanpa rasa hormat kepada orang yang kita ajak bicara. Pesan itu saya resapi dengan dalam-dalam. Pesan yang membuat hati saya dipengujung malam tak terasa rasa kantuk sekalian bersholawatan. Ada tiga pesan yang paling saya remuk redamkan dalam hati saya. Wong Jowo itu kudu bisa toleran terhadap yang berbeda. Bisa menghormati dan tidak menginjak-injak harga diri orang lain. Dan satu, bisa berdialog dengan alam.
Titik puncaknya adalah Manunggaling Kawula Gusti. Disana banyak tafsirnya. Tapi tafsir sederhananya sepertinya;
Manunggaling kawula Gusti iku nek njenengan kelingan Gusti Allah, kapan pun, dimana pun. Tiap laku panjenengan iku ana Gusti Allah. Nek sampeyan merasa uripe susah, rasah khawatir. Ndongo karo Gusti Allah. Tetep do solawatan kalian kanjeng Nabi. Arep uripmu susah, ra kepenak, asal panjenengan ora di dukani opo dinesoni Gusti Allah lak yo rampung. Yo ra"
Manunggaling Kawula Gusti adalah saat Anda ingat Gusti Allah, kapan pun dan dimana pun. Tiap sikap, perilaku Anda itu ada Gusti Allah disana. Kalau Anda merasa susah, tidak usah khawatir. Berdoalah kepada Gusti Allah. Tetaplah bersholawat untuk Kanjeng Nabi. Mau hidupmu susah, tidak enak, asal Anda tidak dimarahi Gusti Allah ya kan gak ada masalah. Ya gak?"
Jawaban itu membuat saya menunduk, menangis, Menangis karena saya terlalu banyak kesalahan dan dosa. Terlalu sombong, Terlalu dan terlalu. (sampai menulis ini saya masih ingin menangis). Ditengah malam itu, saya bersholawat. Duduk di belakang panggung, mengarah ke utara. Saya berucap
"Gusti, nek saya balik ke Panjenengan suatu saat, saya ingin dalam keadaan bersih, khusnul qotimah. Saya ingin balik ke Sampeyan dengan bahagia dan tenang. Jika malam ini kau limpahkan dua keranjang rizki dan kebaikan, saya hanya ingin rezeki itu adalah pemaafan dan kebaikan untuk sesama manusia. Kelak saya ingin balik sebagai bayi lagi yang suci. gak kurang gak lebih, cuma itu Gusti"
Sholawat terus berkumandang dan saya meneteskan lagi air mata yang diusap dengan syal lembut oleh Mas dan ia tersenyum.
"Saya menemukan jawabannya"
Ia menjawab dengan matanya, "Ya, Nduk"