Dua hari yang lalu, saya sempat
tertegun membaca potongan berita dari seorang teman facebook yang mengabarkan
bahwa menteri pendidikan, Muhadjir Effendy
akan menerapkan sistem full day school. Sistem ini ditujukan untuk
anak-anak SD dan SMP untuk seharian penuh di sekolah. Alasannya, agar mereka
tetap bisa diawasi dan tidak terjadi hal-hal yang menyimpang jika pulang
sekolah sementara orang tua masih bekerja. Sang menteri kini telah berniat
untuk sesegera mungkin mensosialisasikan hal tersebut ke sekolah-sekolah negeri
maupun swasta, dari tingkat nasional hingga tingkat daerah. [1]
Membaca berita ini mata saya
langsung merah dan saya rasanya pengen teriak sekencang-kencangnya. Saya
termasuk anak korban dari kurikulum dan
sudah bertahun-tahun merasa terdzolimi oleh sistem pendidikan yang berantakan
di negeri ini. Saya merasa dampak itu masih berpengaruh signifikan pada diri
saya pribadi dan sampai hari ini saya
masih berusaha menghilangkan hal itu. Tidak mudah. Ada semacam trauma yang tidak berkesudahan dan
saya baru mulai bisa pelan-pelan bangkit setelah sampai jejang kuliah S1,
dimana saya masuk pada departemen dan fakultas yang sesuai dengan minat saya.
Sebagai ilustrasi sederhana, saya
masuk di sebuah sekolah dasar yang memberikan ruang untuk bergerak sangat luas.
SD saya dikelilingi sawah dan sungai. Saya biasa pulang sekolah bermain di
selokan, memancing ikan di sungai bahkan mandi di sungai selepas olahraga.
Guru-guru saya membebaskan saya untuk mengekspresikan apa yang saya sukai.
Mereka tak monoton mengajar di kelas. Kadang jika kelas menggambar atau menulis
puisi, kami dibebaskan berada diluar kelas untuk mencari inspirasi. Tiap musim
hujan, area lompat jauh adalah tempat favorit karena bisa main digenangan air
sepuasnya. Kasti adalah olahraga sehari-hari, lompat tali, main kelereng, petak
umpet, makan kwaci, godril, manisan, mencari buah duwet dan kedodong adalah
ritual, memanjat pohon kesemek adalah kenikmatan. Di kelas, kami terbiasa
mendongeng didepan kelas, telinga kami juga terbiasa mendengar dongeng tentang
kisah nabi-nabi dari guru agama kami, dari situ kami belajar menjadi pendengar
yang baik.
Saya juga termasuk anak yang
aktif dalam berbagai lomba. Saya dulu ikut olahraga tenis meja hingga tingkat
provinsi. Guru dan bapak saya paham, saya anak yang tak bisa diam, maka
kemudian keaktifan saya disalurkan lewat olahraga. Selain itu, saya juga ikut
pramuka siaga dan ikut berbagai lomba didalamnya. Di SD kira-kira ada 20 piagam
yang saya dapat dari berbagai macam lomba. Hingga kemudian, tahun 2001 awan
hitam mulai menyelimuti kehidupan saya. Kenikmatan lahir batin dimasa SD lenyap
seketika dengan terror bernama kurikulum dan ujian nasional.
Bulan juni 2001, saya masuk
sebuah sekolah favorit di kota saya.
Saya mendaftar bersama bapak saya. Dari sebuah sekolah dasar yang penuh dengan
pembelajaran dan bermain, berubah menjadi tembok penjara. Hidup saya, saya
habiskan dengan 17 mata pelajaran, 8 jam sehari dalam 1 minggu. Setiap hari
saya harus membawa buku berat dan berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer menuju
sekolah dari jalan raya. Saya harus melepas latihan tenis meja saya, karena
banyak waktu yang tersita untuk belajar. Saya harus berkompetisi di bidang yang
tak pernah saya suka. Saya pembenci ilmu eksak tapi saya dipaksa dikelas untuk
belajar apa yang tidak saya suka. Saya harus belajar fisika, biologi,
matematika dan nilai saya memburuk. Saya mendapatkan peringkat paling buncit,
sementara di sekolah dasar saya selalu juara kelas. Ini membuat saya frustasi, saya
menjadi benci pada sekolah. Sekolah di bangku SMP adalah hal yang paling
menyiksa. Saya dipaksa untuk duduk saja didalam kelas selama 8 jam. Tiap pagi,
berangakat sekolah adalah hal yang paling menyiksa. Puncaknya, nilai matematika
saya semua mendapat 5 selama hamper 4 semester. Saya ingin menangis setiap
hari. Kalau bukan ibu yang menyuruh saya bertahan, saya sudah quit dari sekolah. Ibu saya hanya
bilang bertahan saja nduk, setidaknya ini satu-satunya jalur yang bisa kamu
tempuh. Sabar saja ya. Saat itu, tak ada opsi sekolah alternatif di kota saya
yang bisa membuka ruang bagi kreatifitas, misalkan sekolah alam atau sekolah
seni dll. Ibu kemudian memberikan kebebasan bagi saya untuk ikut aktivitas yang
saya suka diluar pelajaran, ibu menyuruh saya les yang saya suka, les menyanyi, ikut pramuka sebagai ganti
aktifitas fisik olahraga, ikut karate dll. Tujuannya sederhana, agar saya tidak
stress dan frustasi. Nilai saya yang jelek pun tidak pernah diungkit sama ibu.
Dia tahu saya sudah banyak pikiran dan kacau karena pelajaran yang bertubi. Ia
ingin saya anaknya selamat, setidaknya saya harus lolos dulu di SMP.
Saya lulus dari SMP dengan beban
berat seperti bertarung. Saya frustasi dan stress. Imun saya menurun dengan
munculnya alergi dalam tubuh saya. Saya gampang sakit. Masuk SMA, dibangku
kelas 1, kejadian berulang. Namun sepertinya saya lebih terlatih. Saya mulai
bisa memilah dan masa bodoh dengan pelajaran yang saya benci. Saya gak peduli
dengan nilai-nilai. Saya berfokus saja pada apa yang saya suka. Saya gak
perduli kata orang soal bodohnya saya di kelas. Hidup 3 tahun penuh siksaan
kurikulum masa SMP, tidak boleh lagi terulang. Ketika masuk kelas 2 SMA, saya
memutuskan masuk ke jalur ilmu sosial. Alasan saya sangat mendasar, saya pembeci
ulung pelajaran hitungan. Di jurusan ilmu sosial, saya mulai menata ulang
kehidupan sekolah saya. Saya mencoba bangkit pelan-pelan. Saya membangun
pertemanan menjadi lebih baik. Dulu saya amat tertutup karena banyak orang
menganggap saya bodoh karena gak pinter matematika, fisika, kimia, dll. Saya
belajar berempati lagi banyak anak-anak yang mungkin nasibnya seperti saya
ketika remaja. Saya membangun pertemanan kecil agar tak kesepian, saya tidak
punya genk. Hanya 2-3 teman dekat yang saya punya. Sebagian yang lain adalah
teman-teman kelas biasa saja.
Di kelas 2 SMA inlah saya mulai
tahu bagaimana membagi focus dan menangani kesedihan saya. Saya pelan-pelan
bisa belajar dengan cermat karena mata pelajaran yang tidak banyak. Jumlah jam
belajar saya juga tak banyak. Saya mulai dekat dengan laki-laki juga. Saya
mulai sering jalan-jalan, menjadi teman curhat banyak teman dan membaca buku
yang saya suka, sejarah dan sosiologi. Saya mulai senang membaca Tempo. Saya
lebih suka membelanjakan uang untuk membeli buku. Saya merasa bisa bicara
didepan orang banyak. Lebih banyak ruang untuk diskusi, negosiasi dan bisa
belajar tentang toleransi. Waktu saya
seolah kembali ke zaman SD. Banyak bermain, tidak terbebani meski ada ujian
nasional karena saya merasa jauh lebih nyaman pada diri saya sendiri pada waktu
itu sebagai remaja. Semuanya bisa saya kendalikan dengan baik. Hal itu terlihat
ketika saya diterima di 3 universitas negeri secara bersamaan. Hingga akhirnya
saya memutuskan masuk ke UGM.
Di UGM, saat itu tahun 2007. Saya
tercatat sebagai mahasiswa FISIPOL. Saya meninggalkan kota kelahiran saya dan
memulai hidup mandiri. Awalnya saya takut, tapi saya tahu kalau tidak pergi
maka saya tidak akan pernah mandiri. Berdiri di Sansiro, menghadap ke timur, datanglah
diatas plaza fisipol dekan waktu itu, Pak Mochtar Masoed. Saya yang baru kenal
ospek merasa takut kalau ada kekerasan dan perploncoan. Masih lugu dan sambil
tertunduk, saya mendengar ucapan beliau, kurang lebih ucapannya seperti ini;
“Hari ini kalian semua, selamat datang
di FISIPOL, kampus kalian, rumah kalian. Anggaplah ini adalah rumah kalian
tumbuh dan mendapatkan segala macam ilmu. Dengarkanlah semua, pelajarilah
semua, bacalah semua, lalu pilihlah yang kalian anggap benar menurut hati
nurani kalian. Kalian disini bukan lagi anak-anak SMA, kalian disini datang
sebagai manusia yang dihargai kemanusiaanya”
Selama 17 tahun hidup, saya tidak
pernah merasakan diajak berbicara sebagai manusia. Saya tertegun dan sempat
meneteskan air mata, namun buru-buru saya hilangkan. Selama saya hidup, pasca
duduk dibangku SMP, saya hanya dianggap murid robot. Tak pernah diajak bicara
secara setara, dianggap manusia. Saya
hanya jadi korban untuk menerima kurikulum tanpa pernah saya ditanya apakah
bersedia atau tidak. Saat itu saya mengingat masa-masa paling pedih yang saya
harus habiskan tiap harinya di sekolah dengan penuh beban, selama 8 jam
belajar. Frustasi dengan nilai dan ujian. Sementara orang tua saya tidak bisa
berbuat banyak karena hanya mekanisme formal itulah yang harus saya lalui. Tidak
ada cara yang lain. Merekalah yang membuat saya mau dan mampu bertahan.
Setelah 9 tahun, pasca saya menginjakan kaki di kampus, saya merasa menjadi lebih baik. Saya tahu bertapa bobroknya kurikulum yang selalu berganti-ganti tanpa pernah menimbulkan efek kritis, membebaskan dan menginspirasi. Kelas yang monoton adalah momok, apalagi full day school yang bisa saja membuat anak tak hanya stress tapi juga depresi. Mereka tidak hanya dikekang kurikulum, jam bermain mereka direnggut, kreatifitas dijarah dan nalar kritis direpresi.
Saya mungkin salah satu yang
selamat dari kesalahan kurikulum karena orang
tua saya punya andil penuh membebaskan saya ketika saya sudah tidak tahan dengan
sekolah. Saya memilih jurusan yang tepat dengan minat saya hingga saya
berkembang, dan bersyukur pula punya lingkungan kuliah dan komunitas yang
sangat supportive kepada saya.
Tapi saya tidak bayangkan,
bagaimana nasib anak-anak lain pak menteri?
Saya hanya satu dari sekian juta
anak yang bisa selamat. Saya kira janganlah main-main dengan system pendidikan
pak.
Jika menyelesaikan masalah satu anak saja, mereka
harus melewati sekian tahun panjang penderitaan untuk sembuh, berapa puluh tahun
waktu yang dibutuhkan agar hilang trauma dari satu generasi, akibat (lagi-lagi)
salah ambil kebijakan! Ajak mereka (anak-anak) bicara, karena mereka manusia yang punya hati nurani dan paling tahu apa yang mereka inginkan dari kata hati mereka sebagai MANUSIA...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar