Akhirnya aku menuliskan ini, ini masa-masa yang paling berat didalam kehidupan yang memukulku telak secara psikis dan berpengaruh ke fisik. Aku ingin berbagi ke teman-teman agar aware sejak awal untuk segera mencari pertolongan ke psikolog atau bahkan ke psikiater jika dirasa membutuhkan bantuan. Semakin lama menunda, teman-teman hanya meledakan bom waktu yang nyalanya seperti bom atom.
Pertama, sejak pandemi, saya yang biasa traveling untuk bekerja terkungkung didalam rumah dan ini membuat saya secara psikologis frustasi. Maret minggu terakhir saya menangis tanpa alasan yang jelas karena merasa tidak berguna. Dan ternyata itu hanya permulaan.
Bulan april-mei saya mulai ikut kegiatan di Panggungharjo, menyiapkan kongres kebudayaan desa. Ini membantu saya pulih secara psikis karena bekerja kembali. Tapi Allah berkata lain, tepat disaat saya mulai menyiapkan kongres kebudayaan desa, menyiapkan TOR menulis sana-sini, Ibu berpulang.
Ibu koma 2 hari dan meninggal. Ibu kena stroke dan dimakamkan dengan protokol covid-19. Saya waktu itu tak menangis, kebingungan, tertegun, tak sadar entah jiwa saya kemana hingga saat ini. Saya merasa bukan saya. Saya merasa tak lagi sama. Saya hilang, diam, terjerumus dalam lubang yang tak saya mengerti.
Bulan Juli-November semua kegiatan Kongres diikuti Festival Inklusi terlalui dengan baik meski saya tertatih. Saya masih bisa berjalan. Tapi semua meledak ketika bulan desember.
Desember awal saya kena ISK, setelah saya telaah jauh bakterinya sangat sedikit. Tapi saya mengalami kesakitan luar biasa di punggung. Saya cemas dengan kondisi saya sendiri ditengah pandemi. Akan saya ceritakan kronologisnya biar teman-teman aware bahwa ini bukan proses normal orang sakit fisik.
Pertama, saya tes lab di RS Pemerintah di Kota Jogja, hasil lab menunjukan ada kristal di urine saya. Saya panik, kemudian esoknya saya ke puskesmas Sewon dan oleh dokter di rujuk ke RS Swasta di Bantul ke dokter urologi. Di dokter urologi, semua di cek dan tak ada masalah. Obat saya minum tapi perasaan saya, tubuh saya tak kunjung membaik.
Saya langsung panik dan lari ke RS Panti Rapih masuk IGD dengan diagnosis yang sama ISK. Tapi dokter ingin mengecek keseluruhan, saya di USG perut atas dan bawah dengan diagnosis ISK tapi ada dugaan cairan cavum douglasi sehingga esoknya saya di rujuk di dokter obgyn. Esoknya dokter obgyn mendiagnosa tak ada masalah dengan rahim saya dan diberi obat ISK. Selama pengobatan lebih dari 4 kali saya memeriksakan diri ke dokter umum agar ISK saya cepat sembuh, cek lab dst. Hingga hari dimana saya merasakan kesembuhan dan pulang kembali ke rumah, saya didera sakit punggung yang luar biasa menyakitkan. Saya panik, suami saya langsung mengantar kembali saya ke IGD Panti Rapih. Disana saya langsung di rontgen punggung dan paha saya dan tak ada masalah. Sampai akhirnya dokter sendiri pusing dengan kondisi saya. Suami saya sudah bilang saya psikosomatis dan meminta di rujuk ke psikolog.
Setelah 1/2 bulan membaik, serangan nyeri datang kembali, kali ini ke gigi geraham. Gigi geraham saya nyeri hebat hingga saya mendatangi 2 dokter gigi dan 1 dokter di RSGM. Sampai rontgen gigi tanpa ada apapun yang sakit. Saya makin kebingungan, hingga suatu malam kepala saya sakit sekali dan saya udah pamitan kalau gak kuat ke suami. Ia langsung sholat dan diam. Karena seumur-umur saya sebagai istrinya tak pernah mengeluh seperti itu. Artinya itu tanda bahwa saya benar-benar kesakitan.
Esoknya aku berinisiatif mencari dokter akupuntur. Bertemulah dengan dokter david, ia adalah dokter akupuntur yang belajar kedokteran timur. Darinya, ia langsung bilang. Ibu, ibu kena psikosomatis. Silahkan cek di 2 dokter untuk komparasi, bisa ke syaraf dan langsung ke psikiater.
Lalu dari dokter syaraf panti rapih, dr Ersa mendiagnosa bahwa sakit kepala saya sama sekali tak berpola. Ini benar-benar psikosomatis. Ia langsung meminta saya ke psikiater dan dibawa ke pak wahyudi.
Di psikiater inilah semua masalah terbuka. Saya njempalik alias depresi dan cemas karena kondisi kepergian Ibu. Njempalik senjempalik jempaliknya kata orang Jawa. Kosmik saya berantakan. Pakde saya yang punya ilmu batin hanya geleng-geleng bahwa seandainya suami saya bukan Ryan atau belum menikah mungkin saya sudah sampai RSJ saking goncang ditinggal Ibu.
Dulu 6 bulan awal saya masih baik, tapi 6 bulan setelah kepergiaan inilah masa krusial. Rasa bersalah, rasa tak terima, saya melempar buku, memukul tembok, menyalahkan keadaan, menangis dengan intensitas puluhan kali dan membuat saya kelalahan. Saya merasa dihantui rasa kesedihan yang tak saya mengerti. Pertanyaan kenapa Ibu harus pergi? Kenapa ia harus pergi tanpa aku pernah melihat. Segala pertanyaan itu yang tak pernah ada jawabannya hanya aku pasarahkan dalam trantum dan memukul-mukul benda yang ada di sekitarku.
Malam, ketika kesedihanku benar-benar memuncak tak karuan, aku menelepon pakde. Orang yang secara spiritual memiliki lelaku yang kuat. Beberapa hari yang lalu aku diberi mimpi, bapak datang. Bapak biasanya datang kala aku benar-benar sudah kebingungan dengan kondisi kehidupan yang tak kumengerti. Ia mengajakku naik bukit tinggi hingg aku ngos-ngosan tanpa bisa bernafas. Ia mengajakku sampai puncak dan bertemu mata air. Meminumnya dan ia kemudian pergi tanpa kata. Aku bilang, pak aku capek dalam mimpi itu. Ia bicara dalam diam, kamu bisa. Meski tak mudah.
Saat menulis ini, aku menarik nafas dalam-dalam. Pakde bilang, Ibu sudah baik banget disana. Sudah dipapapake dengan tenang. Tinggal kamu yang goncang. Ibarat jabang bayi, jiwa saya entah kemana. Mata saya bukan saya kata suami saya. Tatapan kosong, kehilangan arah. Saya biasanya berusaha kembali dengan mudah, tapi ini tak bisa lagi. Pakde ingin saya puasa weton, mengembalikan lagi kosmik saya yang hilang. Yang goncang, yang hilang, yang penuh dengan kesedihan, penuh kekelutan.
Kini minimal saya sudah tidak trantum dan menangis. Tiap kali saya ingat kesedihan itu, saya berdoa Al Fatihah mungkin berulang, ratusan kali, berdoa agar doa itu sampai ke Ibu. Tapi itu membuat saya tenang. Perkataan Pakde bahwa Ibu sudah tenang disana membuat psikis saya lebih baik. Selama ini saya selalu dihantui perasaan apakah ia bahagia disana? Apa ia baik selama 4 bulan tak melihatku karena covid-19, apa ia merasa menyesal? Segala pertanyaan yang tak pernah ada jawabannya? Hingga aku tahu, jawabannya hanya pemaafan dan ikhlas. Sulit sekali merasakan kenyataan bahwa Ibu dan saya dipisahkan dengan cara yang menurut saya tragis. Melindungi tapi ditinggal pergi, tanpa pesan. Tanpa kata. Hampa. Kosong.
Sekarang saya sudah terapi akupuntur dan ke psikiater. Kondisi progress saya jauh membaik. Teman-teman, pandemi ini bukan perkara mudah. Kehilangan keluarga, pekerjaan, kecemasan, takut, kalut pasti dialami semua. Aku hanya ingin bilang, jika memang kalian butuh bantuan, segera cari bantuan. It's oke not to be oke di masa pandemi. Hasil riset-riset pun juga mengatakan bahwa depresi meningkat 3 kali lipat. Kita tidak dalam masa baik. Penanganan sejak dini membantu benar agar kita bisa sembuh. Kita gak gila kok kalau ke psikiater. Kalau teman-teman mau tahu, 1 dokter yang menanganiku, dalam 1 hari ia bisa menangani 120-150 pasien. Saya termasuk bisa ngobrol dengan dokter dan dia sungguh supportif bahwa saya pasti sembuh asal stabil di Ibu. Semua rasa sakit yang saya alami, murni adalah gejala depresi dan cemas. Wajar dikondisi kayak gini. Saya beruntung bisa tertolong. Kata dokter akupuntur pun ia bilang, pasien saya banyak yang psikosomatis dan mungkin banyak yang tak terdiagnosa diluaran sana. Bersyukurlah Ibu bisa sedini mungkin mencari pertolongan. Kami-kami (Psikolog, psikiater, perawat jiwa, dokter akupuntur) adalah orang-orang yang mendapat cipratan awu dari pandemi karena ternyata masalahnya holistik, bukan semata orang sakit fisik. Tapi aku selalu yakin, akan ada cahaya ditengah gelap segelap apapun. Aku hanya butuh proses untuk sembuh. Menerima kepergiaan orang terkasih, yang darahnya mengalir di darah kita bukan perkara mudah. Apalagi dimasa pandemi. Tapi bukan berarti gak bisa ya, aku pelan sudah menerima bahwa memang Ibu sudah pulang. Meski ya pelan. Aku masih ada rasa semi-semi tak rela dan itu alamiah sebagai seorang anak melepaskan ia pergi. Tapi, ia sudah pulang dan kadang yang menyakitkan adalah ia harus pergi tapi yang melegakan, semakin cepat aku mengikhlaskan ia akan pergi dengan baik. Dilema ya, ya kadang hidup tak memberi pilihan yang enak. Termasuk ketika aku akhirnya belajar menerima bahwa melepas itu juga belajar membahagiakan :)