Selasa, 03 April 2012

Kelas Perempuan

Hari ini adalah hari pertama saya masuk kantor. Setelah menempuh perjalanan yang cukup menyita waktu di Thailand untuk mengikuti pertemuan dengan United Nations tentang sosial media kampanye.




Saat tiba giliran saya, saya pun berucap. Menjadi perempuan adalah berkah, menjadi perempuan adalah berkat. Saya sangat bangga menjadi perempuan. Hidup dalam sebuah lingkungan kerja aktivisme perempuan banyak membentuk karakter saya. Walaupun memang sering saya mengalami cemoohan kadang sindiran dari beberapa laki-laki yang merasa bahwa saya akan sulit mendapatkan pasangan. 
Saya adalah penganut feminis radikal. Feminist yang mengatakan bahwa sumber masalah ketertindasaan perempuan adalah pada laki-laki. Tetapi, disisi yang lain sebagai perempuan yang belajar sosiologi, saya harus bisa menempatkan situasi dan konteks dimana saya hidup. Saya hidup di masyarakat yang masih mengamini untuk menjalin hubungan dalam pertalian pernikahan, walaupun nampaknya saya tidak terlalu berminat untuk menikah. Orang boleh gembar-gembor, bahwa dosa jika tidak menikah. Tetapi kedekatan saya dengan Tuhan saya bukan dinilai dari apakah saya menikah atau tidak. Toh Tuhan juga tidak terlalu perduli apakah saya datang kepadanya dalam keadaan lajang atau bersuami.

Bagi saya, menjalin hubungan dengan laki-laki harus bisa membedakan antara komitmen, emosi dan rasio. Menurut saya, banyak perempuan terjebak dalam kerangka kekerasan (fisik, psikologis,ekonomi dan sosial) karena tidak tegas dalam menempatkan tiga hal tersebut. Dalam menjalin hubungan dengan laki-laki, komitmen adalah pagar alias benteng awal dari sebuah hubungan. Jika salah satu merasa tidak nyaman, masing-masing punya peluang untuk melakukan perselingkuhan. Saya meyakini, pagar ini harus senantiasa diperbaharui dengan proses. Ada komitmen yang terus menerus diperbaharui ketika ada beberapa lapisan pagar yang lapuk dimakan usia. Bagi saya, sekali ada kata perselingkuhan maka selesai pula hubungan itu, baik dalam pacaran atau menikah. Saya tidak segan untuk mengambil resiko untuk berpisah jika itu memang pilihan paling rasional. Siklus kekerasan, khususnya kekerasan psikologis akan selesai jika saya bersikap tegas, walaupun itu sangat berat. Tetapi menjalin hubungan pertemanan rasa-rasanya lebih baik ketimbang menjalin hubungan diatas kemunafikan.

Emosi melambangkan kuatnya pengaruh hati dalam melihat sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan merasa sangat sulit lepas dari laki-laki karena emosi, ketakutan akan status, cemoohan, apakah saya bisa hidup tanpa dia dan bla-bla. Hehehehe..terkadang saya tersenyum menanggapi hal ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...