Ini jelas bukan perkara yang mudah. Di malam yang dingin, beberapa hari belakangan aku selalu rindu dengan orang tuaku yang telah pergi, terutama rindu dengan Ibu. Ada banyak rasa sesak yang memenuhi dada yang ingin aku tuliskan untuk mengurangi beban yang kutanggung menjadi anak yatim piatu.
Aku tidak pernah menyangka akan secepat ini menjadi anak yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Dulu aku berpikir bahwa Ibu akan berumur panjang, tapi ternyata Ibu hanya diberi waktu delapan tahun untuk hidup setelah Bapak meninggal tahun 2012.
Semenjak kecil memang aku berjarak dengan Ibu karena ia terlampau sering sibuk bekerja. Kadang aku sebal dengan Ibu kala aku kecil hingga beranjak remaja. Itu juga karena aku kesepian sejujurnya. Aku sempat pula bersitegang hampir 3 tahun lamanya karena Ibu sempat menolak aku menikah dengan suamiku sekarang, meski setelah kami menikah, suamiku malah menjadi menantu yang paling ia sayangi.
Perjalanan hidupku bersama Ibu kurasakan memang alot dan penuh liku tapi semua atas dasar karena Ibu mencintaiku. Kelak ketika aku menikah, aku tersadar betul bahwa Ibu sepenuhnya membanggakanku karena tak pernah goyah dengan pilihan-pilihan hidupku. Ibu selalu berkata bahwa aku anaknya yang tangguh. Tak pernah sekalipun mengeluh padanya. Meski kemudian Ibu menangis karena tahu alasanku tak pernah bercerita karena aku tak mau Ibu terbebani fisik dan mental karena sudah menemani Bapak selama puluhan tahun dengan bayang-bayang stroke.
Aku tak pernah menyangka, perjalanan terakhirku ke Lombok tak pernah lagi mengantarkanku pulang ke rumah Ibu karena pandemi Covid-19. Aku tak pernah menyangka upayaku untuk melindunginya ternyata justru menjadi saksi bisu aku tak pernah menemui Ibu secara langsung hingga ajal menjemput Ibu.
Aku mengenang betul bagaimana ia merindukanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah dihari ia benar-benar pulang kepada Gusti Allah. Menjelang kepergiaannya ia tak pernah benar-benar menyentuhku, melihatku secara langsung.
Kepergiaan Ibu membuatku lebih banyak merenung. Berbeda dengan Bapak yang membuatku tergocang lahir dan batin. Ada banyak hal yang tak sempat kuutarakan kepada beliau betapa aku juga rindu untuk menemuinya. Tapi semua sudah menjadi suratan takdir yang tak pernah bisa dicerna dengan sederhana dengan logika manusia.
Aku cukup bersyukur, Ibu tak mengalami rasa sakit yang lama seperti Bapak. Ia pergi dengan tenang, tak bangun-bangun di kamar tidurku. Ia seperti pergi dengan cara yang kupikir enak sekali. Tak susah. Detik-detik terakhir di ICU ia lalui tanpa drama. Ia pergi tepat ketika aku menghadap CCTV dimana ia berbaring. Lalu air mataku berhamburan, tak pernah lagi menyentuh atau melihatnya. Ibu pergi begitu saja. Tampak tenang dan memang sudah begitu seharunya manusia kembali ke Gusti Allah.
Hal yang justru membuatku merasa berat adalah setelah Ibu dimakamkan. Ada rasa-rasa kosong. Entah apa namanya, menyesak di dada yang tak pernah aku pahami sebelumnya. Aku baru belajar memahami perasaan ini. Aku belajar menerimanya sebagai bagian dari penerimaan atas kehilangan. Aku tetap menghadapinya dengan tenang dan baik-baik saja.
Toh aku meyakini betul, mereka yang telah pergi juga tak pernah benar-benar pergi. Mereka sudah melampaui ketakutannya sendiri tentang apa yang disebut dengan kematian.
Perasaan berat kehilangan ini sekali lagi coba kuatasi dengan menulis. Tak ada obat lain kukira selain juga waktu. Aku berhasil selamat dari stress pasca kematian Bapak dengan menulis. Kini mungkin aku harus mengulanginya sekali lagi untuk meredakan segala bentuk kehilangan yang memang harus dihadapi lagi sendiri dan tak boleh lari.
--yang kutahu, mereka yang telah pergi adalah abadi--
Bantul, 30 Juli 2020