Kamis, 30 Juli 2020

Mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi

Bulan Juli 2013 adalah bulan yang amat dingin, daun bambu kering berjatuhan dan berserakan di tanah kebun, suara burung prenjak bercicit. Didalam rumah ada ketegangan antara seorang ibu dan anak. Ibu yang menuntut haknya dipenuhi dan anak yang ingin kebebasannya tak terenggut. Anak itu masih terpukul dengan kematian bapaknya. Ia marah kepada dunia karena ia jadi yatim. 

Ada duka terpendam terpancar dari matanya. Mata penuh kesedihan dan penuh trauma. Ia ngotot sendiri dan tingkahnya berdampak buruk pada jiwanya sendiri. Esok pagi, tanpa berpamitan ia pergi. Ini bukan rumah, tak ada kehangatan disini. Semua dingin seperti dinding pengadilan penuh tuntutan. 

Di sela kemarahannya, ia pergi ke tempat dimana ia biasa menyendiri bertahun-tahun. Di dalam kamar itu, untuk pertama kalinya ia menangis. Meratapi diri. Merasakan bagaimana rasanya perih di batin. Tidak pergi. Ia menghadapinya. Ia menerima sepi. Menerima kesendirian. Menerima dirinya yang ia tinggalkan. 

"Sendirian itu tak apa. Tak memiliki siapa-siapa juga tak apa. Tak dicintai tak apa. Tak memiliki pasangan juga tak apa. Ditinggalkan juga tak apa-apa. Sendirian itu baik. Mulailah mencintai dirimu sendiri. Tak apa-apa, terimalah dirimu apa adanya"

---kelak dikemudian hari, ketika ia sudah terbiasa sendirian, ia terkaget karena Tuhan mengirimkan banyak kegembiraan dengan cara yang tak disangka-sangka---

Bantul, 30 Juli 2020
--mengenang mereka yang pergi dalam jiwa-jiwa yang sepi--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...