Dari buku inilah semua bermula. Cerita kami berdua. Dua manusia yang saling menemukan dan kemudian memutuskan bersama menjalani kehidupan.
Aku mengingat menjelang usia 20 an, aku membaca buku ini. Ayu Utami, Si Parasit Lajang. Aku banyak menemukan kesamaan cara pandang, cara hidup dan perspektif dalam menjalani kehidupan. Sebagai seorang anak perempuan, yang terbiasa mengerjakan banyak hal secara mandiri, buku Si Parasit Lajang ini memberi banyak persetujuan dari cara hidupku. Bebas, mandiri dan tidak ingin dipusingkan dengan pasangan apalagi pernikahan. Tapi jauh dilubuk hatiku terdalam, sebenarnya itu hanya menutupi banyak hal yang membuatku merasa rentan. Aku mengalami periode kehidupan yang penuh dengan kesedihan. Jelas upayaku untuk mandiri dan tegar, adalah buah dari kemauan sadarku untuk bertahan dalam situasi-situasi sempit. Aku bahkan tidak pernah yakin, aku akan menemukan seseorang yang bisa berjalan dan memahami situasi yang kuhadapi. Aku banyak menutupi rasa sepi dengan seolah-olah ceria dan baik. Banyak hal yang kusembunyikan dan kututup dengan rapat, agar tak ada yang bisa menyentuhnya. Sampai aku bertemu dengannya, Ryan.
Ada banyak kejadian yang kini kusadari sebagai takdir kami. Takdir untuk bersama. Aku menemuinya di akhir 2011 untuk sebuah pekerjaan dan dari sana, semua bermula. Banyak hal yang kusadari digerakan semesta untuk kami bisa bertemu. Dua tahun sebelum kami bertemu, ditengah malam, di pojok ruang persma, aku membuka sebuah jurnal. Aku membuka dan membaca tulisan didalamnya. Di bagian pembuka, aku membaca tulisannya pertama kali. Kesanku, ini menarik. Jurnal itu tentang jurnal tentang sampah. Aku membuka satu lagi jurnal, yang ternyata, ia pula yang menjadi pimpinan umum kala jurnal itu terbit. Aku mulai berkorespondensi dengannya saat ia menanyakan apakah aku berasal dari Solo, dan aku menjawab iya. Ternyata ia juga berasal dari daerah yang sama. Aku hanya meresponnya sebentar dan tidak mengindahkannya lagi.
Percakapanku dengan beberapa kawan, namanya selalu dibawa. Beberapa kawan ini selalu mengatakan bahwa Ryan penulis yang baik. Tidak ada orang yang tulisannya baik, sebaik Ryan, kata seorang kawan. Aku pun mengamininya. Tulisannya memang baik. Beberapa kawan juga mengagumi ketekunannya. Aku belum pernah bekerja dengannya, jadi aku tidak bisa mengatakan setuju dengan apa yang dikatakan beberapa temanku.
Akhir tahun 2011, ketika aku menemuinya pertama kali, kami terlibat perbincangan cukup hangat dan panjang hingga tengah malam. Aku menawari dia pekerjaan sebagai konsultan media ditempatku bekerja. Tawaran itu berjalan baik. Kami sering bekerja bersama. Ia juga bercerita bahwa ia memiliki pacar dan kurasa itu hal yang baik sekaligus membahagiakan untuknya.
Selama aku bekerja dengannya, ada hal-hal yang sering membuatku tercenang. Hal pertama, saat aku menjemputnya di depan kantor, saat pertama kalinya ia datang ke kantorku. Ia mengatakan bahwa orang yang menjadi pasangannya harus menjadi sosok yang tumbuh. Aku cukup terkaget, ia mengatakan itu kepadaku. Meski ia juga mengatakan itu sambil berlalu. Lalu aku mengajaknya menuju ruang direktur. Direkturku saat itu nampak memperhatikan relasi kami. Setelah ia pulang, direkturku bertanya, apa kalian pacaran? Tentu saja aku terkaget, dan berkata bukan, aku sudah punya pacar kataku. Direkturku itu hanya bilang, kalian mirip dan cocok. Dan aku hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala. Dan bukan hanya direkturku saja yang selalu bertanya, apakah kami pacaran, aku selalu membantahnya, begitu juga dia. Dianggap mirip dengan laki-laki yang baru kukenal adalah hal pertama yang aku alami.
Suatu siang, saat ia juga berada di kantorku, aku sedang berjalan di ruang depan dengan membawa beberapa buku. Ia memanggilku dengan sebutan "nduk". Aku terkaget dan diam, lalu menoleh kepadanya. Panggilan itu sudah lama sekali tidak kudengar, semenjak bapak tidak bisa bicara beberapa tahun yang lalu. Dan entah darimana ia sengaja atau tidak memanggilku seperti bapak memanggilku. Aku hanya diam lalu berlalu. Tapi semesta menggerakan banyak hal yang diluar kuasa kita.
Empat bulan sejak pertama kali bertemu, Bapakku meninggal. Entah apa yang membuatku justru mengirimkan dia pesan, kalau bapakku sudah pergi. Ia tidak merespon beberapa hari. Dan baru membalas pesanku beberapa hari dan bertanya "kamu sudah kembali ke Jogja belum?". Esoknya aku kembali ke Jogja dan menemuinya. Aku mulai mengalami kesulitan mengutarakan rasa sedih tapi perilakuku menunjukan jika aku mulai mengalami depresi pertama kalinya. Sepertinya Ryan mulai sadar kalau aku membutuhkan bantuan untuk menghadapi rasa sedih dan kedukaan. Ia tidak membiarkanku sendiri.
Aku mengingat dimana aku berkata kepadanya "Aku tidak punya banyak alasan menyelesaikan skripsi dan hidup setelah Bapakku tidak ada". Ia hanya diam. Tidak berkata apapun. Tapi menemaniku kemana pun aku ingin. Ia tidak membiarkan aku jatuh sendirian. Aku mengingat fase dimana aku sendirian di Alkid, ia menemaniku. Ia bukan hanya menemaniku, tapi ia mengajakku naik becak ditengah malam, memutari malioboro dan alun-alun sambil memegang tanganku. Aku sejujurnya kebingungan bagaimana meresponnya. Aku hanya diam. Tapi ia terus memegang tanganku dan mengantarkanku pulang.
Di sela-sela itu pun, ia tahu bahwa aku putus dari pacarku dan mulai sendiri. Aku tahu dia juga memiliki pacar dan tentu aku ingin dia segera menikah. Aku sering berkata "kalau kamu menikah, aku diundang ya". Ia pun selalu bilang "Iya". Aku selalu berharap ia bahagia karena ia sudah sangat baik kepadaku.
Ia juga tahu laki-laki yang mendekatiku. Termasuk beberapa yang berakhir tidak jelas. Aku mengingat masa-masa ini dengan peristiwa di Sendangsono. Saat itu hari libur, aku mengajaknya pergi ke Sendangsono. Saat ia duduk di pinggiran aliran sungai, aku berjalan menuju altar didepan Bunda Maria. Aku duduk cukup lama di depan altar, lalu menghampirinya dan berkata
"Aku sepertinya tidak cocok dengan pernikahan".
"Pernikahan hanya stempel dalam buku nikah, yang mendefinisikan pernikahan itu adalah kita" ucapnya.
"Tapi banyak juga perempuan yang tidak bahagia kalau menikah, ya terpenjara dalam pernikahan (aku mengingat bahwa kakak perempuanku adalah korban KDRT)
"Kalau nikahmu sama aku, ya enggak" tambahnya
Aku tertawa, dan berkata "Gak usah modus".
Lalu kami mencari makan karena aku kelaparan...
Dalam kesempatan yang lain, aku terkaget tatkala ia membaca buku Ayu Utami. Aku bilang kepadanya, bahwa aku menyukai Ayu Utami sejak lama. Ia pun juga menyukainya. Lalu ia sadar dan bertanya, apa aku merasa tidak cocok dengan pernikahan karena membaca Si Parasit Lajang. Dan kujawab iya sambil tertawa. Tampaknya ia mengerti, bahwa memahamiku butuh kedalaman untuk tahu apa saja bacaan yang mempengaruhiku. Kami punya kesamaan pandangan dalam beberapa buku yang ditulis Ayu Utami. Saat itu aku menyadari, bahwa laki-laki yang kuhadapi ini tidak sama dengan laki-laki lain dalam memandangku sebagai perempuan...
#bersambung