Sabtu, 03 Mei 2025

Jadi Zombie

Banyak orang yang bertanya kepadaku secara pribadi bagaimana ceritanya aku bisa remisi dari depresi dan anxiety. Sejujurnya, aku akan bilang, aku juga tidak tahu. Tidak ada tips khusus sepertinya untuk sembuh kecuali izinNya dan menjalani semuanya. Psikologku juga bertanya padaku di akhir sesi terakhir bertemu dengannya bagaimana aku bisa memutus trauma generasi? Aku juga bingung menjawabnya. Namun aku bisa berbagi pengalaman rasanya jadi zombie di 2020 hehehehehe.

Di 2020, aku sudah hampir gila. Kayaknya sudah gila sih. Kata suamiku, yang aku masih ingat samar-samar, aku melamun setiap hari, bolak-balik ke RS tanpa diagnosis yang jelas, aku menangis tanpa kenal waktu dan memarahi dia juga tanpa alasan. Katanya aku jadi aneh kayak zombie hehehehe. Kata suamiku, aku jadi agak mendingan setelah antidepressan diberikan oleh psikiater. Ya walaupun masih nangis-nangisan dan emosinal, tapi aku bisa merespon dengan lebih baik. 

Kalau ditanya rasanya, udah gak karu-karuan sih. Aku gak tahu ya, mungkin lebih tepatnya ingin lari dari dunia. Padahal juga mau lari kemana coba, orang masih di dunia. Gak mungkin kembali ke perut ibu, tapi kalau mati karena bunuh diri kayaknya gak keren sama sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap menjalani dengan dada sakit bertahun-tahun. Sampai hari ini, dada kananku masih sakit. Bukan karena apa-apa tapi karena kesedihan. Sedih semuanya dalam hidup. Aku masih memproses diri dan tahu bahwa aku dalam kondisi relatif stabil. 

Apa yang melatar belakangi kesedihanku? 

Banyak, hahahahahaha. Aku spill sedikit. Aku tidak memiliki kedekatan dengan ibuku karena dia otoriter akibat luka generasi. Luka itu ia genggam, tidak diobati lalu dia menurunkan ke aku. Lalu, aku marah dengan bapakku karena sakit dan dia juga membiarkan ibuku menjadi kepala keluarga. Bagaimana aku tidak marah, ibuku tidak membuatku nyaman. Justru bapakku sakit. Sial kan heheheheh. Dua kakak ku juga tukang bikin onar, banyak lah. Itu akarnya. Tapi fase-fase kehidupanku yang lain juga membuatnya lebih kompleks. Pernah di bully, pernah dikhianati, ditipu, pokoknya kayaknya semua pernah. Psikologku aja bilang, kok masih kuat sampai ruang terapi? Aku bilang, karena lukanya sudah borongan maka sekalian saja aku datang ke ibu, biar sembuh semua. Lama ga papa, aku rela. Capek bawa trauma. 

Sudah hampir 5 tahun aku menjalani depresi. Tapi secara mental aku menjadi lebih baik sekarang. Aku jadi nyaman dengan duniaku yang kecil, gak mencapai apa-apa, hidup seadanya, tahu cukup, menikmati waktu drakoran, bengong kadang tanpa mikir ambil uang tabungan buat liburan, pijat, spa, creambath, facial wkwkwkwkwk. Aku juga gak tertarik berkompetisi dengan orang lain apalagi membuat kompetisi sendiri yang kubuat sendiri, bingung sendiri lalu judeg sendiri. Aku pelan-pelan berani hidup dan siap-siap dengan sadar bahwa aku akan mati, semoga kalau kematian menjemput, aku dijemput dengan tenang, disisi Allah SWT dengan penuh rahmat, bisa dekat dengan Kanjeng Nabi juga. Doaku juga banyak berubah, aku ingin dicintai oleh Allah SWT karena Dia telah menolongku tanpa syarat apapun, bahkan diberikan kasih sayang berlimpah.

Apakah kamu memaafkan orang-orang yang menyakitimu?

Iya, orang yang paling manipulatif dalam hidupku saja aku maafkan. Aku hidup dengan pemaafan bahkan tidak pernah membalas apapun. Bukan karena aku manusia baik, aku tidak berhak menghakimi siapapun tanpa konteks yang jelas. Kalau memang niatnya dia jahat, maka ia akan menabur apa yang ia tanam. Keren donk? Ya enggak. Berdarah-darah sekali heheheheh. Aku bilang, aku kadang-kadang naif dan lebih cenderung bodoh. Sampai sekarang. Aku mensyukuri kebodohanku karena dengan begitu aku berkembang. Apakah kamu menyalahkan mereka? Enggak juga. Setiap orang punya kesempatan berubah. Aku tetap bertegur sapa dengan mereka tapi mereka yang malah kadang malu ketemu denganku karena melihat kelakuan mereka di masa lalu. Akunya cuma ingat apa yang mereka lakukan, lalu ya sudah, hidup berjalan lagi. Gak ada gunanya menghabiskan waktu dengan orang yang menyesali diri karena melukai orang lain. 

Apa yang berubah pasca depresi?

Kemampuan reflektifku diuji benar saat depresi. Apakah aku menyalahkan keadaan atau membuat narasi dan konteks baru atas traumaku. Pengalaman traumatik tidak akan hilang, ia akan reda dan menjadi pengalaman setelah diolah. Aku juga gak lari sekarang berhadapan dengan ketakutan, kekhawatiranku. Aku beraksi. Aku bergerak. Meski berat, aku menyeret diriku sendiri, tapi akan berhenti jika aku butuh istirahat. Aku benar-benar keras kepala soal ini karena orang dengan depresi butuh alasan hidup. Aku memutuskan berjalan, tidak berhenti. Ini sangat sakit lho, bagi orang depresi, nafas aja sulit heheheheh

Apa penilaian diri atas dirimu sendiri?

Orang-orang banyak yang mengatakan aku berani, psikologku bilang aku salah satu klien paling pantang menyerah berproses, bertahun-tahun berproses tidak berhenti. Setelah aku mencoba merasakannya, mungkin aku sangat tahan menderita wkwkwkwkwk. Bayangkan dari usia 5 tahun, di omongin tetangga bakal kawin muda karena kakak perempuanku lulusan SMP terus nikah. Lalu aku lulus dari universitas terbaik. Aku digembleng habis-habisan oleh ibuku yang depresi karena trauma generasi dan ia kepaksa jadi kepala rumah tangga, dari situ aku bertahan dengan orang depresif bertahun-tahun, lalu setelah vonis depresi datang, yang kulakukan bukan bunuh diri tapi aku memutuskan mencari pertolongan, tahunan aku minum obat dan menjalani psikoterapi, aku tidak lari. Ketika kedua kakakku tidak mau bertanggungjawab sebagai orang dewasa menangani masalah keluarga, aku berinisiatif memecahkannya sendiri dan bertanggungjawab, tidak lari. Aku merasa dengan begitu aku akan dewasa dan mampu menampung segala kewajiban sebagai anak. Ketika alm bapakku sakit dan ibu ngos-ngosan membiayai, aku berinisiatif bekerja dini sebelum lulus kuliah karena beban itu tidak akan kuat ibu tanggung meskipun aku akan telat lulus, tapi aku menjalaninya dan lulus, nama jadi lulusan IP tertinggi, tiba-tiba dipanggil sama dekan wkwkwkwkwk. Saat wisuda aku sudah berupaya sembunyi, tapi malah disuruh kedepan. Malu lulusan terlama wkwkwkwkwk. 

Psikologku bertanya-tanya sendiri bagaimana aku bisa sekuat itu?

Aku mau jadi orang baik bu dari dulu. Aku mau punya teman tapi di bully. Akhirnya ya aku perlu mengenali diri. Aku juga sempat dibully lagi di SMA. Salahku sendiri sih, salah circle pertemanan. Tapi kayaknya gara-gara itu juga, aku bisa mengenal orang toxic. Apakah kamu mengurung diri saat di bully? Iya, butuh 1 tahun aku berpikir kenapa aku dibully, tapi dalam perenungan itu aku memutuskan untuk apa coba, belajar tekun tapi seperti biasa, aku gak pernah pelit ilmu. Teman-teman SMA tahu benar, aku gak pernah pelit ngasih jawaban soal ujian. Pesanku cuma 1, kalau niru jawaban, jangan semua sama, kamu nilainya lebih oke ga papa, asal ga sama aja nilainya. Mungkin ini juga pengaruh dari pengalamanku di rumah saat keluargaku harus melunasi hutang kakak ceweku dan mantan suaminya sampai ratusan juga atau miliar ya kali. Jabatan, uang, tahta apapun gak akan dibawa mati. Aku tidak mengejarnya. Ia cuma alat. Itulah kenapa, aku tidak pernah mau hidup di ketiak orang lain. Aku harus bekerja keras dari tangan sendiri. Ibadah itu. Aku tidak pernah mau dikontrol orang atas nama balas budi. Aku selalu berdoa sama Allah SWT bahwa aku harus dilindungi dari orang-orang yang berniat zalim hehehehehe.

Jadi sebenarnya proses pulih itu adalah proses belajar diri. Kalau aku melihat pengalamanku, aku mengolah semua dengan framing yang luas agar zona nyaman itu makin luas. Begitu lah pemirsa. Udah ya ngomyangnya. Jangan dikira aku pamer, enggak. Gak ada yang enak dari depresi, kalau bisa jangan pernah mengalaminya heheheheh. Aku memutuskan hidup, menjalaninya dan tahu cara-cara hidup setelahnya. Semua peristiwa ada maksudnya kalau kita punya kelapangan untuk membuat hidup bermakna bukan hanya nyerah jadi zombie :)



Jadi Zombie

Banyak orang yang bertanya kepadaku secara pribadi bagaimana ceritanya aku bisa remisi dari depresi dan anxiety. Sejujurnya, aku akan bilang...