Cerita ini adalah campuran fiksi dan autogiografi. Sesuai dengan inginku yang meloncat-loncat. Maka ceritaku banyak yang tidak beraturan. Selamat membaca dari duniaku.
Aku ingin menuliskan
sesuatu yang bersifat personal dan intim. Aku hanya ingin jujur jika hal ini
terlalu kompleks dari hal lain yang sering aku lakukan setiap harinya. Aku
lahir dari seorang perempuan, yang bekerja sebagai pengusaha dan dari seorang
laki-laki yang bekerja sebagai seorang PNS teknik sipil. Ayah dan ibuku adalah hasil pertentangan
identias, menghasilkan aku yang tak jelas. Lahir 23 tahun silam, aku tak
terlalu dekat dengan ibuku, tetapi menjadi penyayang ulung untuk ayahku.
Aku menyadari diriku
seorang perempuan, bukan saat aku mandi bersama teman laki-laki ku saat aku
kecil. Aku menyadari aku perempuan, ketika umur 5 tahun aku disunat. Sunat
perempuan. Saat itu, kala kakak perempuanku berpesta menjelang pernikahannya,
ibuku membawaku ke dalam kamar. Disana ada nenek tua, yang membawa semacam
pisau kecil. Aku ketakutan, ibuku membuka celanaku dan menidurkanku diatas
kasur. Aku memegang tangan ibuku, lalu nenek itu menggoreskan pisau kecil itu
ke vaginaku. Aku tidak menangis, tetapi aku ketakutan. Kenapa aku harus
diperlakukan seperti itu, saat itu aku merasa sangat benci dengan ibuku. Aku
takut tapi aku diam saja. Setelah keluar dari kamar, aku ditanya ini itu oleh
kakak perempuanku, dan aku lari ke kamar sambil menutup pintu sembari jijik
dengan tubuhku sendiri.
Semenjak kecil aku
menjadi pribadi yang terlalu bosan dengan aturan. Aku tak senang hidup terlalu
dikekang . Ayahku adalah orang pertama membebaskanku dari kekangan domba yang
tersesat yang disebut jalan kebenaran menurut orang awam.Ayahku laki-laki
matang karena bentukan proses kehidupan. Ia berwajah tampan, berkulit putih,
berhidung elang, bermata indah, tinggi dan memiliki badan yang kekar. Ayahku
flamboyan dan disukai banyak perempuan. Masa muda ia lalui dengan belajar agama
meski berakhir dengan ketidakpercayaanya pada agama. Ia pernah bilang
mempercayai Tuhan, bukan agama. Aku berkali-kali bertanya kepadanya, kenapa
tidak pernah sembahyang, ia bilang katanya sembahyang dari sini, sembari ia
menunjuk dadanya sendiri. Ia merasa dekat dengan Tuhan meski tak selalu dengan
ritual. Tapi kupikir ada inkonsistensi dalam dirinya, saat ia tetap
mendongengkanku kisah-kisah kebaikan dalam agama, meski ia faktualnya tak
pernah sembahyang. Aku tidak sempat bertanya kenapa, sampai ia meninggal karena
penyakitnya.
Aku mulai mengenal
rasa suka kepada laki-laki saat aku duduk di bangku kelas 1 SD. Aku menyukai
ketua kelasku saat itu. Sebutlah namanya A. Ia cukup tinggi untuk ukuran anak
umur 6 tahun, kulitnya berwarna coklat, hidungnya lumayan mancung. Ia idola semua
perempuan dikelasku. Aku masih ingat, ia selalu mengenakan tas punggung
berwarna merah dengan aksesoris lampu yang bisa menyala di punggung tas. Itu
tas paling fenomenal saat aku masih kecil, aku sering kali menyentuh tasnya
agar lampu itu menyala.
Inilah saat pertama
kali aku menuliskan rasa sayangku dalam secarik kertas. Aku suka memandanginya
dari jauh. Aku suka menatap wajahnya ketika menalikan tali sepatunya yang
lepas, itu adalah moment yang paling membuatku terpesona kepadanya. Ia begitu
tampan kala menalikan tali sepatu. Dua tahun, aku sekelas dengannya, Aku
menahan untuk bilang suka padanya. Aku sangat senang bila ia bicara denganku
disela-sela pelajaran di kelas atau saat olahraga. Dia merasa senang jika ia
sekelompok denganku saat main kasti, karena menurutnya aku sangat pintar
bermain kasti dan lariku sangat kencang. Maklum, aku juga atlet tenis meja dan
dilatih fisik setiap harinya sehingga fisikku memungkinku untuk bergerak lincah
dan berlari cepat. Sayang kemudian, ku dengar kabar kalau ia akan ikut ayahnya
bertugas di Papua. Sungguh, ini membuatku kaget dan sedih. Sebagai anak kecil, yang
berumur 7 tahun, inilah saat pertama aku kehilangan rasa kasih dari lawan jenisku.
A orang yang baik dan taat ibadah. Meskipun keluargaku tak telalu religius tapi
aku tumbuh dalam nilai-nilai ajaran kemanusiaan. Ia pergi selepas kenaikan
menuju kelas tiga, tanpa pesan dan kabar. Ia menghilang begitu saja. Dan itu
membuatku benci kepadanya, ia tak pamitan kepadaku. Entah karena ia tak sempat,
atau hanya aku yang merasa kegeeran,
menyuruh ia untuk datang pamit kepadaku. (Bersambung)
terus, ini mana lanjutannya ya? :D
BalasHapusbentar sayang, ada tulisan baru tuh di blog ku :)
Hapus