Rabu, 26 Juni 2013

Lensa Lampau

Cerita ini adalah campuran fiksi dan autogiografi. Sesuai dengan inginku yang meloncat-loncat. Maka ceritaku banyak yang tidak beraturan. Selamat membaca dari duniaku.

Aku ingin menuliskan sesuatu yang bersifat personal dan intim. Aku hanya ingin jujur jika hal ini terlalu kompleks dari hal lain yang sering aku lakukan setiap harinya. Aku lahir dari seorang perempuan, yang bekerja sebagai pengusaha dan dari seorang laki-laki yang bekerja sebagai seorang PNS teknik sipil.  Ayah dan ibuku adalah hasil pertentangan identias, menghasilkan aku yang tak jelas. Lahir 23 tahun silam, aku tak terlalu dekat dengan ibuku, tetapi menjadi penyayang ulung untuk ayahku.



Aku menyadari diriku seorang perempuan, bukan saat aku mandi bersama teman laki-laki ku saat aku kecil. Aku menyadari aku perempuan, ketika umur 5 tahun aku disunat. Sunat perempuan. Saat itu, kala kakak perempuanku berpesta menjelang pernikahannya, ibuku membawaku ke dalam kamar. Disana ada nenek tua, yang membawa semacam pisau kecil. Aku ketakutan, ibuku membuka celanaku dan menidurkanku diatas kasur. Aku memegang tangan ibuku, lalu nenek itu menggoreskan pisau kecil itu ke vaginaku. Aku tidak menangis, tetapi aku ketakutan. Kenapa aku harus diperlakukan seperti itu, saat itu aku merasa sangat benci dengan ibuku. Aku takut tapi aku diam saja. Setelah keluar dari kamar, aku ditanya ini itu oleh kakak perempuanku, dan aku lari ke kamar sambil menutup pintu sembari jijik dengan tubuhku sendiri.

Semenjak kecil aku menjadi pribadi yang terlalu bosan dengan aturan. Aku tak senang hidup terlalu dikekang . Ayahku adalah orang pertama membebaskanku dari kekangan domba yang tersesat yang disebut jalan kebenaran menurut orang awam.Ayahku laki-laki matang karena bentukan proses kehidupan. Ia berwajah tampan, berkulit putih, berhidung elang, bermata indah, tinggi dan memiliki badan yang kekar. Ayahku flamboyan dan disukai banyak perempuan. Masa muda ia lalui dengan belajar agama meski berakhir dengan ketidakpercayaanya pada agama. Ia pernah bilang mempercayai Tuhan, bukan agama. Aku berkali-kali bertanya kepadanya, kenapa tidak pernah sembahyang, ia bilang katanya sembahyang dari sini, sembari ia menunjuk dadanya sendiri. Ia merasa dekat dengan Tuhan meski tak selalu dengan ritual. Tapi kupikir ada inkonsistensi dalam dirinya, saat ia tetap mendongengkanku kisah-kisah kebaikan dalam agama, meski ia faktualnya tak pernah sembahyang. Aku tidak sempat bertanya kenapa, sampai ia meninggal karena penyakitnya.

Aku mulai mengenal rasa suka kepada laki-laki saat aku duduk di bangku kelas 1 SD. Aku menyukai ketua kelasku saat itu. Sebutlah namanya A. Ia cukup tinggi untuk ukuran anak umur 6 tahun, kulitnya berwarna coklat, hidungnya lumayan mancung. Ia idola semua perempuan dikelasku. Aku masih ingat, ia selalu mengenakan tas punggung berwarna merah dengan aksesoris lampu yang bisa menyala di punggung tas. Itu tas paling fenomenal saat aku masih kecil, aku sering kali menyentuh tasnya agar lampu itu menyala.

Inilah saat pertama kali aku menuliskan rasa sayangku dalam secarik kertas. Aku suka memandanginya dari jauh. Aku suka menatap wajahnya ketika menalikan tali sepatunya yang lepas, itu adalah moment yang paling membuatku terpesona kepadanya. Ia begitu tampan kala menalikan tali sepatu. Dua tahun, aku sekelas dengannya, Aku menahan untuk bilang suka padanya. Aku sangat senang bila ia bicara denganku disela-sela pelajaran di kelas atau saat olahraga. Dia merasa senang jika ia sekelompok denganku saat main kasti, karena menurutnya aku sangat pintar bermain kasti dan lariku sangat kencang. Maklum, aku juga atlet tenis meja dan dilatih fisik setiap harinya sehingga fisikku memungkinku untuk bergerak lincah dan berlari cepat. Sayang kemudian, ku dengar kabar kalau ia akan ikut ayahnya bertugas di Papua. Sungguh, ini membuatku kaget dan sedih. Sebagai anak kecil, yang berumur 7 tahun, inilah saat pertama aku kehilangan rasa kasih dari lawan jenisku. A orang yang baik dan taat ibadah. Meskipun keluargaku tak telalu religius tapi aku tumbuh dalam nilai-nilai ajaran kemanusiaan. Ia pergi selepas kenaikan menuju kelas tiga, tanpa pesan dan kabar. Ia menghilang begitu saja. Dan itu membuatku benci kepadanya, ia tak pamitan kepadaku. Entah karena ia tak sempat, atau hanya aku yang merasa kegeeran, menyuruh ia untuk datang pamit kepadaku. (Bersambung)



2 komentar:

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...