Hai Diego, apa kamu baik-baik saja disana? Bali masih
seperti biasa kan? Masih sering ke pantai? Terima kasih sudah menemani
hari-hari ku saat di Bali. Kuharap kalau aku kesana lagi, kamu masih mau
menemaniku lagi, tapi jika jalan jangan di depanku, cukup disampingku.
Diego, kau pernah ke Jogja kah? Disini sangat panas, tidak
seperti di Bali yang tenang. Aku lebih banyak galau tahu! Dan pasti kau
terkekeh mendengarnya. Apalagi pertanyaanku masih sama dengan tahun yang lalu,
dimanakah kamu, Tuhan? Bukankah ini sangat membosankan?
Hahahahaha, baiklah. Ku pikir ini tidak perlu kau jawab.
Cukup menemaniku seperti biasa. Oh ya sebelum lupa, bagaimana kabar Black? Apakah
dia baik-baik saja disana? Masih selalu menjemput ibu setiap jam 8 malam? Tentu
aku juga sangat rindu ibu, dengan sambal Balinya itu. Sangat pedas dan bikin
deras keringat.
Aku terkenang sambil berpesta anggur, saat kau
menemaniku di Bali sembari berlari-lari. Kau
menjagaku, menegurku agar tak terlalu dekat dengan laut. Kau berucap,
berbahaya! Kau menjaga ku seperti anak kecil, tetapi tak apa. Kita selalu
bermula dari belajar dari anak. Dan mungkin semakin dewasa hati kita makin
kecil. Meskipun terperangkap dalam tubuh yang menumbuh.
Kita bercakap masa depan, kau
selalu menunjuk jalan, kemana pun aku melangkah di Bali. Dan tentu ini membantuku.
Saat kau bertanya dengan tatapan mata yang berujar sendu “Apa kau akan
kembali atau pergi?”.
Aku hanya tersingkap dalam senyum, aku tidak bisa
menjawabnya. Aku bahkan tidak bisa merencanakan langkah sedetik setelahnya. Kau
masih bertanya, hingga aku kembali ke penginapan.
Sekarang kiranya aku
ingin menjawab pertanyaanmu. Hal terbesar yang membuatku terpuruk, bahagia dan
menangis hanyalah bahwa aku sendiri! Malam ini, aku membeli sebotol air mineral
dan vitamin C dari supermarket. Sebelumnya ada beberapa sms di handphone ku,
yang membuat dadaku bertambah sesak. Aku merunduk berjalan melewati masjid,
disana masih ada orang bertahlil dan membaca surah Nya. Aku menjinjing plastik,
memandang tiap rumah di sisi jalan. Masing-masing rumah, ada yang sepi, ada
pula yang tertawa lengkap, ayah, ibu dan anak-anak.Masing-masing dari apa yang
kulihat, memberiku kelegaan dan kesesakan didada.
Saat umur llima tahun dan tujuh tahun sesudahnya, aku hampir tahu bahwa kelak hidupku tidak
akan normal. Aku lebih sering menghabiskan waktu sendirian saat pulang sekolah,
berada didalam kelas sendirian, menulis di buku diary, membaca Harry Potter
sambil berguru pada imajinasiku sendiri. Aku suka mengunci diri dikamar,
membaca beberapa buku, menulis dan menggambar sketsa. Aku bahkan masih suka
menggambar dan mewarnainya dengan crayon berwarna-warni. Lukisanku tak pernah
beranjak dari masa kecilku, sampai sekarang.
Aku tak menyukai komik seperti anak sebayaku. Aku pernah
ikut berorganisasi saat itu, tetapi aku merasa dikungkung oleh aturan-aturan yang tidak membebaskan ku berorganisasi, mereka memperlakukan kami
sebagai obyek bukan subyek. Hingga aku hengkang darinya, aku dicaci seluruh. Tak apa, aku sempat menangis tanpa tahu bercerita pada siapa. Oh,
hanya mas Anjar kukira, yang pernah mendengar ceritaku, mungkin cerita
lengkapnya. Aku memendamnya sendiri, aku tidak perlu berucap kepada orang lain,
sakitnya dihina dan dicaci. Cukup ku buktikan, ketika aku keluar, aku harus
meraih yang lebih baik tanpa perlu sombong dengan keberhasilan.
Diego, faseku tumbuhku penuh dengan rasa kecewa luar biasa.
Aku benci mendapat perlakuan kasar. Aku memaafkan ia yang selalu
kasar kepadaku tetapi aku tidak bisa melupakan apa yang ia perbuat kepadaku. Aku
merawat segala macam sakit hati sebagai bagian yang menumbuhkanku sebagai jiwa
yang jahat dan bengis. Aku orang tega ketika aku ingin membunuh hati orang
lain. Orang menyebutku egois dan gila. Memang aku bisa gila dan melakukan
segala cara untuk keinginanku. Orang alim bilang, ini tidak bisa membahagiakan,
tapi aku jawab ini memuaskanku!
Aku pernah sesekali menjadi orang yang alim, hahahaha. Tapi
ku kira Tuhan sudah tahu topengku. Lalu aku berkata kepadanya, baiklah, aku
bisa berpura-pura depan orang tetapi tidak dengan Mu bukan. Aku akan bersikap
jujur kepadaMu, meski aku tidak akan berhenti bertingkah polah tentu saja.
Hidupku akan ku buat jungkir balik, terserah orang mau berkata aku tolol, yang
penting ke-alim-an yang mereka anggap tolol, ku persembahkan kepadaMu, tulus, Kau
yang menakar, Kau yang menilai. Cukup bagiku!
Lalu mereka perempuan-perempuan, bertanya digerbang
umur? Apa yang ingin kau lakukan?
Mereka bilang, akan menikah. Aku bilang, inilah saat
berpetualang.
Mereka bilang, ingin punya anak. Aku bilang aku ingin punya
anak anjing.
Mereka bilang, berbaktilah kepada orang tua. Aku bilang iya,
tetapi ada diskusi dan negosisasi positif.
Mereka bilang , segeralah lulus. Aku balik bertanya, lulus
bisa mendapat ijazah ke surga kah?
Mereka bilang, aku tak tahu aturan. Aku menjawab, bukankah
aturan dibuat memang untuk dilanggar?
Mereka bilang, aku malas? Aku menjawab, kemalasan berpangkal
dari semboyan rajin menabung.
Mereka bertanya, kok bisa? Orang diajarkan rajin menabung
hanya untuk kaya (duit), untuk dirinya
bukan untuk orang lain. Itulah titik mula kemalasan memikirkan orang lain!
Mereka bilang saya aneh? Aku berseloroh “Bukankah hidup di
mulai dari keanehan, kita lahir karena pertemuan sel telur dan sperma, dari rahim yang kecil, elastis bisa membesar dan
menjadi manusia.
Menjadi manusia bisa bermacam-macam sikap hidup, latar
belakang, ras, dan agama. Aneh adalah tuntunan hidup! Kalau kau mempertanyakan
kemudian dikatakan aneh oleh orang-orang, disitulah kau akan mengenal fase
karakter diri, hadapi jangan takut dianggap berbeda dan aneh!
Diego lalu bertanya dengan hati. Setelah ini apa?
Kata kunci saja, yang harus bisa kau sambungkan. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar