Rabu, 15 Agustus 2012

Berbicara Dengan Diego


Hai Diego, apa kamu baik-baik saja disana? Bali masih seperti biasa kan? Masih sering ke pantai? Terima kasih sudah menemani hari-hari ku saat di Bali. Kuharap kalau aku kesana lagi, kamu masih mau menemaniku lagi, tapi jika jalan jangan di depanku, cukup disampingku.
Diego, kau pernah ke Jogja kah? Disini sangat panas, tidak seperti di Bali yang tenang. Aku lebih banyak galau tahu! Dan pasti kau terkekeh mendengarnya. Apalagi pertanyaanku masih sama dengan tahun yang lalu, dimanakah kamu, Tuhan? Bukankah ini sangat membosankan?


Hahahahaha, baiklah. Ku pikir ini tidak perlu kau jawab. Cukup menemaniku seperti biasa. Oh ya sebelum lupa, bagaimana kabar Black? Apakah dia baik-baik saja disana? Masih selalu menjemput ibu setiap jam 8 malam? Tentu aku juga sangat rindu ibu, dengan sambal Balinya itu. Sangat pedas dan bikin deras keringat.

Aku terkenang sambil berpesta anggur, saat kau menemaniku di Bali sembari berlari-lari. Kau menjagaku, menegurku agar tak terlalu dekat dengan laut. Kau berucap, berbahaya! Kau menjaga ku seperti anak kecil, tetapi tak apa. Kita selalu bermula dari belajar dari anak. Dan mungkin semakin dewasa hati kita makin kecil. Meskipun terperangkap dalam tubuh yang menumbuh. 

Kita bercakap masa depan, kau selalu menunjuk jalan, kemana pun aku melangkah di Bali. Dan tentu ini membantuku. 

Saat kau bertanya dengan tatapan mata yang berujar sendu “Apa kau akan kembali atau pergi?”.

Aku hanya tersingkap dalam senyum, aku tidak bisa menjawabnya. Aku bahkan tidak bisa merencanakan langkah sedetik setelahnya. Kau masih bertanya, hingga aku kembali ke penginapan.

Sekarang kiranya aku ingin menjawab pertanyaanmu. Hal terbesar yang membuatku terpuruk, bahagia dan menangis hanyalah bahwa aku sendiri! Malam ini, aku membeli sebotol air mineral dan vitamin C dari supermarket. Sebelumnya ada beberapa sms di handphone ku, yang membuat dadaku bertambah sesak. Aku merunduk berjalan melewati masjid, disana masih ada orang bertahlil dan membaca surah Nya. Aku menjinjing plastik, memandang tiap rumah di sisi jalan. Masing-masing rumah, ada yang sepi, ada pula yang tertawa lengkap, ayah, ibu dan anak-anak.Masing-masing dari apa yang kulihat, memberiku kelegaan dan kesesakan didada.

Saat umur llima tahun dan tujuh tahun sesudahnya, aku hampir tahu bahwa kelak hidupku tidak akan normal. Aku lebih sering menghabiskan waktu sendirian saat pulang sekolah, berada didalam kelas sendirian, menulis di buku diary, membaca Harry Potter sambil berguru pada imajinasiku sendiri. Aku suka mengunci diri dikamar, membaca beberapa buku, menulis dan menggambar sketsa. Aku bahkan masih suka menggambar dan mewarnainya dengan crayon berwarna-warni. Lukisanku tak pernah beranjak dari masa kecilku, sampai sekarang.

Aku tak menyukai komik seperti anak sebayaku. Aku pernah ikut berorganisasi saat itu, tetapi aku merasa dikungkung oleh aturan-aturan yang tidak membebaskan ku berorganisasi, mereka memperlakukan kami sebagai obyek bukan subyek. Hingga aku hengkang darinya, aku dicaci seluruh. Tak apa, aku sempat menangis tanpa tahu bercerita pada siapa. Oh, hanya mas Anjar kukira, yang pernah mendengar ceritaku, mungkin cerita lengkapnya. Aku memendamnya sendiri, aku tidak perlu berucap kepada orang lain, sakitnya dihina dan dicaci. Cukup ku buktikan, ketika aku keluar, aku harus meraih yang lebih baik tanpa perlu sombong dengan keberhasilan.

Diego, faseku tumbuhku penuh dengan rasa kecewa luar biasa. Aku benci mendapat perlakuan kasar. Aku memaafkan ia yang selalu kasar kepadaku tetapi aku tidak bisa melupakan apa yang ia perbuat kepadaku. Aku merawat segala macam sakit hati sebagai bagian yang menumbuhkanku sebagai jiwa yang jahat dan bengis. Aku orang tega ketika aku ingin membunuh hati orang lain. Orang menyebutku egois dan gila. Memang aku bisa gila dan melakukan segala cara untuk keinginanku. Orang alim bilang, ini tidak bisa membahagiakan, tapi aku jawab ini memuaskanku!

Aku pernah sesekali menjadi orang yang alim, hahahaha. Tapi ku kira Tuhan sudah tahu topengku. Lalu aku berkata kepadanya, baiklah, aku bisa berpura-pura depan orang tetapi tidak dengan Mu bukan. Aku akan bersikap jujur kepadaMu, meski aku tidak akan berhenti bertingkah polah tentu saja. Hidupku akan ku buat jungkir balik, terserah orang mau berkata aku tolol, yang penting ke-alim-an yang mereka anggap tolol, ku persembahkan kepadaMu, tulus, Kau yang menakar, Kau yang menilai. Cukup bagiku!

Lalu mereka perempuan-perempuan, bertanya digerbang umur? Apa yang ingin kau lakukan?

Mereka bilang, akan menikah. Aku bilang, inilah saat berpetualang.

Mereka bilang, ingin punya anak. Aku bilang aku ingin punya anak anjing.

Mereka bilang, berbaktilah kepada orang tua. Aku bilang iya, tetapi ada diskusi dan negosisasi positif.

Mereka bilang , segeralah lulus. Aku balik bertanya, lulus bisa mendapat ijazah ke surga kah?

Mereka bilang, aku tak tahu aturan. Aku menjawab, bukankah aturan dibuat memang untuk dilanggar?

Mereka bilang, aku malas? Aku menjawab, kemalasan berpangkal dari semboyan rajin menabung.

Mereka bertanya, kok bisa? Orang diajarkan rajin menabung hanya untuk kaya (duit),  untuk dirinya bukan untuk orang lain. Itulah titik mula kemalasan memikirkan orang lain!

Mereka bilang saya aneh? Aku berseloroh “Bukankah hidup di mulai dari keanehan, kita lahir karena pertemuan sel  telur dan sperma,  dari rahim yang kecil, elastis bisa membesar dan menjadi manusia. 

Menjadi manusia bisa bermacam-macam sikap hidup, latar belakang, ras, dan agama. Aneh adalah tuntunan hidup! Kalau kau mempertanyakan kemudian dikatakan aneh oleh orang-orang, disitulah kau akan mengenal fase karakter diri, hadapi jangan takut dianggap berbeda dan aneh!

Diego lalu bertanya dengan hati. Setelah ini apa?

Kata kunci saja, yang harus bisa kau sambungkan. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...