Hari kamis sore, telepon berdering. Ada seorang perempuan ingin bicara kepadaku. Ia pembantu dirumah yang terengah-engah ingin berbicara kepadaku. Ia agak gemetar dan ketakutan. Suaranya agak parau dan terkesan tergesa-gesa.
"Mbak, ibu sakit. Katanya harus diopname di rumah sakit. Semalam, ibu tidur di rumah kakak. Nafasnya sesak dan gak bisa bangun dari tempat tidur" ucapnya.
Deg!
Aku agak gemetar. Pikiranku buyar seketika.
Ya, aku akan pulang secepatnya.
Ku kemasi barang-barangku. Segera pulang ditengah cuaca panas yang tak terkira.Aku memacu kecepatan motorku hingga 100 kilometer per jam.
Sampai dirumah.
Aku melihatnya sangat lemas. Mukanya agak menghitam dan pucat. Tubuhnya semakin kering dan layu. Diusiamu yang ke 55 tahun, kau terengah ketika bernafas dan sesak menjangkiti.
Lalu kau berujar
Duaar!
Aku menangis didalam hati dan mengamini. Karena sejak bapak tiada, aku sudah tahu bahwa proses ibu menua, cepat atau lambat akan terjadi. Aku harus kuat untuk berjalan terseok-seok menghadapi ibu yang juga dikuasai oleh penyakit yang beresiko, jantung.
Jika boleh berucap
Duh Gusti, saya tidak tahu apa kehendakmu. Mengirimkan penyakit kepada orang tua yang merawatku sejak kecil. Usia 12 tahun, saya tumbuh dengan bapak yang stroke. Saya sadar, tumbuh dengan bayang-banyang tidak lengkap, dewasa sebelum waktu untuk menahan beban seberat anak-anak lain. Kini, sepuluh tahun setelahnya, saat umurku 22 tahun. Kau mengirimkan hal yang sama kepada Ibu.
Gusti, saya mohon ampun. Tapi setidaknya beri saya jeda untuk bernafas setelah tersenggal selama sepuluh tahun untuk ayah. Toh kata Panjenengan, semua hanya titipan :)
Lalu, air mata pun jatuh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar