Bapak saat serangan stroke yang keempat |
Malam ini saya berjanji
untuk menulis tentang bapak. Bapak memiliki nama yang berbeda-beda. Kok bisa?
Ya, di KTP namanya adalah Juri Suharto, di akte kelahiran saya ia menyebut
namanya Suharto, sementara di kantor namanya adalah Suharto Sapto Cahyono. Di
KTP tertera bahwa ia lahir tanggal 15 Mei 1955. Ia menutup usianya pada tanggal
14 Februari 2012, tepat pukul 15.55.
Bapak saya meninggal karena sakit stroke
yang ia alami selama kurang lebih sepuluh tahun. Ia meninggal akibat serangan
stroke di pembuluh darah otak. Ia meninggal setelah hampir lima kali serangan
stroke. Kata dokter, fisiknya amat kuat hingga mampu menerima serangan stroke
lebih dari tiga kali. Menurut hitung-hitungan dokter, normalnya serangan stroke
maksimal dialami tiga kali kemudian si penderita akan meninggal. Sementara
bapak saya tidak. Ia mampu bertahan cukup lama. Ia bahkan sempat sembuh total,
berjalan menggunakan tongkat, duduk di kursi roda hingga terbaring koma.
Bapak terserang stroke
karena ia memiliki riwayat darah tinggi atau hipertensi dari ayahnya atau dari
kakek saya. Keluarga kami secara turun temurun memiliki penyakit darah tinggi.
Kakek saya meninggal juga akibat serangan darah tinggi. Kakek saya meninggal
sehari setelah ia terkena serangan darah tinggi yang berujung pada kematiaanya.
Sedangkan bapak saya sakit dan bertahan dari serangan stroke dari tahun 2002
hingga 2012. Praktis semenjak saya kelas 2 SMP, bapak saya sudah tidak bisa
lagi mengambilkan rapot atau pun mengantarkan saya ke sekolah.
Saya masih ingat betul
bagaimana saat kelulusan SD ia datang. Melihat saya menari saat perpisahan SD.
Ia hanya tersenyum. Ia memang pendiam tapi dari sifat diamnya, saya tahu ia
amat memperhatikan perkembangan saya. Bapak kerap kali mendampingi saya saat
saya lomba tenis meja di banyak tempat. Ya sejak kecil saya memang dilatih
untuk bermain tenis meja hingga saya mahir. Bapak selalu mendorong saya
berkembang. Tidak hanya dari segi akademis tetapi saya juga dari ketrampilan.
Saya sering mendapat
cerita kalau bapak amat bahagia ketika saya dilahirkan. Katanya ia sampai
membuat perayaan wayang semalam suntuk. Saat wayangan berlangsung, katanya
turun hujan lebat hingga banjir. Konon untuk meredakan hujan ia sampai
mengeluarkan keris. Bapak saya adalah penganut kejawen. Banyak perilakunya yang
harus di tafsirkan. Sampai sekarang setelah tiga tahun ia meninggal, saya masih
merinci satu per satu tafsir dan perkataanya. Maklum, saya tak begitu banyak
berbicara dengan beliau semenjak sakit. Saya lebih banyak melihat
perilaku-perilakunya saja. Baru setelah ia meninggal saya mulai merasakan
banyak hal janggal dari perilaku bapak yang nampaknya tak biasa-biasa saja
Nah menyambut 1000
harinya bapak, saya memang berniat untuk konsisten menulis tentang bapak. Jujur
selama ini saya memang tak pernah bisa bangkit alias move on dari bapak. Cara
yang saya gunakan untuk meringankan rasa kehilangan adalah menyerahkannya pada waktu. Namun, saya sadari
itu ternyata tidak cukup. Saya kemudian berupaya mencari cara lain yakni dengan
menuliskan perasaan, kenangan-kenangan, kesedihan dan rasa syukur yang banyak
saya ucapkan pasca ia pergi dengan nyaman. Dan itu ternyata mengobati rasa
rindu saya padamu, Pak.
“Pak, aku ingin
menulismu. Sungguh lelakumu hanya akan abadi karena itu. Boleh ya?”
Tulisannya bagus. Semoga Bapak bahagia liat tulisan ini dari tempat yang damai.
BalasHapusBtw saya nyasar ke sini. Nice blog.