Rabu, 03 September 2014

Surat Untuk Bapak #2

Bapak saat serangan stroke yang keempat

Malam ini saya berjanji untuk menulis tentang bapak. Bapak memiliki nama yang berbeda-beda. Kok bisa? Ya, di KTP namanya adalah Juri Suharto, di akte kelahiran saya ia menyebut namanya Suharto, sementara di kantor namanya adalah Suharto Sapto Cahyono. Di KTP tertera bahwa ia lahir tanggal 15 Mei 1955. Ia menutup usianya pada tanggal 14 Februari 2012, tepat pukul 15.55. 

Bapak saya meninggal karena sakit stroke yang ia alami selama kurang lebih sepuluh tahun. Ia meninggal akibat serangan stroke di pembuluh darah otak. Ia meninggal setelah hampir lima kali serangan stroke. Kata dokter, fisiknya amat kuat hingga mampu menerima serangan stroke lebih dari tiga kali. Menurut hitung-hitungan dokter, normalnya serangan stroke maksimal dialami tiga kali kemudian si penderita akan meninggal. Sementara bapak saya tidak. Ia mampu bertahan cukup lama. Ia bahkan sempat sembuh total, berjalan menggunakan tongkat, duduk di kursi roda hingga terbaring koma.

Bapak terserang stroke karena ia memiliki riwayat darah tinggi atau hipertensi dari ayahnya atau dari kakek saya. Keluarga kami secara turun temurun memiliki penyakit darah tinggi. Kakek saya meninggal juga akibat serangan darah tinggi. Kakek saya meninggal sehari setelah ia terkena serangan darah tinggi yang berujung pada kematiaanya. Sedangkan bapak saya sakit dan bertahan dari serangan stroke dari tahun 2002 hingga 2012. Praktis semenjak saya kelas 2 SMP, bapak saya sudah tidak bisa lagi mengambilkan rapot atau pun mengantarkan saya ke sekolah.

Saya masih ingat betul bagaimana saat kelulusan SD ia datang. Melihat saya menari saat perpisahan SD. Ia hanya tersenyum. Ia memang pendiam tapi dari sifat diamnya, saya tahu ia amat memperhatikan perkembangan saya. Bapak kerap kali mendampingi saya saat saya lomba tenis meja di banyak tempat. Ya sejak kecil saya memang dilatih untuk bermain tenis meja hingga saya mahir. Bapak selalu mendorong saya berkembang. Tidak hanya dari segi akademis tetapi saya juga dari ketrampilan.

Saya sering mendapat cerita kalau bapak amat bahagia ketika saya dilahirkan. Katanya ia sampai membuat perayaan wayang semalam suntuk. Saat wayangan berlangsung, katanya turun hujan lebat hingga banjir. Konon untuk meredakan hujan ia sampai mengeluarkan keris. Bapak saya adalah penganut kejawen. Banyak perilakunya yang harus di tafsirkan. Sampai sekarang setelah tiga tahun ia meninggal, saya masih merinci satu per satu tafsir dan perkataanya. Maklum, saya tak begitu banyak berbicara dengan beliau semenjak sakit. Saya lebih banyak melihat perilaku-perilakunya saja. Baru setelah ia meninggal saya mulai merasakan banyak hal janggal dari perilaku bapak yang nampaknya tak biasa-biasa saja

Nah menyambut 1000 harinya bapak, saya memang berniat untuk konsisten menulis tentang bapak. Jujur selama ini saya memang tak pernah bisa bangkit alias move on dari bapak. Cara yang saya gunakan untuk meringankan rasa kehilangan adalah  menyerahkannya pada waktu. Namun, saya sadari itu ternyata tidak cukup. Saya kemudian berupaya mencari cara lain yakni dengan menuliskan perasaan, kenangan-kenangan, kesedihan dan rasa syukur yang banyak saya ucapkan pasca ia pergi dengan nyaman. Dan itu ternyata mengobati rasa rindu saya padamu, Pak.


“Pak, aku ingin menulismu. Sungguh lelakumu hanya akan abadi karena itu. Boleh ya?”

1 komentar:

  1. Tulisannya bagus. Semoga Bapak bahagia liat tulisan ini dari tempat yang damai.

    Btw saya nyasar ke sini. Nice blog.

    BalasHapus

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...