Rabu, 02 Agustus 2017

Puasa


Saya menjadi teringat pertanyaan Ibu tatkala menanyakan kepada Bapak sebuah pertanyaan ketika Bapak memutuskan pensiun dini.



“Pak, Bapak kenapa mau  pensiun dini? Banyak kesempatan Pak buat Bapak mendapatkan posisi?”



Lalu dengan tersenyum Bapak berkata,



“Gak Bu, sudah cukup”


Potongan percakapan itu kembali teriang dikepala saya akhir-akhir ini. Kala itu Bapak saya berusia kurang lebih 40an tahun. Usia dimana setiap orang yang bekerja mendapatkan posisi yang sangat strategis dalam berkarier. Namun, bapak memilih untuk mundur. Bapak pergi meninggalkan semua. Padahal semua ada didepan matanya. Jika mau , ia bisa mendapatkan posisi lebih baik menurut orang-orang. Banyak yang lain mencegah keinginanya, tapi ia tetap memilih pensiun dini/

Bagi saya, anak bungsunya, kata “cukup” yang diungkapkan oleh Bapak memberikan  pijakan mendasar tentang posisi sebagai manusia. Dari kata-kata Bapak tentang cukup, saya  menjadi tahu makna puasa. Kata cukup berarti Bapak sedang  mempuasakan dirinya. Beberapa tahun setelah ia mengungkapkan “cukup”, serangan stroke menyerangnya. Masa stroke Bapak kemudian saya sebut sebagai periode puasa Bapak yang paling berat. Satu per satu tubuhnya makin ringkih, lemah dan tidak bisa bergerak. Ia melakoni jalan ini selama sepuluh tahun. Beberapa kali masuk ke rumah sakit, dengan serangan stroke mendadak lebih dari tiga kali. Tak sekalipun keluhan keluar dari mulutnya. Tak pernah ia mengerang. Ia memilih diam dan menjalani dengan  ikhlas. Kini saya tahu, Bapak tidak pernah kalah oleh penyakitnya. Kematian Bapak adalah buka puasa. Ia bertemu kepada Khaliknya. Saya meyakini ia bahagia disana. Lebih bahagia.

Periode-periode persimpangan dialami oleh semua manusia untuk mencari kebenaran. Tentu banyak jalan untuk menuju kebenaran, kebaikan dan kebijaksanaan. Orang kemudian mencoba menjadi jalan dengan tafsir masing-masing. Seperti Bapak yang saya pikir juga mengalami persimpangan jalan dan perdebatan yang alot pada diri dan pikirannya. Sampai akhirnya ia memilih untuk berpuasa sebagai sebuah jalan mencari kebenaran. Menahan diri untuk mengambil apa yang bisa ia rengkuh. Disaat yang sama, ia kemudian menjalani setiap periode penuh tirakat itu dengan ikhlas.

Makin kesini, saya makin  memahami bahwa keputusan setiap manusia harus mempertimbangkan bukan hanya yang terlihat dengan kasat mata. Ia juga harus mempertimbangkan banyak hal diluar mereka yang terlihat. Ia harus mendengarkan apa yang dirasakan. Rasa yang bukan  hanya bicara tentang keinginan. Rasa yang menunjukan jalan untuk mencari yang sebenar-benarnya kebenaran. Maka disinilah manusia harus benar-benar meneliti dirinya. Apakah ia benar-benar menjalani kebenaran, menjadi sebenarnya “manusia” atau hanya menjadi penurut atas keinginan-keinginannya?

Kata orang-orang diluar sana, usia 27 tahun hingga menjelang 30 an adalah periode yang akan menentukan. Mau menjadi apa seseorang terjadi pada periode ini. Saya sendiri cukup sepakat bahwa usia ini manusia dihadapkan untuk menjadi matang. Dibeberapa manusia lain, ia dipaksa untuk matang atau tetap berjalan dengan ketidakmatangan hingga usia 40 an bahkan hingga masa tuanya.

Apabila orang menjadi matang, maka ia mendekat pada keterbukaan, toleransi, memahami rasa orang lain dan tidak lagi mempertunjukan kebenaran yang ia lakoni untuk dipaksakan kepada yang lain. Ia menjalani kebenaran dengan sunyi. Dan memanifestasikan segala kematangannya dengan memberikan rasa aman pada setiap manusia apapun agamanya, tidak menginjak harga diri manusia lain, serta menjaga kehormatan dan keselamatan setiap mahkluk.  

Kematangan seseorang seharusnya membawa seseorang untuk menekan egonya secara bertahap. Tahu kapan harus menempatkan  keinginan-keinginannya secara individu dan diwaktu yang lain harus siap mengorbankan egonya demi kemasyalahatan dan keselamatan  orang banyak.  Disini tidak ada soal kalah menang  bagi ia yang matang. Karena kalah  menang  adalah tingkatan paling rendah jika seseorang benar-benar ingin menjadi manusia.

Sejauh ini, saya masih berusaha menjadi manusia. Ingin rasanya menjadi seperti Bapak, berpuasa. Berat memang. Tidak mudah. Tetapi seperti saat kita memulai puasa ketika imsyak, maka kita akan menemukan sedikit nikmat kala berbuka.  Layaknya pesan  ibu kepada saya “Berpuasalah, tirakat, Nduk. Nantinya akan kemudahan”.

Dengan segala penjabaran dari Gusti Allah, ia menawarkan kedua sifatnya Rahman dan Rahim sebagai yang utama. Penuh dengan cinta dan kasih.  Maka setidaknya jika memang belum bisa menjadi manusia yang seluruhnya matang, belum mampu sepenuhnya berpuasa, maupun bisa menafsirkan dan merasakan rasa untuk kebenaran sejati, maka sebarkanlah sifat keberTuhanan yang utama, yakni cinta dan kasih. Rahman dan Rahim untuk seluruh makhluk dan alam ciptaanNya. Selalu takjublah, karena tingkatan tertinggi manusia adalah ia yang benar-benar bisa merasakan keindahan saat berpejalanan di atas bumi.

Yogya, 2 Agustus 2017





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...