Saya
menjadi teringat pertanyaan Ibu tatkala menanyakan kepada Bapak sebuah
pertanyaan ketika Bapak memutuskan pensiun dini.
“Pak, Bapak
kenapa mau pensiun dini? Banyak
kesempatan Pak buat Bapak mendapatkan posisi?”
Lalu dengan
tersenyum Bapak berkata,
“Gak Bu,
sudah cukup”
Potongan
percakapan itu kembali teriang dikepala saya akhir-akhir ini. Kala itu Bapak
saya berusia kurang lebih 40an tahun. Usia dimana setiap orang yang bekerja
mendapatkan posisi yang sangat strategis dalam berkarier. Namun, bapak memilih
untuk mundur. Bapak pergi meninggalkan semua. Padahal semua ada didepan
matanya. Jika mau , ia bisa mendapatkan posisi lebih baik menurut orang-orang.
Banyak yang lain mencegah keinginanya, tapi ia tetap memilih pensiun dini/
Bagi
saya, anak bungsunya, kata “cukup” yang diungkapkan oleh Bapak memberikan pijakan mendasar tentang posisi sebagai
manusia. Dari kata-kata Bapak tentang cukup, saya menjadi tahu makna puasa. Kata cukup berarti Bapak
sedang mempuasakan dirinya. Beberapa tahun
setelah ia mengungkapkan “cukup”, serangan stroke menyerangnya. Masa stroke Bapak
kemudian saya sebut sebagai periode puasa Bapak yang paling berat. Satu per
satu tubuhnya makin ringkih, lemah dan tidak bisa bergerak. Ia melakoni jalan
ini selama sepuluh tahun. Beberapa kali masuk ke rumah sakit, dengan serangan
stroke mendadak lebih dari tiga kali. Tak sekalipun keluhan keluar dari
mulutnya. Tak pernah ia mengerang. Ia memilih diam dan menjalani dengan ikhlas. Kini saya tahu, Bapak tidak pernah
kalah oleh penyakitnya. Kematian Bapak adalah buka puasa. Ia bertemu kepada
Khaliknya. Saya meyakini ia bahagia disana. Lebih bahagia.
Periode-periode
persimpangan dialami oleh semua manusia untuk mencari kebenaran. Tentu banyak
jalan untuk menuju kebenaran, kebaikan dan kebijaksanaan. Orang kemudian
mencoba menjadi jalan dengan tafsir masing-masing. Seperti Bapak yang saya pikir
juga mengalami persimpangan jalan dan perdebatan yang alot pada diri dan
pikirannya. Sampai akhirnya ia memilih untuk berpuasa sebagai sebuah jalan
mencari kebenaran. Menahan diri untuk mengambil apa yang bisa ia rengkuh. Disaat
yang sama, ia kemudian menjalani setiap periode penuh tirakat itu dengan
ikhlas.
Makin kesini,
saya makin memahami bahwa keputusan
setiap manusia harus mempertimbangkan bukan hanya yang terlihat dengan kasat
mata. Ia juga harus mempertimbangkan banyak hal diluar mereka yang terlihat. Ia
harus mendengarkan apa yang dirasakan. Rasa yang bukan hanya bicara tentang keinginan. Rasa yang
menunjukan jalan untuk mencari yang sebenar-benarnya kebenaran. Maka disinilah
manusia harus benar-benar meneliti dirinya. Apakah ia benar-benar menjalani
kebenaran, menjadi sebenarnya “manusia” atau hanya menjadi penurut atas
keinginan-keinginannya?
Kata
orang-orang diluar sana, usia 27 tahun hingga menjelang 30 an adalah periode
yang akan menentukan. Mau menjadi apa seseorang terjadi pada periode ini. Saya
sendiri cukup sepakat bahwa usia ini manusia dihadapkan untuk menjadi matang.
Dibeberapa manusia lain, ia dipaksa untuk matang atau tetap berjalan dengan
ketidakmatangan hingga usia 40 an bahkan hingga masa tuanya.
Apabila
orang menjadi matang, maka ia mendekat pada keterbukaan, toleransi, memahami
rasa orang lain dan tidak lagi mempertunjukan kebenaran yang ia lakoni untuk
dipaksakan kepada yang lain. Ia menjalani kebenaran dengan sunyi. Dan memanifestasikan
segala kematangannya dengan memberikan rasa aman pada setiap manusia apapun
agamanya, tidak menginjak harga diri manusia lain, serta menjaga kehormatan dan
keselamatan setiap mahkluk.
Kematangan
seseorang seharusnya membawa seseorang untuk menekan egonya secara bertahap. Tahu
kapan harus menempatkan keinginan-keinginannya
secara individu dan diwaktu yang lain harus siap mengorbankan egonya demi kemasyalahatan
dan keselamatan orang banyak. Disini tidak ada soal kalah menang bagi ia yang matang. Karena kalah menang
adalah tingkatan paling rendah jika seseorang benar-benar ingin menjadi
manusia.
Sejauh
ini, saya masih berusaha menjadi manusia. Ingin rasanya menjadi seperti Bapak,
berpuasa. Berat memang. Tidak mudah. Tetapi seperti saat kita memulai puasa
ketika imsyak, maka kita akan menemukan sedikit nikmat kala berbuka. Layaknya pesan ibu kepada saya “Berpuasalah, tirakat, Nduk.
Nantinya akan kemudahan”.
Dengan
segala penjabaran dari Gusti Allah, ia menawarkan kedua sifatnya Rahman dan
Rahim sebagai yang utama. Penuh dengan cinta dan kasih. Maka setidaknya jika memang belum bisa menjadi
manusia yang seluruhnya matang, belum mampu sepenuhnya berpuasa, maupun bisa
menafsirkan dan merasakan rasa untuk kebenaran sejati, maka sebarkanlah sifat
keberTuhanan yang utama, yakni cinta dan kasih. Rahman dan Rahim untuk seluruh
makhluk dan alam ciptaanNya. Selalu takjublah, karena tingkatan tertinggi
manusia adalah ia yang benar-benar bisa merasakan keindahan saat berpejalanan
di atas bumi.
Yogya,
2 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar