Gusti, saya kembali ke Jawa.
Eyang kung, eyang uti, bapak, ibu, saya kembali. Ke rumah. Rumah, Jawa. Tempat kembalinya saya ke rasa setelah 10 tahun mengembara ke Barat…
Sekian lama, kalian memanggilku untuk segera pulang, tumraping wong ing Tanah Jawi. Kembali menjadi orang yang mengerti. Ngerasake, ngolah roso…
Saya pulang Eyang Panembahan Romo Kajoran. Saya pulang dengan tidak lagi membawa dendam kepada seseorang yang telah membunuh klan keluarga kita…Saya ingin pulang dengan pengertian, sebagai orang Jawa…
Saya telah berkelana jauh. Mengolah logika dan pikiran saya. Saya tidak bertemu dengan apa yang saya cari selama ini sebagai orang, sebagai orang Jawa. Mungkin benar, saya harus kembali menjadi Jawa lagi. Tepat seperti 10 tahun lalu, saya meninggalkan kejawaan saya. Menjadi orang lain, berkelana pada filsuf-filsuf dan pemikir barat. Tepat setelah Bapak sedo. Itu saya sadari karena saya mengalami kehilangan amat sangat, tidak mau menerim, Bapak sudah kondur ing ngayunaning Gusti. Saya terlampau takut dan tidak kuat menanggung beban. Saya lari ke Barat. Dunia yang saya temui di kampus. Namun, saya bersyukur pernah lari kesitu dan memahami bagaimana cara kerja berpikir Barat juga memperkaya kehidupan saya. Tapi saya tahu, saya tetap lah harus pulang, menjadi Jawa.
Saya mengembara pada pemikiran dan revolusi kognitif. Saya tahu, saya juga mendapatkan cara survive dari segala penderitaan dari sana. Dari masa saya sekolah dan kuliah. Tapi lagi-lagi ketika saya dipenggal oleh kepergian almarhumah Ibu, ternyata Ibu meminta saya bukan hanya mendoakannya tapi pulang ke Jawa. Mengolah kesadaran saya sebagai manusia. Sebagai mahkluk Gusti yang punya tanggungjawab memperindah jagad. Menjaga kesadaran itu dan tidak terjebak dalam pikiran (kramadangsa) saya sendiri.
Saya sesungguhnya berakar dari Jawa. Ia ditanamkan Ibu dan Bapak swargi melalui bahasa krama inggil yang mereka ajarkan dari saya kecil hingga saya masih bisa menggunakan bahasa itu hingga saya dewasa. Saya diajari dengan laku bapak dan ibu untuk dadi wong. Bukan semata punya harta yang banyak, tapi bisa disambati dan dijadikan pegangan oleh banyak orang, terutama mereka yang lemah. Saya ingat betapa ibu akhirnya sampai meneteskan air mata, ketika anak ragilnya sudah jadi wong. Bisa disambati, bisa jadi pensiunnya orang tua. Tidak bingung mau kemana. Betapa banyak yang sudah ibu dan bapak tinggalkan kepada anakmu ini. Anak, yang ternyata bisa tatag meski harus depresi karena merasa tidak punya alasan lagi cara melanjutkan hidup, karena bapak dan ibu, alasanku untuk selalu bertahan dalam situasi sempit. Sebagai anak, keprihatinan dan kepedihan Bapak dan Ibu, mengantarkanku pada rasa pedih terdalam. Maaf ya pak, Nduk hanya bisa belajar sampai UGM dan membanggakan bapak hanya sampai usia 22 tahun. Maaf ya Bu, hanya bisa memberikan operasi kaki, mengobati stroke, memberikan ibu uang sekedarnya, baru bisa ngasih uang umroh. Belum bisa banyak yang kuberikan ke Ibu. Meski ibu selalu bilang, ibu senang dan bangga. Kamu bisa ngadeg/berdiri sendiri dengan mandiri, dan menjadi amat dewasa. Mengatasi banyak masalah tanpa pernah merepotkan Ibu.
Segala kepedihan yang kutanggung, tentu tidak sepadan dengan apa yang ibu dan bapak berikan sepanjang kehidupan Nduk sebagai seorang anak. Nduk hanya bisa melakukan hal-hal yang membuat Ibu dan Bapak bangga meski kecil, setidaknya Nduk ingin, saat Nduk omah-omahan dan dewasa, tidak merepotkan apapun kepada Bapak dan Ibu. Rasa yang hampir selalu menjadi lambaranku sebagai anaknya Bapak dan Ibu, yang sangat Jawa.
Pak Bu, aku mengalami depresi. Selama 2 tahun ini. Bapak dan Ibu pasti tahu itu. Dan aku tahu, pasti bapak dan ibu merasa sedih disana, karena mendapatiku hancur-hancuran. Tapi pak, bu, sekarang Nduk sudah pulih. Pulih karena Bapak dan Ibu meletakan obat itu di ruang rasa, kejawaan yang ibu dan bapak bangun pelan-pelan kepada batinku sejak aku anak-anak. Untuk bisa merasakan rasanya orang lain. Cinta melalui rasa, raos yang Bapak dan Ibu tempatkan di diri sejati, bukan di pikiran/kramadangsa yang selama ini aku gunakan, untuk ku bertahan dari serangan-serangan kehidupan yang menggoncang keluarga kita. Dari bapak yang sakit stroke, ibu yang juga sakit, mbak yang KDRT dan mas yang juga punya lelakoning urip yang juga tidk mudah. Tapi pak bu, semua itu telah membuat ijazah hidupku lengkap, ketika aku sudah mengolah semua dengan batin dan kesadaranku, aku telah lilo. Ikhlas dan sadar bahwa memang itu takdir keluarga kita, hidup kita. Yang kudu diterima dan harus dijadikan ijazah kehidupan. Pak Bu, doakan anak mu ini, mugo-mugo adoh saking payendu ya pak bu…Doakan mantu kesayangan Ibu juga agar dimudahkan pula sekolah S3 nya. Aku akan selalu tatag menjalani kehidupan, karena aku hidup dalam kesadaran bukan pikiran lagi. Semoga surat ini Bapak dan Ibu baca ya disana. Aku sayang bapak dan ibu. Dan aku yakin, bapak dan ibu sudah paripurna dengan kesejatianNya. Ayem..tentrem wonten ayunaning Gusti Ingkang Maha Kinasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar