Rabu, 26 Juni 2013

Feminis, Pembelajar Cinta Kasih

Kamu perempuan feminis, tak beragama dan liberal
Kamu itu superwoman seperti lagunya Alicia Keys atau seperti lagunya “Girl On Fire”
Kamu adalah anaknya ibu, anak terakhir ibu yang bisa menjadi apapun yang ingin kamu lakukan.

Terakhir ketika saudara jauh saya menanyakan, apa yang kamu lakukan ketika kamu berada dalam posisi tak lagi memiliki visi hidup yang sama dengan partnermu? Seperti yang dialami mamiku sekarang? Saya dengan tegas menjawab, kalau saya dalam posisi mami, saya akan memutuskan bercerai dan memulai hidup lebih baik, dengan anak-anak. Karena melelahkan bukan hidup dengan partner yang bahkan tak bisa lagi memiliki visi yang sama, itu aneh menurutku


Lalu serangkaian pertanyaan mengemuka dipikiran saya? Apa salahnya saya jadi perempuan feminis, apa salahnya menjadi superwoman, apa salahnya menjadi diri saya sendiri. Apa salahnya perempuan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Saya merasa pengambil keputusan yang baik adalah mereka yang berani mengambil keputusan, tak harus menyenangkan banyak orang, karena tak ada keputusan populis, tak semua orang bisa setuju dan kalian paksa setuju atas keputusan.Ingat ini keputusan bukan untuk menaikan popularitas.

Betapa tak mudah bagi saya sejujurnya mengambil keputusan dalam posisi politis sebagai feminis. Ini akan menjadi pertarungan yang sangat melelahkan, saya paham dan saya tahu resikonya. Pernah sekali saya ingin mundur dan menjadi biasa saja, kamu menjadi perempuan baik seperti pandangan umum. Tetapi jiwa saya tak mau, saya mengikuti jiwa saya, saya tidak mau berkhianat pada hati nurani saya sendiri.

Persoalan awal dan kegelisahan dimulai ketika saya masih kecil, dalam keluarga saya, ayah dan ibu saya tidak pernah membedakan perlakuan mereka pada anak laki-laki dan anak perempuan. Ibu saya menekankan saya untuk bekerja keras dan kelak kalau menikah tetaplah bekerja. Sementara ayah, mungkin karena berasal dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ia selalu mengambil jarak dan menganalisis persoalan, ia bilang  mencintai anak perempuan dan bangga dengan anak perempuan. Kalau bisa dibilang, ialah yang membentuk saya bukan seperti anak perempuan pada umumnya, memutuskan segalanya sendiri, mandiri dan tak pernah takut kemana-mana sendiri.

Hidup dari lingkungan keluarga yang sangat liberal membuat saya gagap ketika berada di luar rumah. Sebagian teman perempuan saya dilarang oleh orang tuanya untuk naik ke atas pohon, ataupun pulang sore. Saya sangat biasa bermain dan menyebrangi sungai. Bermain dengan teman laki-laki, hingga saya terbentuk hampir sepenuhnya menjadi remaja.

Saya sangat risih bila ada pemilihan ketua kelas, dan kemudian para perempuan mundur hanya karena mereka perempuan. Pemimpin kelas seharusnya adalah lelaki. Saya kadang gemes melihat hal ini, bagi saya laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemimpin. Toh menjadi ketua kelas yang dibutuhkan adalah jiwa dan seni memimpin bukan jenis kelamin. Dalam ranah yang lain, saya hampir menemukan hal demikian. Ketika saya mengangkat jari maka yang lain akan lirik sana lirik sini, seolah ada yang memang harus dipungkiri.

Memasuki gerbang kuliah, pergulatan saya dengan diri saya sendiri semakin tak terkendali. Kala itu, saya memiliki pacar dan kami sudah 3 tahun usia pacaran, hubungan kami selalu baik-baik saja meski saya di Jogja dan dia kuliah di Solo. Ketika saya mulai mengenal beberapa anak-anak komunitas gerakan atau pers mahasiswa, mendapati dan membaca buku-buku kiri, membaca tempo, kompas, prisma, disitulah saya menemukan diri saya. Saya mengalami de javu ketika membaca Tempo pertama kali saat umur 8 tahun. Saya merasa kembali ke ruang yang  lama saya tinggalkan entah kemana. Saya mendapatkan teman diskusi dan di saat itu pula, saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan saya dengan pacar saya tersebut, karena saya membuat keputusan yang beresiko, untuk tidak lagi menjadi perempuan yang umum, yang segeralah punya pacar, lulus dan menikahlah. Saya saat itu takut, tetapi saya memutuskan untuk mengikuti hati nurani saya, ketimbang harus mengkhianati. Saya harus melakukan sesuatu yang berbeda dan mengikuti langkah saya sendiri.

Petualangan itu akhirnya dimulai, saya mulai rajin menulis di beberapa koran, mengikuti penelitian, diskusi-diskusi yang berujung di pagi hari. Saya menyukainya dan menikmatinya. Saya sering menangis, membayangkan seandainya saya tidak mengambil keputusan ini saat awal kuliah, mungkin saya tidak akan berada dalam posisi bahagia seperti sekarang. Saya tahu kemana melangkah, menikmati liburan akhir tahun dengan travelling ke kota-kota yang tidak pernah saya singgahi, naik gunung dan mendengar cerita-cerita hidup dalam setiap jejakan kaki. Saya merasa bahagia menemukan diri saya.

Pendewasaan

Proses pendewasaan sangatlah menyakitkan meski kemudian banyak hikmah yang bisa saya dapatkan dalam fase menjadi perempuan di gerbang usia 20 tahun. Hanya satu ritual yang tak berubah, ketika saya dihadang kebimbangan menjadi dewasa, aku masih mengucapkan doa-doa setiap membuka mataku di dunia. Saya ingin mengingatNya sebelum yang lain dan menutup mataku menghadapNya dengan baik. Hanya itu kekuatan yang aku gadang membimbingku selain kitab suci yang saya peluk saat malam.

Hari ini, tepat hidup saya menjadi rool coster dalam jangka 5 tahun lalu, setelah saya memutuskan untuk menjadi tidak biasa. Pertemuan dan diskusi menjadi makanan sehari-hari, tetapi saya merasa saya belum menemukan posisi politis dimana saya berpijak, setelah berada dalam lingkaran fase pemikirian. Sampai akhirnya, saya menemukannya di sebuah ruang kuliah awal, semester 3, jam 7 pagi. Saya ikut kuliah Gender. Saya hanya iseng kala memasukan mata kuliah itu dalam kartu rencana studi saya, saya pernah mendengarnya. Pengajarnya adalah perempuan dosen yang energik, cerdas, berusia lebih dari 50 tahun, tetapi punya semangat luar biasa untuk tetap mengajar, ia guru pembimbing skripsi saya saat ini.

Itu hari pertama saya membuka buku feminist thought karya Rosmarie Thong. Buku yang berisi aliran feminis dari berbagai paham, dari liberal hingga radikal, dari marxis hingga psikoanalisis. Meski terjemahan tak terlalu baik, tetapi dari sanalah untuk pertama saya  menemukan apa yang saya cari selama ini, apa yang kemudian membuat saya merasa sendiri, merasa berbeda, merasa kadang tak sepaham dengan pandangan-pandangan yang meminggirkan saya selama ini, karena saya berjenis kelamin perempuan.

Saya membolak balik dan membaca buku itu, dari pagi sejak saya ikut kelas Gender hingga malam. Saya merasa menemukan diri saya selama ini. Seolah menemukan peta dimana saya harus berjalan. Menemukan semangat yang secara tidak sadar diturunkan ibu dalam nilai-nilai feminis. Semangat feminis, untuk tidak hanya terjebak dalam pandangan kesetaraan saja tetapi juga menjadikan dunia lebih adil untuk siapapun, laki-laki, perempuan bahkan anak-anak.

Tetapi fakta dalam buku, tak semudah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika keluarga saya secara tidak langsung menurunkan sikap-sikap feminis, maka tidak untuk teman-teman saya atau lingkungan sekitar saya. Saya banyak menemukan kata-kata, sikap, yang sangat bias dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang paling saya ingat, ketika saya bicara dengan seorang aktivis pro demokrasi, yang kebetulan ia adalah seorang laki-laki dan juga membaca tentang feminisme, berujar seperti ini

Ann, saya sangat menghormati dan ingin perempuan berkembang dengan cita-citanya. Perempuan boleh menjadi pilot, bisa menjadi professor, bisa meraih cita-citanya. Asalkan dia bukan istri saya. Saya tak bisa membiarkan dia melebihi saya.

Sesuatu yang membuat saya geleng-geleng dan paham bahwa ini tak akan mudah kedepan. Ambiguitas ini hampir saya temukan dalam lingkungan saya sehari-hari. Saya kemudian menjadi agak risih, seolah sendiri dalam sebuah dunia yang tidak aman. Entahlah, kadang saya juga merasa frustasi pada masa itu. Saya bingung menumpahkan dasar hidup saya yang sudah dididik secara feminis, dalam sebuah kebudayaan dan lingkungan yang tidak bisa memahami pola berpikir saya.

Kadang debat memang terjadi secara alot agar kita mau belajar. Proses saya menjadi feminis tidaklah stagnan. Ia mengalami naik turun, tetapi hal yang paling saya syukuri adalah saya merasa mendapatkan bekal yang lebih baik dan pijakan yang lebih kuat, mengapa saya mengambil keputusan-keputusan politis dalam hidup saya.

Bermacam-macam respon diperlihatkan orang ketika bertemu dengan saya, awalnya kebanyakan orang akan takut dan merasa saya akan superior dan menggebu-ngebu atau menggebrak meja memaki laki-laki. Hahahaha, itulah pandangan awal yang ada diimajinasi saya ketika saya bilang kepada mereka feminis. Ya, perlu kalian pahami bahwa kebanyakan feminis muda akan sangat frontal ketika pemikirannya diserang atau dikritik, karena masih terbius pada pemikirannya yang memang kuat menentang struktur yang timpang.

Saya pernah mengalami fase itu, mungkin sekitar 2-3 tahun yang lalu, proses menjadi feminis itu menyakitkan sekaligus menyenangkan tentu saja. Menyakitkan karena merasa sendiri, senang karena ada pijakan untuk berbuat keputusan-keputusan politis dengan otoritas penuh kesadaran. Dari proses ini saya paham, bagaimana cara mengelola dan menerapkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam perilaku sehari-hari.

Feminis mengambil praktek langsung dari disiplin ilmu saya sosiologi, untuk paham tentang konteks sosial, struktur yang timpang dan mengapa hal ini dilanggengkan. Saya paham melakukan perubahan dari diri sendiri. Bagaimana sikap-sikap assertifitas selalu coba saya kedepankan untuk memahami pemikiran lain, mengambil dan memahami pandangan yang ekstrim sekalipun, tidak antipati pada pandangan yang berbeda, melawan sifat keras dan kasar dengan cinta kasih, membumi, tetap selalu ingin tahu, menjadi pendengar yang baik untuk mereka yang tak mau paham dan benci dengan pemikiran feminis sekalipun.

Dari feminisme saya kemudian beranjak pada satu fase yang disebut kemanusiaan dan menjadi pembelajar yang tak kenal lelah dalam hidup. Saya meyakini bahwa fase dimana orang telah mengenal dan menyelami kemanusiaan adalah ketika ia tak memandang perbedaan untuk manusia manapun. Bahasa yang ia gunakan membumi untuk diterima siapapun, ia tak takut berhadapan dengan apapun, dan memandang wajah Tuhan dengan senyuman.

Fase inilah yang kini tengah saya rajut. Biarlah orang-orang mendebatkan tentang mengapa feminisme, mengapa kamu menjadi feminis, bukankah kita (perempuan dan laki-laki) baik-baik saja? Ini bisa saja merupakan dinamika pencarian tentang kemapanan atau berujung pada kegelisahan mereka, akan hidup yang tak sepenuhnya baik, kadang mengecewakan tetapi yang saya yakini, Tuhan tak pernah menyakiti kita, hanya kita sendirilah yang menyakiti dalam ketidaksepahaman.

Kini tak masalah ketika orang mendeskripsikan saya pada secarik kertas, cecaran kata-kata, entah itu positif atau negatif. Saya sangat senang mendengarnya, karena dari sana saya belajar, menjadi pendengar, pembelajar, dan menolak bersikap kasar.

Setiap orang adalah tempat belajar, setiap waktu adalah detik untuk menjadi pembelajar, setiap langkah adalah wajah cinta kasih. Saya feminis, saya menolak ketidakadilan dan melawannya dengan cinta kasih.


Salam kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...