Kamu
perempuan feminis, tak beragama dan liberal
Kamu itu
superwoman seperti lagunya Alicia Keys atau seperti lagunya “Girl On Fire”
Kamu
adalah anaknya ibu, anak terakhir ibu yang bisa menjadi apapun yang ingin kamu
lakukan.
Terakhir
ketika saudara jauh saya menanyakan, apa yang kamu lakukan ketika kamu berada
dalam posisi tak lagi memiliki visi hidup yang sama dengan partnermu? Seperti
yang dialami mamiku sekarang? Saya dengan tegas menjawab, kalau saya dalam
posisi mami, saya akan memutuskan bercerai dan memulai hidup lebih baik, dengan
anak-anak. Karena melelahkan bukan hidup dengan partner yang bahkan tak bisa
lagi memiliki visi yang sama, itu aneh menurutku
Lalu serangkaian pertanyaan mengemuka dipikiran
saya? Apa salahnya saya jadi perempuan feminis, apa salahnya menjadi
superwoman, apa salahnya menjadi diri saya sendiri. Apa salahnya perempuan
memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Saya merasa pengambil keputusan yang
baik adalah mereka yang berani mengambil keputusan, tak harus menyenangkan
banyak orang, karena tak ada keputusan populis, tak semua orang bisa setuju dan
kalian paksa setuju atas keputusan.Ingat ini keputusan bukan untuk menaikan
popularitas.
Betapa tak mudah bagi saya sejujurnya mengambil
keputusan dalam posisi politis sebagai feminis. Ini akan menjadi pertarungan
yang sangat melelahkan, saya paham dan saya tahu resikonya. Pernah sekali saya
ingin mundur dan menjadi biasa saja, kamu menjadi perempuan baik seperti
pandangan umum. Tetapi jiwa saya tak mau, saya mengikuti jiwa saya, saya tidak
mau berkhianat pada hati nurani saya sendiri.
Persoalan awal dan kegelisahan dimulai ketika
saya masih kecil, dalam keluarga saya, ayah dan ibu saya tidak pernah
membedakan perlakuan mereka pada anak laki-laki dan anak perempuan. Ibu saya menekankan
saya untuk bekerja keras dan kelak kalau menikah tetaplah bekerja. Sementara
ayah, mungkin karena berasal dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ia
selalu mengambil jarak dan menganalisis persoalan, ia bilang mencintai anak perempuan dan bangga dengan
anak perempuan. Kalau bisa dibilang, ialah yang membentuk saya bukan seperti
anak perempuan pada umumnya, memutuskan segalanya sendiri, mandiri dan tak
pernah takut kemana-mana sendiri.
Hidup
dari lingkungan keluarga yang sangat liberal membuat saya gagap ketika berada
di luar rumah. Sebagian teman perempuan saya dilarang oleh orang tuanya untuk
naik ke atas pohon, ataupun pulang sore. Saya sangat biasa bermain dan
menyebrangi sungai. Bermain dengan teman laki-laki, hingga saya terbentuk
hampir sepenuhnya menjadi remaja.
Saya
sangat risih bila ada pemilihan ketua kelas, dan kemudian para perempuan mundur
hanya karena mereka perempuan. Pemimpin kelas seharusnya adalah lelaki. Saya
kadang gemes melihat hal ini, bagi saya laki-laki dan perempuan bisa menjadi
pemimpin. Toh menjadi ketua kelas yang dibutuhkan adalah jiwa dan seni memimpin
bukan jenis kelamin. Dalam ranah yang lain, saya hampir menemukan hal demikian.
Ketika saya mengangkat jari maka yang lain akan lirik sana lirik sini, seolah
ada yang memang harus dipungkiri.
Memasuki
gerbang kuliah, pergulatan saya dengan diri saya sendiri semakin tak
terkendali. Kala itu, saya memiliki pacar dan kami sudah 3 tahun usia pacaran,
hubungan kami selalu baik-baik saja meski saya di Jogja dan dia kuliah di Solo.
Ketika saya mulai mengenal beberapa anak-anak komunitas gerakan atau pers
mahasiswa, mendapati dan membaca buku-buku kiri, membaca tempo, kompas, prisma,
disitulah saya menemukan diri saya. Saya mengalami de javu ketika membaca Tempo pertama kali saat umur 8 tahun. Saya
merasa kembali ke ruang yang lama saya
tinggalkan entah kemana. Saya mendapatkan teman diskusi dan di saat itu pula,
saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan saya dengan pacar saya tersebut,
karena saya membuat keputusan yang beresiko, untuk tidak lagi menjadi perempuan
yang umum, yang segeralah punya pacar, lulus dan menikahlah. Saya saat itu
takut, tetapi saya memutuskan untuk mengikuti hati nurani saya, ketimbang harus
mengkhianati. Saya harus melakukan sesuatu yang berbeda dan mengikuti langkah
saya sendiri.
Petualangan
itu akhirnya dimulai, saya mulai rajin menulis di beberapa koran, mengikuti
penelitian, diskusi-diskusi yang berujung di pagi hari. Saya menyukainya dan
menikmatinya. Saya sering menangis, membayangkan seandainya saya tidak
mengambil keputusan ini saat awal kuliah, mungkin saya tidak akan berada dalam
posisi bahagia seperti sekarang. Saya tahu kemana melangkah, menikmati liburan
akhir tahun dengan travelling ke kota-kota yang tidak pernah saya singgahi,
naik gunung dan mendengar cerita-cerita hidup dalam setiap jejakan kaki. Saya
merasa bahagia menemukan diri saya.
Pendewasaan
Proses
pendewasaan sangatlah menyakitkan meski kemudian banyak hikmah yang bisa saya
dapatkan dalam fase menjadi perempuan di gerbang usia 20 tahun. Hanya satu ritual
yang tak berubah, ketika saya dihadang kebimbangan menjadi dewasa, aku masih
mengucapkan doa-doa setiap membuka mataku di dunia. Saya ingin mengingatNya
sebelum yang lain dan menutup mataku menghadapNya dengan baik. Hanya itu
kekuatan yang aku gadang membimbingku selain kitab suci yang saya peluk saat
malam.
Hari
ini, tepat hidup saya menjadi rool coster dalam jangka 5 tahun lalu, setelah
saya memutuskan untuk menjadi tidak biasa. Pertemuan dan diskusi menjadi
makanan sehari-hari, tetapi saya merasa saya belum menemukan posisi politis
dimana saya berpijak, setelah berada dalam lingkaran fase pemikirian. Sampai
akhirnya, saya menemukannya di sebuah ruang kuliah awal, semester 3, jam 7
pagi. Saya ikut kuliah Gender. Saya hanya iseng kala memasukan mata kuliah itu
dalam kartu rencana studi saya, saya pernah mendengarnya. Pengajarnya adalah
perempuan dosen yang energik, cerdas, berusia lebih dari 50 tahun, tetapi punya
semangat luar biasa untuk tetap mengajar, ia guru pembimbing skripsi saya saat
ini.
Itu
hari pertama saya membuka buku feminist
thought karya Rosmarie Thong. Buku yang berisi aliran feminis dari berbagai
paham, dari liberal hingga radikal, dari marxis hingga psikoanalisis. Meski
terjemahan tak terlalu baik, tetapi dari sanalah untuk pertama saya menemukan apa yang saya cari selama ini, apa
yang kemudian membuat saya merasa sendiri, merasa berbeda, merasa kadang tak
sepaham dengan pandangan-pandangan yang meminggirkan saya selama ini, karena
saya berjenis kelamin perempuan.
Saya
membolak balik dan membaca buku itu, dari pagi sejak saya ikut kelas Gender
hingga malam. Saya merasa menemukan diri saya selama ini. Seolah menemukan peta
dimana saya harus berjalan. Menemukan semangat yang secara tidak sadar
diturunkan ibu dalam nilai-nilai feminis. Semangat feminis, untuk tidak hanya terjebak
dalam pandangan kesetaraan saja tetapi juga menjadikan dunia lebih adil untuk
siapapun, laki-laki, perempuan bahkan anak-anak.
Tetapi
fakta dalam buku, tak semudah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika
keluarga saya secara tidak langsung menurunkan sikap-sikap feminis, maka tidak
untuk teman-teman saya atau lingkungan sekitar saya. Saya banyak menemukan
kata-kata, sikap, yang sangat bias dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal
yang paling saya ingat, ketika saya bicara dengan seorang aktivis pro
demokrasi, yang kebetulan ia adalah seorang laki-laki dan juga membaca tentang
feminisme, berujar seperti ini
Ann, saya sangat
menghormati dan ingin perempuan berkembang dengan cita-citanya. Perempuan boleh
menjadi pilot, bisa menjadi professor, bisa meraih cita-citanya. Asalkan dia
bukan istri saya. Saya tak bisa membiarkan dia melebihi saya.
Sesuatu
yang membuat saya geleng-geleng dan paham bahwa ini tak akan mudah kedepan.
Ambiguitas ini hampir saya temukan dalam lingkungan saya sehari-hari. Saya
kemudian menjadi agak risih, seolah sendiri dalam sebuah dunia yang tidak aman.
Entahlah, kadang saya juga merasa frustasi pada masa itu. Saya bingung
menumpahkan dasar hidup saya yang sudah dididik secara feminis, dalam sebuah
kebudayaan dan lingkungan yang tidak bisa memahami pola berpikir saya.
Kadang
debat memang terjadi secara alot agar kita mau belajar. Proses saya menjadi
feminis tidaklah stagnan. Ia mengalami naik turun, tetapi hal yang paling saya
syukuri adalah saya merasa mendapatkan bekal yang lebih baik dan pijakan yang
lebih kuat, mengapa saya mengambil keputusan-keputusan politis dalam hidup saya.
Bermacam-macam
respon diperlihatkan orang ketika bertemu dengan saya, awalnya kebanyakan orang
akan takut dan merasa saya akan superior dan menggebu-ngebu atau menggebrak
meja memaki laki-laki. Hahahaha, itulah pandangan awal yang ada diimajinasi
saya ketika saya bilang kepada mereka feminis. Ya, perlu kalian pahami bahwa
kebanyakan feminis muda akan sangat frontal ketika pemikirannya diserang atau
dikritik, karena masih terbius pada pemikirannya yang memang kuat menentang
struktur yang timpang.
Saya
pernah mengalami fase itu, mungkin sekitar 2-3 tahun yang lalu, proses menjadi
feminis itu menyakitkan sekaligus menyenangkan tentu saja. Menyakitkan karena
merasa sendiri, senang karena ada pijakan untuk berbuat keputusan-keputusan
politis dengan otoritas penuh kesadaran. Dari proses ini saya paham, bagaimana
cara mengelola dan menerapkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan dalam
perilaku sehari-hari.
Feminis
mengambil praktek langsung dari disiplin ilmu saya sosiologi, untuk paham
tentang konteks sosial, struktur yang timpang dan mengapa hal ini
dilanggengkan. Saya paham melakukan perubahan dari diri sendiri. Bagaimana
sikap-sikap assertifitas selalu coba saya kedepankan untuk memahami pemikiran
lain, mengambil dan memahami pandangan yang ekstrim sekalipun, tidak antipati
pada pandangan yang berbeda, melawan sifat keras dan kasar dengan cinta kasih,
membumi, tetap selalu ingin tahu, menjadi pendengar yang baik untuk mereka yang
tak mau paham dan benci dengan pemikiran feminis sekalipun.
Dari
feminisme saya kemudian beranjak pada satu fase yang disebut kemanusiaan dan
menjadi pembelajar yang tak kenal lelah dalam hidup. Saya meyakini bahwa fase
dimana orang telah mengenal dan menyelami kemanusiaan adalah ketika ia tak
memandang perbedaan untuk manusia manapun. Bahasa yang ia gunakan membumi untuk
diterima siapapun, ia tak takut berhadapan dengan apapun, dan memandang wajah
Tuhan dengan senyuman.
Fase
inilah yang kini tengah saya rajut. Biarlah orang-orang mendebatkan tentang
mengapa feminisme, mengapa kamu menjadi feminis, bukankah kita (perempuan dan
laki-laki) baik-baik saja? Ini bisa saja merupakan dinamika pencarian tentang
kemapanan atau berujung pada kegelisahan mereka, akan hidup yang tak sepenuhnya
baik, kadang mengecewakan tetapi yang saya yakini, Tuhan tak pernah menyakiti
kita, hanya kita sendirilah yang menyakiti dalam ketidaksepahaman.
Kini
tak masalah ketika orang mendeskripsikan saya pada secarik kertas, cecaran
kata-kata, entah itu positif atau negatif. Saya sangat senang mendengarnya,
karena dari sana saya belajar, menjadi pendengar, pembelajar, dan menolak
bersikap kasar.
Setiap
orang adalah tempat belajar, setiap waktu adalah detik untuk menjadi
pembelajar, setiap langkah adalah wajah cinta kasih. Saya feminis, saya menolak
ketidakadilan dan melawannya dengan cinta kasih.
Salam
kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar