Betapa menyenangkannya bebas dan tidak terikat, ketika kau telah siap untuk terbang tinggi dan tak perlu takut lagi dengan kesedihan.
Sungguh, setelah kematian papa, aku sempat terjebak pada keinginan mendapatkan seorang lelaki pengganti papa. Saat papa pergi, aku sempat kehilangan dan kebingungan menumpahkan segala persoalanku. Dulu, saat papa masih hidup, tiap minggunya aku pulang dan menumpahkan semua uneg-unegku, berdua dengan papa sambil tiduran didepan TV atau kamar tidur. Setahun setelah kematian papa, aku hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kerinduan dan rasa ketergantungan, percaya bahwa papa akan pulang dan baik-baik saja. Tapi nyatanya, semua tak pernah terasa baik, papa tak pernah pulang dan aku frustasi.
Bisa kalian bayangkan, setahun lebih aku masih berharap papa akan pulang. Ini mempengaruhi interaksiku terhadap lawan jenis, yang berharap bisa menggantikan papa. Aku bisa bicara tentang papa, berkali-kali dalam sehari. Aku masih hidup dalam kenangan, yang aku simpan rapi tentang papa. Aku tak mau melepaskannya secara sukarela. Aku hanya ingin ia pulang dan hidup lagi. Aku menjadi sangat takut berada di kamar sendirian, aku selalu berusaha pulang malam atau berada ditengah keramaian, sampai aku merasa mengantuk. Pernah sekali waktu, aku harus berada di kamar sendiri dan itu membuatku menangis ketakutan, saat hujan dan merindukan papa. Ini benar-benar membuatku tersiksa tetapi aku tak mau percaya bahwa papa telah tiada. Aku selalu iri, melihat ada laki-laki paruh baya tengah makan berdua dengan anak perempuannya, atau sedang dijemput oleh papanya saat tengah pulang sekolah. Diam-diam, aku ingin seperti itu lalu menangis sepanjang perjalanan di dalam helm saat naik motor.
Diluar aku sangat bisa menutupi perasaanku untuk tak pernah kehilangan, terutama di depan ibu. Aku tak mau ia menangis dengan kondisiku yang sebenarnya sangat rapuh, ketika fase-fase penerimaan yang belum tuntas atas kematian papa. Aku memang hanya menangis sebentar kala aku melihat papa menarik nafas terakhir di ruang ICU. Aku lalu berjalan keluar, tanpa mau menyapa dan membeku duduk dipinggir kursi taman. Menatap langit senja ditemani tetesan air sisa hujan, aku paham bahwa hidup mungkin akan banyak berubah pasca ia pergi. Aku sendirian saat itu dan merasakan pahit yang luar biasa didalam ulu hatiku. Aku memberontak dan menangis pilu, selama kurang lebih 10 menit. Bertanya, kenapa hanya 22 tahun. Aku merasa Tuhan sangat jahat kepadaku. Aku berusaha membuat segalanya menjadi baik, tetapi karakterku yang keras kepala, telah mengubahku untuk menjadi anak perempuan yang tak percaya, bahwa papa akan pergi secepat ini, karena seminggu sebelumnya papa masih sehat di rumah.
Aku berada disamping peti matinya, dari malam sejak ia sampai di rumah, hingga akhir pemakamannya. Aku duduk di sampingnya, memandang wajahnya, mengusap pipinya, menciumnya dan berharap ia akan hidup lagi. Aku masuk pada fase kesedihan yang mendalam, tetapi tak pernah bicara. Aku hanya paham, papa akan menemani aku sampai kapan pun aku mau, tetapi bukan seperti ini. Saat dipemakaman, aku rasanya ingin masuk ke dalam peti bersamanya. Papa, aku tidak bisa hidup tanpa papa. Papa adalah kekuatanku untuk tersenyum, bahkan ketika hidup terasa getir dan tak ramah kepadaku. Aku menangis sejadi-jadinya didalam kamar papa setelah pulang dari pemakaman. Aku mengunci pintu kamar papa dan menciumi setiap jengkal pakaian yang ia punya.
Aku berada dalam fase ini selama kurang lebih sampai dua bulan yang lalu, semenjak kematian papa. Sangat sulit bagiku, kehilangan papa. Aku memang menghidupinya dalam setiap langkahku, dan tak mau melepaskan bahwa dia telah pergi. Aku menguraikanya dalam tulisanku, aku membayangkan ia dalam tiap dekapan doa dan mengucapkan rasa rindu lalu menangis seperti anak perempuan yang manja kepada ayahnya. Tetapi, disisi lain aku selalu menjadi kuat untuk berhadapan dengan dunia luar, fase setelah ayah pergi memang aku lebih menghidupi diriku untuk lebih tahan lagi terhadap pukulan-pukulan telak dalam hidup. Aku kemudian menjadi terbentuk menjadi sangat dingin dan lebih siap dengan segala konsekuensi terburuk dalam hidup. Aku mengabaikan perasaan afeksiku, aku harus kuat mandiri.
Namun,semuanya hancur berantakan, ketika aku melihat ibuku terbaring sakit dirumah sakit dan harus menungguinya sendirian. Aku kalah telak, aku hancur berantakan. Aku hanya bisa meratap kenapa ayah harus pergi secepat ini. Kalau ada ayah, aku tidak akan sendiri. Aku tidak akan merasa memegang berat ini sendiri.
Aku mulai berusaha menggapai untuk mencari sosok pengganti papa, aku berusaha siap untuk menerima laki-laki, tetapi semua juga berantakan. Aku tak mampu lagi menggapai tanda, tentang kasih. Karena aku terlampau dingin, untuk memulai lagi. Kurasa aku sudah terlampau gagal, tentang perasaan. Aku hanya mau terbuka dengan teman-teman yang memang dekat denganku. Sambil menikmati setiap pembelajar dan mendengar cerita-cerita dari teman-teman lain. Aku suka berteman, tetapi langsung sigap ketakutan untuk memulai hubungan, pernah aku memulai dan yang terjadi adalah, aku malah ketakutan sendiri, aku bingung dan kemudian lebih suka membangun tembok yang tinggi untuk melindungi hatiku, aku tak siap lagi sakit, trauma kepergian papa belum selesai. Aku tak mau gagal lagi. Aku urung diri.
Aku berusaha menghidupi diriku sendiri, dengan sebaik mungkin. Memang ada satu laki-laki, yang kini tinggal di Singapura yang pernah bertanya kepadaku, sampai kapan kamu akan menghidupi papa dan percaya bahwa papa akan kembali. Ya, aku dan dia berteman baik dan aku memang menjanjikan kepadanya untuk pindah ke Singapura, jika memungkinkan beberapa tahun ke depan, tetapi bukan karena alasan ia kini di Singapura, tetapi aku memang ingin hidup lebih sehat ketimbang harus di Jakarta. Aku sempat menemuinya , saat aku berlibur ke Singapura, kami bercakap cukup lama dan menganggapku punya kecenderungan tidak baik jika terus menerus dalam kondisi untuk tak kembali ke realitas, bahwa papa sudah pergi
Aku bicara dengannya, untuk menerima tawarannya memulai terapi psikologis, untuk melepaskan papa secara perlahan. Ia membantuku untuk menghubungkanku dengan teman psikolognya yang ada di Jakarta dan Yogyakarta. Ia berkata kepadaku, aku harus punya komitmen untuk menghilangkan fase duka cita dan membiarkan papa pergi. Ia paham, bahwa yang kubutuhkan adalah teman yang mendorongku secara seksama untuk memastikan bahwa aku harus baik. Aku memang hanya butuh didengarkan dengan kondisi ini. Ia sedih, saat setahun perginya papa ia pulang dari Singapura dan mendapati aku masih dalam kondisi yang tak berubah dari awal papa pergi. Ketika, kami bejalan di Orchard, hanya papa yang ku ceritakan pada setiap percakapanku dengannya. Kira-kira aku selalu membandingkan apapun dengan ucapan “Papaku juga seperti ini” atau “Dulu waktu papa masih ada”. Ya, aku mereproduksinya secara seksama dan secara sadar, karena aku takut kehilangan.
Sampai saat di Bandara Changi, ia bicara kepadaku “Ann, you must get up from your imagination. Dad passed away and you are a life, you must grow up and back to reality. You never be alone, you have a lot of friends, including me. Dan disaat itu aku mengangguk, ia berkata akan menemaniku melewati fase ini.
Saat kembali ke Indonesia, secara bersamaan aku bertemu dengan, Abang sahabat baik yang paham dengan kondisiku traumatik yang aku alami. Tanpa dalih, ia memarahiku saat aku bekerja hingga sangat larut, tanpa mau istirahat.
Setengah marah ia bilang “Ann, kamu bekerja keras kayak gini untuk siapa, untuk lari dari kenyataan bahwa papa telah pergi kan, kamu masih saja menolak kenyataan. Apa papa akan senang kamu kerja tanpa kena waktu, lalu sakit. Papa, pasti sedih melihatmu dalam kondisi seperti ini”
Tepat disaat ia berkata seperti itu pula, aku menangis tidak karuan dan tersedu sambil menutup wajahku. Aku memang selalu berusaha kuat tabah dan sigap ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, curhat dan diskusi kepadaku. Tetapi ketika abang menyadarkanku, bahwa papa sangat menderita pula dengan kondisiku yang tak pernah ikhlas membiarkannya pergi. Aku kalah telak, aku menganiaya diriku sendiri dengan menghidupi kenangan tentang kehilangan agar terjaga tanpa mau melihat kenyataan. Abang, membiarkan ku menangis sejadi-jadinya dan ia sangat paham dengan kondisiku.
Sesaat setelah ketemu abang, aku pulang, malam hari ditengah deras tangis didalam helm saat perjalanan pulang. Aku linglung dan menangis lagi dipinggir jalan. Aku berusaha agar percaya bahwa papa akan pulang, tetapi yang kudapati hanya angin dan hujan yang akan segera turun. Aku nekat pulang basah kuyup sambil menangis, aku mandi sambil menangis dan mengganti pakaianku. Lalu memulai meletakan tubuhku diatas kasur kamar, aku menarik nafas panjang, menutup mata, berusaha menghentikan tangisku. Aku melawan rasa takutku untuk berada dikamar sendirian. Aku mulai menuliskan papa dalam sebuah tulisan. Aku memulai untuk kembali ke realitas. Aku memulai art therapy dengan melukis, menulis, dan sedia notes kala aku mulai merasa merindukan papa, atas bantuan dari teman psikolog yang direkomendasikan temanku dari Singapura.
Dua bulan ini, aku merasakan perkembangan yang cukup signifikan untuk mulai kembali kepada realitas. Aku kadang masih merindukan papa, biasanya aku memutuskan diam, menutup mata, lalu membuka kelopak mataku sambil menghadap langit, lalu tersenyum dan meminta Tuhan agar memelukku.
Aku ingin hidup dalam kebahagiaan, setelah setahun lebih aku bergelut dengan diriku sendiri. Aku bergelut melawan rasa takutku kehilangan, kegagalan-kegagalanku memulai hubungan, mengolah rasa dan rasa takut berlebihan akan dikecewakan. Kini aku hadapi semua itu dengan rasa yang lebih dewasa. Aku merasa lebih baik. Malam ini, kala aku mengetik tulisan ini, ada email masuk dari Singapura. Ia menuliskan
Ann, kamu telah menjadi perempuan yang lebih kuat dan baik, telah lebih kuat dengan kegetiran dan siap kembali ke realitas bahwa, kini kamu sejatinya adalah perempuan mandiri yang bisa menentukan arah lajur hidupmu dengan bebas, tanpa rasa takut dan rentan. Kamu bebas dan berdaya, proud of you Ann.
Terima kasih kawan-kawan yang telah membantuku melewati fase ini,aku sendiri telah baik dan lebih tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar