Selasa, 16 Juli 2013

Perempuan 23 Tahun

Siapa bilang menjadi perempuan itu mudah?.
Saya perempuan 23 tahun. 
Kalau bukan karena ibu saya yang selalu menyemangati saya dari awal, mungkin pilihan berdiri diatas kaki sendiri tidak akan muncul sebagai bentuk keputusan politis, tetapi seberkas beban penghukuman akibat sok-sok-an menjadi perempuan kuat.

Saya perempuan 23 tahun.
Bukan, tetapi ini pilihan sebagai kesadaran, bukan buah dari paksaan. .Ada fase-fase kehidupan yang harusnya mengajarkan kita untuk bertanya secara lebih mendalam, kritis dan reflektif terhadap apapun. Karenanya kita menjadi tahu, dalam posisi apa kita melangkah dan “tahu” mengapa kita melangkah menggunakan kaki menganugrahkan.

Saya perempuan 23 tahun.
Di Jepang, jika kalian tahu, seorang perempuan yang memiliki jenjang karier yang tinggi akan memutuskan menikah atau berelasi dengan kekasihnya, dengan pertimbangan yang sangat matang. Resiko ekstrim yang lain, adalah tidak memutuskan menikah sama sekali. Para feminis Jepang, secara sosial akan sangat nyaman ketika memploklamirkan diri sebagai single parasite. 
Mengapa? Karena ibu akan selau menemani mereka dirumah karena takut anaknya melajang sendiri, ayah akan selalu menyayangi anaknya karena ia tetap tinggal di rumah kedua orang tuanya.  Secara sosial, mereka akan tetap berada dalam struktur masyarakat yang sedikit aman, karena lingkaran terdalam pelindung kekerasan simbolis yakni keluarga, membentengi perempuan dalam ruang yang aman.

Saya perempuan 23 tahun.
Kita hidup dalam ruang-ruang patriarkal, yang mencerabut rasa keadilan pada ranah kesadaran. Ruang-ruang kesadaran dibungkam secara paksa, tanpa pernah dikritisi dan dibongkar. Saya menjadi ingat, saya pernah dimarahi guru agama saya karena protes dengan isi ajaran agama yang mengatakan bahwa perempuan wajib berkerudung, saat saya duduk di kelas 3 SMP. Jika teman-teman sekelas saya mengangguk, saya mencoba mengambil jarak. Pertanyaan lucu muncul dikepala anak umur 14 tahun, kalau memang masuk surga harus antri memakai kerudung, celakalah orang miskin yang tak mampu beli kerudung di dunia dan harus masuk neraka ketika diakhirat. Keterlaluan sekali agamaku, sangat materialistis memasukan umatnya ke surga karena pakaiannya.

Saya perempuan 23 tahun.
Kerudung memiliki banyak implikasi psikologis, sosiologis dan politis daripada sekedar implikasi kerohanian. Bagi saya, perempuan usia 23 tahun, agama adalah pakaian yang difitrahkan. Orang berhak untuk memakai pakaian yang sesuai dengan ukurannya. Tentu, orang tidak akan nyaman memakai pakaian yang kedodoran atau kesempitan. Begitulah agama, ia mampu memberi rasa pas dalam setiap langkah kemanusiaan.

Saya perempuan 23 tahun.
Saya merasa kita selalu hidup dalam tanda. Tanda itu muncul dan mengidentifikasi diri kita dalam berbagai identitas. Tanda dilahirkan dari kontruksi atas kekuasaan yang dominan. Tanda membuat kita berbeda, tetapi ada sebagian yang ingin menyamaratakan tanda. Tanda adalah bagian dari klasifikasi, klasifikasi menghasilkan pembagian kelas, kelas akan menjadi arena pertarungan, ketika kekuasaan mencumbuinya.

Saya perempuan 23 tahun.
Sebentar saja, kita berhenti. Menarik nafas dan mengetahui dimana kita berdiri. Saya sendiri, merasa ngeri.
Sebagai perempuan 23 tahun, yang kini memiliki kekuasaan kecil, saya tak ingin mendominasi relasi kuasa.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan masih gagap membaca tanda-tanda.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan masih sangat bias dalam memandang keadilan.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan lupa jalan pulang.
Saya perempuan 23 tahun, islam, kelas menengah, berpikir bebas. Apa iya?
Saya perempuan 23 tahun, semoga tak menggangu kemerdekaan orang lain!

2 komentar:

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...