Saya perempuan 23 tahun.
Kalau
bukan karena ibu saya yang selalu menyemangati saya dari awal, mungkin pilihan
berdiri diatas kaki sendiri tidak akan muncul sebagai bentuk keputusan politis,
tetapi seberkas beban penghukuman akibat sok-sok-an menjadi perempuan kuat.
Saya perempuan 23 tahun.
Bukan,
tetapi ini pilihan sebagai kesadaran, bukan buah dari paksaan. .Ada fase-fase kehidupan
yang harusnya mengajarkan kita untuk bertanya secara lebih mendalam, kritis dan
reflektif terhadap apapun. Karenanya kita menjadi tahu, dalam posisi apa kita
melangkah dan “tahu” mengapa kita melangkah menggunakan kaki menganugrahkan.
Saya perempuan 23 tahun.
Di Jepang, jika kalian tahu, seorang perempuan yang
memiliki jenjang karier yang tinggi akan memutuskan menikah atau berelasi
dengan kekasihnya, dengan pertimbangan yang sangat matang. Resiko ekstrim yang
lain, adalah tidak memutuskan menikah sama sekali. Para feminis Jepang, secara
sosial akan sangat nyaman ketika memploklamirkan diri sebagai single parasite.
Mengapa? Karena ibu akan selau menemani mereka dirumah
karena takut anaknya melajang sendiri, ayah akan selalu menyayangi anaknya
karena ia tetap tinggal di rumah kedua orang tuanya. Secara sosial, mereka akan
tetap berada dalam struktur masyarakat yang sedikit aman, karena lingkaran
terdalam pelindung kekerasan simbolis yakni keluarga, membentengi perempuan
dalam ruang yang aman.
Saya perempuan 23 tahun.
Kita hidup dalam ruang-ruang patriarkal, yang mencerabut
rasa keadilan pada ranah kesadaran. Ruang-ruang kesadaran dibungkam secara
paksa, tanpa pernah dikritisi dan dibongkar. Saya menjadi ingat, saya pernah
dimarahi guru agama saya karena protes dengan isi ajaran agama yang mengatakan
bahwa perempuan wajib berkerudung, saat saya duduk di kelas 3 SMP. Jika
teman-teman sekelas saya mengangguk, saya mencoba mengambil jarak. Pertanyaan
lucu muncul dikepala anak umur 14 tahun, kalau memang masuk surga harus antri memakai
kerudung, celakalah orang miskin yang tak mampu beli kerudung di dunia dan
harus masuk neraka ketika diakhirat. Keterlaluan sekali agamaku, sangat
materialistis memasukan umatnya ke surga karena pakaiannya.
Saya perempuan 23 tahun.
Kerudung memiliki banyak implikasi psikologis, sosiologis
dan politis daripada sekedar implikasi kerohanian. Bagi saya, perempuan usia 23
tahun, agama adalah pakaian yang difitrahkan. Orang berhak untuk memakai
pakaian yang sesuai dengan ukurannya. Tentu, orang tidak akan nyaman memakai
pakaian yang kedodoran atau kesempitan. Begitulah agama, ia mampu memberi rasa
pas dalam setiap langkah kemanusiaan.
Saya perempuan 23 tahun.
Saya merasa kita selalu hidup dalam tanda. Tanda itu muncul
dan mengidentifikasi diri kita dalam berbagai identitas. Tanda dilahirkan dari
kontruksi atas kekuasaan yang dominan. Tanda membuat kita berbeda, tetapi ada
sebagian yang ingin menyamaratakan tanda. Tanda adalah bagian dari klasifikasi,
klasifikasi menghasilkan pembagian kelas, kelas akan menjadi arena pertarungan,
ketika kekuasaan mencumbuinya.
Saya perempuan 23 tahun.
Sebentar saja, kita berhenti. Menarik nafas dan mengetahui
dimana kita berdiri. Saya sendiri, merasa ngeri.
Sebagai perempuan 23 tahun, yang kini memiliki kekuasaan
kecil, saya tak ingin mendominasi relasi kuasa.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan masih gagap membaca
tanda-tanda.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan masih sangat bias
dalam memandang keadilan.
Saya perempuan 23 tahun, jangan-jangan lupa jalan pulang.
Saya perempuan 23 tahun, islam, kelas menengah, berpikir
bebas. Apa iya?
Saya perempuan 23 tahun, semoga tak menggangu kemerdekaan
orang lain!
Keren refleksimu, Ann.
BalasHapusLalu, mana refleksimu :)
BalasHapus