Tulisan ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Jogja, tanggal 10 Desember 2013.
Kasus SS, seorang kurator, dosen dengan bermacam penghargaan penulisan
puisi menjadi sorotan hangat berbagai media nasional. Bukan karena hasil karya
yang menghiasi dinding penghargaan, SS kini tengah disorot akibat dugaan kasus perkosaan
yang mengakibatkan seorang mahasiswi di Universitas Indonesia, berinisial RW yang mengalami kehamilan yang tidak
dikehendaki.
Kasus ini mulai mencuat, ketika RW melaporkan kasus dugaan perkosaan
yang dialaminya kepada kepolisian Polda Metro Jaya. Bagi para penggiat isu kekerasan
terhadap perempuan, kasus SS harusnya bisa menjadi alarm bagi semua
kalangan, bahwa kekerasan seksual baik dalam bentuk perkosaan, pelecehan
seksual, eksploitasi seksual dan bahkan berdampak pada kehamilan yang tidak
dikehendaki adalah realitas yang tidak bisa dibantah, yang bertanggung jawab
terhadap perilaku kekerasan adalah pelaku, dan jangan lagi menyalahkan korban.
Jika kita mau merawat ingatan, tentunya publik seharusnya tidak akan
lupa kasus kekerasan seksual yang pernah menjadi pembicaraan warga dunia, pada
kasus perkosaan berkelompok terhadap seorang gadis perempuan di India, yang
berujung pada kematian korban. Publik India kala itu marah, laki-laki dan
perempuan turun ke jalan dan bahkan mengecam tindakan salah satu pejabat, yang
mengatakan bahwa perkosaan terjadi karena perempuan tidak bisa menjaga cara
berpakaiannya.