Titik dimana kita tak tahu
lagi kemana kita akan melangkah, bukankah kejutan akan menempatkan dirinya
secara tak terduga.
Jujur inilah kebimbangan yang
kini menerpa. Kemana saya akan melangkahkan kaki saya, sebagai perempuan yang
akan beranjak ke usia 24 tahun. Barang kali, inilah cara Tuhan menempatkan saya
untuk sepenuhnya mengenal diri saya kembali. Setalah bertahun-tahun, saya
melalang buana dengan perjalanan dan asyik dengan setiap terpaan pemandangan.
Selama ini, saya adalah orang
yang paling malas untuk melakukan perjalanan pulang ke rumah, apalagi
sepeninggal papa. Perjalanan ini meski hanya menempuh jarak kurang lebih 60
kilometer dengan waktu tempuh satu setengah jam, tak selalu menimbulkan kesan
mendalam, seperti saat perjalanan-perjalanan lain yang membimbing kaki saya
untuk menjejakan kaki di tanah surganya.
Tapi kali ini saya benar-benar
ingin pulang, rasanya sangat rindu dengan rumah. Rasanya ingin kembali
menyiapkan diri untuk bangun di pagi hari dengan sarapan yang tersaji oleh kasih
sayang ibu. Rindu membaca di waktu luang, disaat saya bisa menikmati secangkir teh
hitam tanpa pernah merasa khawatir sama sekali dengan segala rutinitas. Belajar
kembali mengenali diri saya yang tercerabut dari akar, terutama saya rindu
tidur siang sambil mendengarkan lagu gamelan yang biasa ibu perdengarkan
ditengah lelapnya ia tidur siang. Atau ketika malam, saya setengah terlelap
sembari tersenyum mendengarkan alunan dalang mengumandangkan lelakon Pandawa
dan Kurawa. Saya benar-benar merindukan hal ini. Benar, kali ini rasanya ingin
saya pulang dan memeluk setiap bingkai kenangan yang saya ukir, semenjak 24
tahun yang lalu.
Saya memang anak perempuan
terakhir ibu yang mungkin lebih banyak menjadi pemberontak dan punya sejuta
alasan untuk beragumentasi kepada setiap orang yang berada di rumah. Saya
mengukir sejarah saya sendiri, dengan cara saya sendiri. Tak seorang pun yang
memahami bagaimana saya bertarung dan bertaruh dengan banyak kekecewaan, selain
bahwa saya adalah penulis dan pencetaknya. Bukan orang lain.
Ribuan kilometer, penerbangan
pesawat, tiket-tiket kereta telah saya hamburkan untuk mengetahui sejauh mana
saya tengah melangkah. Saya memutuskan untuk berhenti sejenak dari segala hiruk
pikuk realitas yang mungkin saya bentuk dan membentuk saya. Saya memutuskan
untuk menulis dan menikmati sejenak keheningan alam. Setahu saya, titik balik
saya berada dalam fase-fase seperti ini. Saya melepaskan semua yang saya miliki
dan mulai memperdulikan diri saya lagi, setidaknya mengenali bahwa saya juga
berhak menikmati tubuh, pikiran dan perasaan saya sendiri. Entahlah ini egois
atau bukan, tapi saya rindu untuk pergi kemana-mana sendiri dan pulang lagi ke
rumah, seperti saat saya menghabisakan waktu kecil saya dengan main hujan,
tanpa takut dan merasa tak nyaman.
Saya masih disini, tidak lari,
tidak pergi dan tidak berusaha untuk membela diri. Saya hanya ingin memelankan
ritme hidup, seperti culas si Senna, pembalap F1 yang kematiaanya berujung di
hamparan sirkuit Monaco. Kadang kita
harus memelankan ritme hidup kita, supaya kita tahu siapa sebenarnya diri kita
dan mengapa kita dalam posisi demikian.
Saya nampaknya dulu terlebih
banyak mengambil resiko dan keputusan untuk terlalu dini mengambil sesuatu.
Saya tidak ingin menyalahkan, tetapi inilah jalan yang saya tempuh sehingga
pada akhirnya saya paham siapa sebenarnya diri saya. Seharusnya kekecewaan,
kesedihan, kegembiraan dan rasa bahagia yang tiap episode ada didalamnya,
membuat saya tahu kemana sebenarnya saya mau mengayuh roda kehidupan saya,
sejujurnya terbesit rasa takut bagaimana jika saya merasa lelah dan sendiri.
Tetapi saya percaya, ditiap detik kegamangan yang dipenuhi oleh rasa emosi,
Tuhan menakar untuk memberikan penawar.
Saya harus kembali pulang
untuk menanyakan lagi posisi saya, sejauh apa sebenarnya saya kembali ingin
mengakar? Saya rindu rumah dalam keheningan sepi. Percikan minyak goreng dari
masakan ibu, suara deru mobil yang
dikendarai oleh Lek Man, suara motor Yahama 90an yang dikendarai oleh lek
Bancil, senyum dari mbak Rukini yang menyapa kala menyetrika baju-baju orang
rumah, dan orang-orang rumah yang menaungi saya dengan kehangatan. Keputusan
ini sudah bulat, saya ingin pulang. Saya ingin mendulang rasa keheningan untuk
menyembuhkan luka-luka saya dalam kedamaian..
Diantara secangkir kopi, 10
Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar