Selasa, 10 Desember 2013

Titik Nol

Titik dimana kita tak tahu lagi kemana kita akan melangkah, bukankah kejutan akan menempatkan dirinya secara tak terduga. 

Jujur inilah kebimbangan yang kini menerpa. Kemana saya akan melangkahkan kaki saya, sebagai perempuan yang akan beranjak ke usia 24 tahun. Barang kali, inilah cara Tuhan menempatkan saya untuk sepenuhnya mengenal diri saya kembali. Setalah bertahun-tahun, saya melalang buana dengan perjalanan dan asyik dengan setiap terpaan pemandangan.

Selama ini, saya adalah orang yang paling malas untuk melakukan perjalanan pulang ke rumah, apalagi sepeninggal papa. Perjalanan ini meski hanya menempuh jarak kurang lebih 60 kilometer dengan waktu tempuh satu setengah jam, tak selalu menimbulkan kesan mendalam, seperti saat perjalanan-perjalanan lain yang membimbing kaki saya untuk menjejakan kaki di tanah surganya.


Tapi kali ini saya benar-benar ingin pulang, rasanya sangat rindu dengan rumah. Rasanya ingin kembali menyiapkan diri untuk bangun di pagi hari dengan sarapan yang tersaji oleh kasih sayang ibu. Rindu membaca di waktu luang, disaat saya bisa menikmati secangkir teh hitam tanpa pernah merasa khawatir sama sekali dengan segala rutinitas. Belajar kembali mengenali diri saya yang tercerabut dari akar, terutama saya rindu tidur siang sambil mendengarkan lagu gamelan yang biasa ibu perdengarkan ditengah lelapnya ia tidur siang. Atau ketika malam, saya setengah terlelap sembari tersenyum mendengarkan alunan dalang mengumandangkan lelakon Pandawa dan Kurawa. Saya benar-benar merindukan hal ini. Benar, kali ini rasanya ingin saya pulang dan memeluk setiap bingkai kenangan yang saya ukir, semenjak 24 tahun yang lalu.

Saya memang anak perempuan terakhir ibu yang mungkin lebih banyak menjadi pemberontak dan punya sejuta alasan untuk beragumentasi kepada setiap orang yang berada di rumah. Saya mengukir sejarah saya sendiri, dengan cara saya sendiri. Tak seorang pun yang memahami bagaimana saya bertarung dan bertaruh dengan banyak kekecewaan, selain bahwa saya adalah penulis dan pencetaknya. Bukan orang lain.

Ribuan kilometer, penerbangan pesawat, tiket-tiket kereta telah saya hamburkan untuk mengetahui sejauh mana saya tengah melangkah. Saya memutuskan untuk berhenti sejenak dari segala hiruk pikuk realitas yang mungkin saya bentuk dan membentuk saya. Saya memutuskan untuk menulis dan menikmati sejenak keheningan alam. Setahu saya, titik balik saya berada dalam fase-fase seperti ini. Saya melepaskan semua yang saya miliki dan mulai memperdulikan diri saya lagi, setidaknya mengenali bahwa saya juga berhak menikmati tubuh, pikiran dan perasaan saya sendiri. Entahlah ini egois atau bukan, tapi saya rindu untuk pergi kemana-mana sendiri dan pulang lagi ke rumah, seperti saat saya menghabisakan waktu kecil saya dengan main hujan, tanpa takut dan merasa tak nyaman.

Saya masih disini, tidak lari, tidak pergi dan tidak berusaha untuk membela diri. Saya hanya ingin memelankan ritme hidup, seperti culas si Senna, pembalap F1 yang kematiaanya berujung di hamparan sirkuit Monaco.  Kadang kita harus memelankan ritme hidup kita, supaya kita tahu siapa sebenarnya diri kita dan mengapa kita dalam posisi demikian.

Saya nampaknya dulu terlebih banyak mengambil resiko dan keputusan untuk terlalu dini mengambil sesuatu. Saya tidak ingin menyalahkan, tetapi inilah jalan yang saya tempuh sehingga pada akhirnya saya paham siapa sebenarnya diri saya. Seharusnya kekecewaan, kesedihan, kegembiraan dan rasa bahagia yang tiap episode ada didalamnya, membuat saya tahu kemana sebenarnya saya mau mengayuh roda kehidupan saya, sejujurnya terbesit rasa takut bagaimana jika saya merasa lelah dan sendiri. Tetapi saya percaya, ditiap detik kegamangan yang dipenuhi oleh rasa emosi, Tuhan menakar untuk memberikan penawar.

Saya harus kembali pulang untuk menanyakan lagi posisi saya, sejauh apa sebenarnya saya kembali ingin mengakar? Saya rindu rumah dalam keheningan sepi. Percikan minyak goreng dari masakan  ibu, suara deru mobil yang dikendarai oleh Lek Man, suara motor Yahama 90an yang dikendarai oleh lek Bancil, senyum dari mbak Rukini yang menyapa kala menyetrika baju-baju orang rumah, dan orang-orang rumah yang menaungi saya dengan kehangatan. Keputusan ini sudah bulat, saya ingin pulang. Saya ingin mendulang rasa keheningan untuk menyembuhkan luka-luka saya dalam kedamaian..

Diantara secangkir kopi, 10 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...