Tulisan ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Jogja, tanggal 10 Desember 2013.
Kasus SS, seorang kurator, dosen dengan bermacam penghargaan penulisan
puisi menjadi sorotan hangat berbagai media nasional. Bukan karena hasil karya
yang menghiasi dinding penghargaan, SS kini tengah disorot akibat dugaan kasus perkosaan
yang mengakibatkan seorang mahasiswi di Universitas Indonesia, berinisial RW yang mengalami kehamilan yang tidak
dikehendaki.
Kasus ini mulai mencuat, ketika RW melaporkan kasus dugaan perkosaan
yang dialaminya kepada kepolisian Polda Metro Jaya. Bagi para penggiat isu kekerasan
terhadap perempuan, kasus SS harusnya bisa menjadi alarm bagi semua
kalangan, bahwa kekerasan seksual baik dalam bentuk perkosaan, pelecehan
seksual, eksploitasi seksual dan bahkan berdampak pada kehamilan yang tidak
dikehendaki adalah realitas yang tidak bisa dibantah, yang bertanggung jawab
terhadap perilaku kekerasan adalah pelaku, dan jangan lagi menyalahkan korban.
Jika kita mau merawat ingatan, tentunya publik seharusnya tidak akan
lupa kasus kekerasan seksual yang pernah menjadi pembicaraan warga dunia, pada
kasus perkosaan berkelompok terhadap seorang gadis perempuan di India, yang
berujung pada kematian korban. Publik India kala itu marah, laki-laki dan
perempuan turun ke jalan dan bahkan mengecam tindakan salah satu pejabat, yang
mengatakan bahwa perkosaan terjadi karena perempuan tidak bisa menjaga cara
berpakaiannya.
Di Indonesia, catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan
menyebutkan sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan
seksual setiap harinya. Pada
tahun 2012 saja, tercatat 4.336
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Empat jenis kekerasan yang paling
banyak ditangani adalah perkosaan dan pencabulan (1620),
percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan trafiking untuk tujuan
seksual (403). Ironisnya,
merangkaknya kekerasan seksual masih diperburuk dengan penyalahan terhadap korban dalam kerangka moralitas.
Sesat pikir yang selama ini muncul
adalah bahwa penyebab kekerasan selalu distigmakan kepada korban perempuan.
Padahal akar kekerasan berasal dari relasi yang tidak setara. Pelaku kekerasan
adalah seseorang yang menyalahgunakan kekuasaan (power over) yang ia miliki, untuk mendominasi atau melakukan
tekanan, intimidasi atau bahkan kekerasan terhadap korban yang lemah (powerless). Maka jelas, bahwa pelaku
kekerasan harus bertanggung jawab penuh atas perilaku kekerasannya secara hukum
dan korban adalah pihak yang dirugikan dan wajib dilindungi hak-haknya, baik melalui
pendampingan hukum, penguatan
psikososial maupun medis terhadapnya.
Rifka Annisa sebagai lembaga layanan pendampingan
korban perempuan di Yogyakarta mencatat, bahwa kasus kekerasan seksual adalah
perenggutan hak perempuan atas tubuhnya, dampak trauma kekerasan bisa dibawa
seumur hidup dan penangannya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Data ini diperkuat
dari temuan Rifka Annisa bahwa jumlah kekerasan seksual, berupa perkosaan pada
tahun 2012 di DIY mencapai 29 kasus, menempati posisi kedua terbesar setelah
kekerasan terhadap istri sebanyak 226 kasus, melebih kasus kekerasan dalam pacaran
yang tiap tahunnya berada diposisi kedua sebanyak 28 kasus, maupun kasus kekerasan
dalam keluarga sebanyak 11 kasus dan
pelecehan seksual sebanyak 9 kasus.
Hal lain yang perlu diingat adalah bagaimana
masyarakat menanggapi kasus kekerasan seksual? Selalu muncul stigma terhadap
korban, karena tidak mampu menjaga dirinya dalam kerangka moralitas. Lalu
dimana posisi laki-laki dalam konteks ini? Laki-Laki selama ini cenderung permisif (diam diri) ketika
menemukan kasus kekerasan, karena laki-laki merasa selalu disalahkan sebagai penyebab kekerasan. Padahal faktnya hanya
sebagian kecil dari mereka yang menjadi pelaku, sebagian yang lain cenderung permisif
terhadap kekerasan. Di Indonesia, munculnya Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) yang
menggalakan dukungan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan adalah titik
penting penyadaran publik sekaligus mengenalkan nilai-nilai kesetaraan dan
tidak boleh lagi laki-laki dan masyarakat hanya diam.
Mungkin ditengah hingar bingar 16 Hari Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November-10 Desember), RW dan korban-korban lain
kini tengah bertanya ulang, apakah negara masih akan diam atas kasus yang
mereka alami atau menyelesaikan kasus mereka satu per satu ? Tapi yang jelas,
saya yakin, mereka tak bisa lagi
menunggu lagi, mereka wajib dibela dan dilindungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar