Rabu, 11 Desember 2013

Kekerasan Seksual : Korban Wajib Dibela

Tulisan ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Jogja, tanggal 10 Desember 2013.

Kasus SS, seorang kurator, dosen dengan bermacam penghargaan penulisan puisi menjadi sorotan hangat berbagai media nasional. Bukan karena hasil karya yang menghiasi dinding penghargaan, SS kini tengah disorot akibat dugaan kasus perkosaan yang mengakibatkan seorang mahasiswi di Universitas Indonesia, berinisial RW  yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki.

Kasus ini mulai mencuat, ketika RW melaporkan kasus dugaan perkosaan yang dialaminya kepada kepolisian Polda Metro Jaya. Bagi para penggiat isu kekerasan terhadap perempuan,  kasus SS  harusnya bisa menjadi alarm bagi semua kalangan, bahwa kekerasan seksual baik dalam bentuk perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan bahkan berdampak pada kehamilan yang tidak dikehendaki adalah realitas yang tidak bisa dibantah, yang bertanggung jawab terhadap perilaku kekerasan adalah pelaku, dan jangan lagi menyalahkan korban.

Jika kita mau merawat ingatan, tentunya publik seharusnya tidak akan lupa kasus kekerasan seksual yang pernah menjadi pembicaraan warga dunia, pada kasus perkosaan berkelompok terhadap seorang gadis perempuan di India, yang berujung pada kematian korban. Publik India kala itu marah, laki-laki dan perempuan turun ke jalan dan bahkan mengecam tindakan salah satu pejabat, yang mengatakan bahwa perkosaan terjadi karena perempuan tidak bisa menjaga cara berpakaiannya.


Di Indonesia, catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan menyebutkan sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012 saja, tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Empat jenis kekerasan yang paling banyak ditangani adalah perkosaan dan pencabulan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan trafiking untuk tujuan seksual (403). Ironisnya, merangkaknya kekerasan seksual masih diperburuk dengan penyalahan  terhadap korban dalam kerangka moralitas.

Sesat pikir yang selama ini muncul adalah bahwa penyebab kekerasan selalu distigmakan kepada korban perempuan. Padahal akar kekerasan berasal dari relasi yang tidak setara. Pelaku kekerasan adalah seseorang yang menyalahgunakan kekuasaan (power over) yang ia miliki, untuk mendominasi atau melakukan tekanan, intimidasi atau bahkan kekerasan terhadap korban yang lemah (powerless). Maka jelas, bahwa pelaku kekerasan harus bertanggung jawab penuh atas perilaku kekerasannya secara hukum dan korban adalah pihak yang dirugikan dan wajib dilindungi hak-haknya, baik melalui pendampingan hukum,  penguatan psikososial maupun medis terhadapnya.

Rifka Annisa sebagai lembaga layanan pendampingan korban perempuan di Yogyakarta mencatat, bahwa kasus kekerasan seksual adalah perenggutan hak perempuan atas tubuhnya, dampak trauma kekerasan bisa dibawa seumur hidup dan penangannya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Data ini diperkuat dari temuan Rifka Annisa bahwa jumlah kekerasan seksual, berupa perkosaan pada tahun 2012 di DIY mencapai 29 kasus, menempati posisi kedua terbesar setelah kekerasan terhadap istri sebanyak 226 kasus, melebih kasus kekerasan dalam pacaran yang tiap tahunnya berada diposisi kedua sebanyak 28 kasus, maupun kasus kekerasan dalam keluarga sebanyak  11 kasus dan pelecehan seksual sebanyak 9 kasus.

Hal lain yang perlu diingat adalah bagaimana masyarakat menanggapi kasus kekerasan seksual? Selalu muncul stigma terhadap korban, karena tidak mampu menjaga dirinya dalam kerangka moralitas. Lalu dimana posisi laki-laki dalam konteks ini? Laki-Laki  selama ini cenderung permisif (diam diri) ketika menemukan kasus kekerasan, karena laki-laki merasa selalu disalahkan sebagai  penyebab kekerasan. Padahal faktnya hanya sebagian kecil dari mereka yang menjadi pelaku, sebagian yang lain cenderung permisif terhadap kekerasan. Di Indonesia, munculnya Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) yang menggalakan dukungan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan adalah titik penting penyadaran publik sekaligus mengenalkan nilai-nilai kesetaraan dan tidak boleh lagi laki-laki dan masyarakat hanya diam. 


Mungkin ditengah hingar bingar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November-10 Desember), RW dan korban-korban lain kini tengah bertanya ulang, apakah negara masih akan diam atas kasus yang mereka alami atau menyelesaikan kasus mereka satu per satu ? Tapi yang jelas, saya yakin,  mereka tak bisa lagi menunggu lagi, mereka wajib dibela dan dilindungi.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...