Ia laki-laki baik yang saya
temui, sebelumnya kami berteman akrab. Perkenalan kami dimulai dari jejaring
sosial media, setelah saya mengenalnya dari tulisan yang sempat ia guratkan di
sebuah jurnal. Saya tidak pernah kepikiran untuk menjadi bagian terpenting
dalam hidupnya, tapi dimana pun dan kapanpun saya memang selalu menaruh rasa
hormat pada sosok laki-laki yang mampu menjadi teman, sahabat dan menempatkan
diri dalam kadar kedewasaan dalam berorganisasi maupun kehidupan.
Sejak awal kuliah, saya sangat
suka membaca Hok Gie dan Kasino. Laki-laki pertama, saya temui lewat Catatan
Seorang Demonstran. Gie menampakan dirinya kepada saya dalam wujud yang cukup
culas namun misterius. Gie menerbangkan imajinasi saya pada sosok yang tak
perlu ragu untuk tak dikenang, tentang mencintai buku, cinta dan pesta. Meski
saya merevisinya menjadi buku, cinta dan kopi. Gie mengingatkan saya untuk
selalu berdamai dan kembali menikmati alam, kala tubuh mulai enggan dan sulit
untuk berkoordinasi dengan pikiran. Letakanlah beban dan lara dalam perjalanan,
disana akan kau temui berbagai sudut pandang dan saat pulang, kau akan kaya. Ia
bagai kamus berjalan, sejatinya saya selalu menyukai pemikiran laki-laki yang
cerdas bukan hanya intelektual, tetapi juga tentang hidup dan memanusiakan.
Laki-laki kedua yang membuat
saya selalu merasa betah adalah melihat akting dari salah satu personil Warkop
DKI, Kasino. Bagi saya ia menggambarkan imajinasi saya tentang bagaimana
menebar senyum dan menertawakan hidup. Saya tahu, Kasino adalah laki-laki
humoris nan cerdas. Ia menerbangkan pikiran-pikiran saya pada sosok yang memang
harus menyukai segala pahit getir hidup dengan kata “Gila Lu Ndro”.
Hahahahahha, jika ia masih ada, mungkin ia bisa tertawa saya memandang wajahnya
tiap kali memutar film Warkop dengan muka gemas dan lucu. Kalau banyak
perempuan histeris karena melihat Boyband Korea, saya bisa teriak sambil
kegirangan bila melihat Kasino, sekedar nongol jam 1 malam di salah satu
stasiun TV atau hanya iklan Warkop. Bagi saya, Kasino meninggalkan banyak jejak
bagaimana nantinya saya akan memilih pasangan atau partner hidup saya.
Banyak laki-laki yang bersliweran dalam hidup saya, sekedar
datang menyambangi menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi orang spesial, atau
menjadi pelengkap dalam hidup saya.
Kalau ada yang bilang mengatakan saya playgirl, saya katakan tidak. Karena saya punya pandangan, bahwa
saya tidak akan mengikatkan hubungan dengan laki-laki jika saya ataupun
laki-laki tersebut masih berada dalam ikatan dengan orang lain. Saya tidak
pernah bermain-main dengan perasaan dan selalu memastikan jika memang tidak ada
kepastiaan hubungan, maka saya yang biasanya mengatur ritme dan logika saya
untuk menjadikan laki-laki tersebut sebagai sahabat saya.
Mungkin saya perempuan yang
cenderung bisa menempatkan mereka yang pernah mengisi tempat yang baik di hati
saya sebagai sahabat. Sebagian besar dari mereka, kini menjadi sahabat baik
saya, teman terbaik dalam hidup, meski sebagian yang lain cenderung tidak.
Mereka menjauh tanpa kendali dan saya tak tahu pasti, mengapa seperti itu.
Mungkin mereka kecewa, tetapi saya anggap kekecewaan adalah obat mujarab untuk
menekankan diri kita dan jiwa kita, bahwa kita masih punya perasaan untuk tidak
mengulangi rasa sakit lagi. Bisa jadi rasa sakit itu, berasal dari saya. Dan
disini saya sepenuhnya meminta maaf jika memang itu masih sulit termaafkan.
Oke, baiklah. Saya ingin
menutup lembar itu. Karena saya ingin membuka lembaran baru. Ia sahabat baik
saya, (setelah 2 tahun itu). Kami memulai hubungan kami dari
percakapan-percakapan ringan di sebuah jejaring sosial media, biasa. Klise
karena ia hanya menanyakan dimana saya tinggal dan kebetulan ia tinggal disatu
daerah yang sama dengan saya. Well, baiklah. Perkenalan awal tak ada kesan
apa-apa. Selain saya menganggap cowok ini tukang spionase dan kepo!
Selanjutnya, saya memutuskan
menghubunginya karena saya membutuhkan dia secara professional untuk membantu
pekerjaan-pekerjaan saya. Hubungan kami professional dan ia baik saat bekerja
sama. Dari hubungan inilah kami saling mengenal, pekerjaan-pekerjaan
mengenalkan kami satu sama lain. Saya menghormatinya sebagai partner kerja dan
tanpa pretensi apapun. Terlebih saya terikat hubungan dengan orang lain begitu
pula dengannya yang sudah bertahun-tahun memiliki pasangan. Meski kemudian,
hubungan saya dengan partner saya waktu itu
tidak berlanjut dan saya selalu yakin ia memegang teguh komitmen dengan
partnernya. Hubungan persahabatan saya dengannya adalah hal yang terbaik yang
akhirnya saya syukuri hingga menjadi bagian terpenting yang membentuk relasi
kami berdua setelahnya.
Kami berdua suka berdiskusi
dan berbicara tentang hidup sampai tengah malam hingga pagi hari. Ia laki-laki
yang sangat tenang dan membuat saya nyaman, tanpa pernah berpikir bahwa saya
akan memilikinya kelak, suatu saat. Sebagian dari diri saya pada masa itu,
tetap memegang prinsip bahwa saya mungkin tidak akan menikah sama sekali. Ia
tahu, saya masih belum mau merevisi apapun soal pernikahan ataupun pasangan.
Meski ia tahu saya dekat dengan beberapa laki-laki, saya selalu bilang
kepadanya, saya tidak akan memulai komitmen dengan siapapun, kecuali jika
laki-laki itu mau berproses dengan saya sebagai seorang sahabat. Bukan tiba-tiba
mendatangi saya untuk menjadikan saya pacar atau dengan heroik melamar saya di
depan ibu saya, karena dari yang saya sebutkan terakhir, ada laki-laki yang
datang dan melamar melalui ibu saya, bukan lewat saya. Meski ibu akhirnya
menyerahkan sepenuhnya kepada saya, saya tetap teguh untuk melajang sampai
batas waktu yang saya sendiri tidak tahu kapan berakhirnya.
Ia selalu mengungkapkan kepada
saya bagaimana ia membangun konsep tumbuh ketika menjalin relasi. Ia memang
tipe laki-laki yang mau pasanganya stagnan, alias tidak bergerak sama sekali.
Ia mungkin laki-laki yang suka dengan perempuan yang percaya diri dengan
dirinya. Bagi saya itu poin yang baik, setidaknya masih ada spesies laki-laki
didunia ini yang mengizinkan perempuan tumbuh, mencapai pencapaian maksimal
dalam dirinya sebagai perempuan. Saya katakan langka, karena ia sebenarnya
memiliki bentuk perilaku yang kurang lebih sama dengan bapak saya, ketika
membebaskan ibu untuk berkembang, mencapai pencapaian maksimal sebagai perempuan
bahkan setelah ia menikah.
Saya tidak pernah bertanya mengenai hubungan-hubungan yang ia bangun lebih jauh. Ia memang cenderung tidak ingin membukanya, berbeda dengan saya yang suka menceritakan kisah-kisah saya yang berakhir berantakan atau konflik-konflik yang saya bangun dengan ibu saya, terlebih saat saya dinasehati ibu saya untuk menikah, karena ibu sempat ketakutan kalau saya tidak akan menikah sama sekali. Hal itu saya ceritakan kepadanya dan respon yang ia lakukan adalah tertawa. Ia meyakinkan bahwa menikah tidak seburuk yang saya bayangkan dan saya biasa menampiknya dengan mengatakan bahwa itu konyol.Saya tetap berada dalam pendirian saya untuk mempecayai bahwa pernikahan itu kebutuhan bukan karena kewajiban yang kemudian membuat orang bisa semena-mena terhadap pernikahan karena tidak siap menerima konsekuensi tanggung jawab dari sebuah kewajiban. Terlebih saya berada di lembaga perempuan, yang mendampingi perempuan korban kekerasan. Bertambahlah akut pandangan saya, meski ia hanya tersenyum jika kami berdua membahas tentang pernikahan. Entah modusnya atau bukan, beberapa bulan kemudian saya ketahui hubungannya kandas, ia sering mengobrolkan pernikahan kepada saya. Meski saya menampiknya sama sekali. Hubungan kami tetap relatif dekat dan baik, tapi ia masih saja menutupi dirinya bahwa sedang dalam persoalan. Mungkin bukan persoalan, lebih tepatnya ia bisa mengatur semua dengan bijak, sampai akhirnya mengatakan yang sebenarnya terjadi kepada dirinya, menutupinya selama berbulan-bulan dan mengatakan bahwa memang ia baik-baik saja kepada saya bahwa ia sudah sendirian.
Pengakuan bahwa ia sendirian.
Kala itu, ia sedang disamping saya menyesap kopi, sama seperti saya yang tengah
menikmati kopi Gayo.
A : “ Kapan kamu menikah?
Jangan bilang segera ya, ini bukan lagi sinetron?” tanyaku
R : “Aku baru saja selesai”
jawabnya
A : “Oh, memang sih terkadang
apa yang kita yakini bisa membalik 180 derajat dalam waktu sekejap. Tapi aku
yakin kamu bisa mendapatkan yang terbaik, aku selalu mendokanmu tentu saja. Apa
kamu patah hati?”
R : Ya awalnya, tapi kemudian
kupikir aku tak perlu patah hati karena yang namanya rasa sayang, cinta, welas
asih semuanya berasal dariNya, jika memang rasa itu diambil olehNya, ya mau apa.
Jadi dalam kamus saya, tidak ada kata patah hati, toh yang berhak mengambil
rasa itu bukan saya, dia ataupun orang lain, tapi dariNya”
A : “Weeeitzz, wise sekali kamu.”
R : “ Iyalah” sembari tersenyum..
A : “tertawa”
Perjalanan pulang pukul 1 malam.
Saya masuk ke kamar saya, ada berkali-kali panggilan telepon dari 2 nomor yang
berbeda, di android maupun di blackberry yang kebetulan mati ketika saya tengah
ngopi dengannya. Saya mencoba mengubungi dua nomor tersebut, ternyata di B
dan C. Mereka bedua teman baik saya
juga. Saya menanyakan kenapa, dan dua-duanya menjawab secara bersamaan, mereka
melamar saya secara personal. Sontak,
saya shock, ditengah mau terlelap, dua laki-laki menanyakan hal yang sama
kepada saya dan saya kebingungan. Dan orang pertama yang saya hubungi tentang
lamaran ini adalah dia. Saya bilang kepadanya, kalau saya dilamar laki-laki. Ia
bilang terima saja, saya bilang saya takut lalu ia menjawab hal yang membuat
saya terperanjat “Ketakutan hanya memperpanjang PERBUDAKAN”. Oke, tapi saya
bilang, saya sudah takut karena saya sudah kehilangan seseorang yang paling saya
cintai didunia ini, aku butuh teman bukan orang yang tiba-tiba melamarku, tanpa
ia pernah tahu bagaimana diriku.
Esoknya, aku memutuskan
bertemu dengannya lagi. Sore hari sambil ngeteh berdua, saya katakan kepadanya
bahwa saya masih pada pendirian saya. Saya takut menikah dan saya tidak ingin
diri saya tidak bisa bebas lagi setelah menikah. Ia kemudian memulai percakapan
lagi, tentang konsep menikah, tentang buku nikah dengan stempel menikah
didalamnya. Saya mulai terbawa, tetapi sekali lagi, rasio saya menjawab jangan
sampai saya terbawa apapun dari diri laki-laki ini. Ia tetap sahabat saya,
kakak dan teman yang terbaik yang saya miliki.
Malam, sehabis makan malam.
Kami mengobrol hingga larut malam. Ketika saya mau tertidur di kamar, ia
mengirimkan sms kepada saya.
R : “Nduk udah tidur”
A : “Belum, kenapa?”
R : “ Nikah yuk?”
A : “Ini serius?”
R : “Aku nampak tak serius pow
#gagalserius”
A : “Kan melamar lewat SMS
beda sama langsung”
R : “Halah, paling kamu juga
bilang emoh dan akan bilang rekor dalam dua hari melamar beberapa lamaran
laki-laki”
A : “Hmmmm, aku mau”
R : “Kamu jangan kesambet
malam-malam”
A : “Lho aku serius”
R : “Kita kudu ketemu”
A : “Baiklah, ayo kita ngobrol
lagi”
Saya ingin mengatakan, proses
mengatakan iya ternyata sangat mudah terhadapnya. Saya tak lagi memikirkan
apa-apa untuk menerimanya, saya tak punya alasan-alasan mengapa saya
mencintainya, saya pun tak punya rujukan teknis dan definisi operasional
mengapa akhirnya saya memilihnya.
Mungkin benar yang dikatakannya, rasa welas
asih, cinta kasih, sayang semuanya dariNya, kita tak punya kuasa untuk menolaknya.
Ini ajaib, saya bahkan bisa mengatakan yakin tanpa berpikir panjang
Sampai sekarang kalau ditanya mengapa saya berani memutuskan untuk menerimanya, saya mengalami kebingungan. Karena jika saya terjebak pada hal-hal teknis untuk mencintainya, cinta ini akan berubah dan pudar ketika hal-hal teknis itu terlepas dari dirinya. Saya menikmati hubungan ini.
Jika boleh saya berdoa Tuhan,
jika memang kami berjodoh maka jodoh kami tak kan terhenti jika kami mati,
jodohkan kami bahkan saat kami sudah meninggal dan bertemu denganMu disana.
I love you, my dear. My best friend, my real partner, tentang buku-buku dan kopi yang menemani setiap waktu perjalanan persahabatan dan cinta kita…
I love you, my dear. My best friend, my real partner, tentang buku-buku dan kopi yang menemani setiap waktu perjalanan persahabatan dan cinta kita…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar