Selasa, 10 Desember 2013

Real Partner

Ia laki-laki baik yang saya temui, sebelumnya kami berteman akrab. Perkenalan kami dimulai dari jejaring sosial media, setelah saya mengenalnya dari tulisan yang sempat ia guratkan di sebuah jurnal. Saya tidak pernah kepikiran untuk menjadi bagian terpenting dalam hidupnya, tapi dimana pun dan kapanpun saya memang selalu menaruh rasa hormat pada sosok laki-laki yang mampu menjadi teman, sahabat dan menempatkan diri dalam kadar kedewasaan dalam berorganisasi maupun kehidupan.

Sejak awal kuliah, saya sangat suka membaca Hok Gie dan Kasino. Laki-laki pertama, saya temui lewat Catatan Seorang Demonstran. Gie menampakan dirinya kepada saya dalam wujud yang cukup culas namun misterius. Gie menerbangkan imajinasi saya pada sosok yang tak perlu ragu untuk tak dikenang, tentang mencintai buku, cinta dan pesta. Meski saya merevisinya menjadi buku, cinta dan kopi. Gie mengingatkan saya untuk selalu berdamai dan kembali menikmati alam, kala tubuh mulai enggan dan sulit untuk berkoordinasi dengan pikiran. Letakanlah beban dan lara dalam perjalanan, disana akan kau temui berbagai sudut pandang dan saat pulang, kau akan kaya. Ia bagai kamus berjalan, sejatinya saya selalu menyukai pemikiran laki-laki yang cerdas bukan hanya intelektual, tetapi juga tentang hidup dan memanusiakan.


Laki-laki kedua yang membuat saya selalu merasa betah adalah melihat akting dari salah satu personil Warkop DKI, Kasino. Bagi saya ia menggambarkan imajinasi saya tentang bagaimana menebar senyum dan menertawakan hidup. Saya tahu, Kasino adalah laki-laki humoris nan cerdas. Ia menerbangkan pikiran-pikiran saya pada sosok yang memang harus menyukai segala pahit getir hidup dengan kata “Gila Lu Ndro”. Hahahahahha, jika ia masih ada, mungkin ia bisa tertawa saya memandang wajahnya tiap kali memutar film Warkop dengan muka gemas dan lucu. Kalau banyak perempuan histeris karena melihat Boyband Korea, saya bisa teriak sambil kegirangan bila melihat Kasino, sekedar nongol jam 1 malam di salah satu stasiun TV atau hanya iklan Warkop. Bagi saya, Kasino meninggalkan banyak jejak bagaimana nantinya saya akan memilih pasangan atau partner hidup saya.

Banyak laki-laki yang bersliweran dalam hidup saya, sekedar datang menyambangi menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi orang spesial, atau menjadi pelengkap dalam hidup saya.  Kalau ada yang bilang mengatakan saya playgirl, saya katakan tidak. Karena saya punya pandangan, bahwa saya tidak akan mengikatkan hubungan dengan laki-laki jika saya ataupun laki-laki tersebut masih berada dalam ikatan dengan orang lain. Saya tidak pernah bermain-main dengan perasaan dan selalu memastikan jika memang tidak ada kepastiaan hubungan, maka saya yang biasanya mengatur ritme dan logika saya untuk menjadikan laki-laki tersebut sebagai sahabat saya.

Mungkin saya perempuan yang cenderung bisa menempatkan mereka yang pernah mengisi tempat yang baik di hati saya sebagai sahabat. Sebagian besar dari mereka, kini menjadi sahabat baik saya, teman terbaik dalam hidup, meski sebagian yang lain cenderung tidak. Mereka menjauh tanpa kendali dan saya tak tahu pasti, mengapa seperti itu. Mungkin mereka kecewa, tetapi saya anggap kekecewaan adalah obat mujarab untuk menekankan diri kita dan jiwa kita, bahwa kita masih punya perasaan untuk tidak mengulangi rasa sakit lagi. Bisa jadi rasa sakit itu, berasal dari saya. Dan disini saya sepenuhnya meminta maaf jika memang itu masih sulit termaafkan.

Oke, baiklah. Saya ingin menutup lembar itu. Karena saya ingin membuka lembaran baru. Ia sahabat baik saya, (setelah 2 tahun itu). Kami memulai hubungan kami dari percakapan-percakapan ringan di sebuah jejaring sosial media, biasa. Klise karena ia hanya menanyakan dimana saya tinggal dan kebetulan ia tinggal disatu daerah yang sama dengan saya. Well, baiklah. Perkenalan awal tak ada kesan apa-apa. Selain saya menganggap cowok ini tukang spionase dan kepo!

Selanjutnya, saya memutuskan menghubunginya karena saya membutuhkan dia secara professional untuk membantu pekerjaan-pekerjaan saya. Hubungan kami professional dan ia baik saat bekerja sama. Dari hubungan inilah kami saling mengenal, pekerjaan-pekerjaan mengenalkan kami satu sama lain. Saya menghormatinya sebagai partner kerja dan tanpa pretensi apapun. Terlebih saya terikat hubungan dengan orang lain begitu pula dengannya yang sudah bertahun-tahun memiliki pasangan. Meski kemudian, hubungan saya dengan partner saya waktu itu  tidak berlanjut dan saya selalu yakin ia memegang teguh komitmen dengan partnernya. Hubungan persahabatan saya dengannya adalah hal yang terbaik yang akhirnya saya syukuri hingga menjadi bagian terpenting yang membentuk relasi kami berdua setelahnya.

Kami berdua suka berdiskusi dan berbicara tentang hidup sampai tengah malam hingga pagi hari. Ia laki-laki yang sangat tenang dan membuat saya nyaman, tanpa pernah berpikir bahwa saya akan memilikinya kelak, suatu saat. Sebagian dari diri saya pada masa itu, tetap memegang prinsip bahwa saya mungkin tidak akan menikah sama sekali. Ia tahu, saya masih belum mau merevisi apapun soal pernikahan ataupun pasangan. Meski ia tahu saya dekat dengan beberapa laki-laki, saya selalu bilang kepadanya, saya tidak akan memulai komitmen dengan siapapun, kecuali jika laki-laki itu mau berproses dengan saya sebagai seorang sahabat. Bukan tiba-tiba mendatangi saya untuk menjadikan saya pacar atau dengan heroik melamar saya di depan ibu saya, karena dari yang saya sebutkan terakhir, ada laki-laki yang datang dan melamar melalui ibu saya, bukan lewat saya. Meski ibu akhirnya menyerahkan sepenuhnya kepada saya, saya tetap teguh untuk melajang sampai batas waktu yang saya sendiri tidak tahu kapan berakhirnya.

Ia selalu mengungkapkan kepada saya bagaimana ia membangun konsep tumbuh ketika menjalin relasi. Ia memang tipe laki-laki yang mau pasanganya stagnan, alias tidak bergerak sama sekali. Ia mungkin laki-laki yang suka dengan perempuan yang percaya diri dengan dirinya. Bagi saya itu poin yang baik, setidaknya masih ada spesies laki-laki didunia ini yang mengizinkan perempuan tumbuh, mencapai pencapaian maksimal dalam dirinya sebagai perempuan. Saya katakan langka, karena ia sebenarnya memiliki bentuk perilaku yang kurang lebih sama dengan bapak saya, ketika membebaskan ibu untuk berkembang, mencapai pencapaian maksimal sebagai perempuan bahkan setelah ia menikah.

Saya tidak pernah bertanya mengenai hubungan-hubungan yang ia bangun lebih jauh. Ia memang cenderung tidak ingin membukanya, berbeda dengan saya yang suka menceritakan kisah-kisah saya yang berakhir berantakan atau konflik-konflik yang saya bangun dengan ibu saya, terlebih saat saya dinasehati ibu saya untuk menikah, karena ibu sempat ketakutan kalau saya tidak akan menikah sama sekali. Hal itu saya ceritakan kepadanya dan respon yang ia lakukan adalah tertawa. Ia meyakinkan bahwa menikah tidak seburuk yang saya bayangkan dan saya biasa menampiknya dengan mengatakan bahwa itu konyol.Saya tetap berada dalam pendirian saya untuk mempecayai bahwa pernikahan itu kebutuhan bukan karena kewajiban yang kemudian membuat orang bisa semena-mena terhadap pernikahan karena tidak siap menerima konsekuensi tanggung jawab dari sebuah kewajiban. Terlebih saya berada di lembaga perempuan, yang mendampingi perempuan korban kekerasan. Bertambahlah akut pandangan saya, meski ia hanya tersenyum jika kami berdua membahas tentang pernikahan. Entah modusnya atau bukan, beberapa bulan kemudian saya ketahui hubungannya kandas, ia sering mengobrolkan pernikahan kepada saya. Meski saya menampiknya sama sekali. Hubungan kami tetap relatif dekat dan baik, tapi ia masih saja menutupi dirinya bahwa sedang dalam persoalan. Mungkin bukan persoalan, lebih tepatnya ia bisa mengatur semua dengan bijak, sampai akhirnya mengatakan yang sebenarnya terjadi kepada dirinya, menutupinya selama berbulan-bulan dan mengatakan bahwa memang ia baik-baik saja kepada saya bahwa ia sudah sendirian.

Pengakuan bahwa ia sendirian. Kala itu, ia sedang disamping saya menyesap kopi, sama seperti saya yang tengah menikmati kopi Gayo.

A : “ Kapan kamu menikah? Jangan bilang segera ya, ini bukan lagi sinetron?” tanyaku

R : “Aku baru saja selesai” jawabnya

A : “Oh, memang sih terkadang apa yang kita yakini bisa membalik 180 derajat dalam waktu sekejap. Tapi aku yakin kamu bisa mendapatkan yang terbaik, aku selalu mendokanmu tentu saja. Apa kamu patah hati?”

R : Ya awalnya, tapi kemudian kupikir aku tak perlu patah hati karena yang namanya rasa sayang, cinta, welas asih semuanya berasal dariNya, jika memang rasa itu diambil olehNya, ya mau apa. Jadi dalam kamus saya, tidak ada kata patah hati, toh yang berhak mengambil rasa itu bukan saya, dia ataupun orang lain, tapi dariNya”

A : “Weeeitzz, wise sekali kamu.”

R : “ Iyalah” sembari tersenyum..

A : “tertawa”

Perjalanan pulang pukul 1 malam. Saya masuk ke kamar saya, ada berkali-kali panggilan telepon dari 2 nomor yang berbeda, di android maupun di blackberry yang kebetulan mati ketika saya tengah ngopi dengannya. Saya mencoba mengubungi dua nomor tersebut, ternyata di B dan  C. Mereka bedua teman baik saya juga. Saya menanyakan kenapa, dan dua-duanya menjawab secara bersamaan, mereka melamar saya secara  personal. Sontak, saya shock, ditengah mau terlelap, dua laki-laki menanyakan hal yang sama kepada saya dan saya kebingungan. Dan orang pertama yang saya hubungi tentang lamaran ini adalah dia. Saya bilang kepadanya, kalau saya dilamar laki-laki. Ia bilang terima saja, saya bilang saya takut lalu ia menjawab hal yang membuat saya terperanjat “Ketakutan hanya memperpanjang PERBUDAKAN”. Oke, tapi saya bilang, saya sudah takut karena saya sudah kehilangan seseorang yang paling saya cintai didunia ini, aku butuh teman bukan orang yang tiba-tiba melamarku, tanpa ia pernah tahu bagaimana diriku.

Esoknya, aku memutuskan bertemu dengannya lagi. Sore hari sambil ngeteh berdua, saya katakan kepadanya bahwa saya masih pada pendirian saya. Saya takut menikah dan saya tidak ingin diri saya tidak bisa bebas lagi setelah menikah. Ia kemudian memulai percakapan lagi, tentang konsep menikah, tentang buku nikah dengan stempel menikah didalamnya. Saya mulai terbawa, tetapi sekali lagi, rasio saya menjawab jangan sampai saya terbawa apapun dari diri laki-laki ini. Ia tetap sahabat saya, kakak dan teman yang terbaik yang saya miliki.

Malam, sehabis makan malam. Kami mengobrol hingga larut malam. Ketika saya mau tertidur di kamar, ia mengirimkan sms kepada saya.

R : “Nduk udah tidur”

A : “Belum, kenapa?”

R : “ Nikah yuk?”

A : “Ini serius?”

R : “Aku nampak tak serius pow #gagalserius”

A : “Kan melamar lewat SMS beda sama langsung”

R : “Halah, paling kamu juga bilang emoh dan akan bilang rekor dalam dua hari melamar beberapa lamaran laki-laki”

A : “Hmmmm, aku mau”

R : “Kamu jangan kesambet malam-malam”

A : “Lho aku serius”

R : “Kita kudu ketemu”

A : “Baiklah, ayo kita ngobrol lagi”

Saya ingin mengatakan, proses mengatakan iya ternyata sangat mudah terhadapnya. Saya tak lagi memikirkan apa-apa untuk menerimanya, saya tak punya alasan-alasan mengapa saya mencintainya, saya pun tak punya rujukan teknis dan definisi operasional mengapa akhirnya saya memilihnya. 

Mungkin benar yang dikatakannya, rasa welas asih, cinta kasih, sayang semuanya dariNya, kita tak punya kuasa untuk menolaknya. Ini ajaib, saya bahkan bisa mengatakan yakin tanpa berpikir panjang

Sampai sekarang kalau ditanya mengapa saya berani memutuskan untuk menerimanya, saya mengalami kebingungan. Karena jika saya terjebak pada hal-hal teknis untuk mencintainya, cinta ini akan berubah dan pudar ketika hal-hal teknis itu terlepas dari dirinya. Saya menikmati hubungan ini.

Jika boleh saya berdoa Tuhan, jika memang kami berjodoh maka jodoh kami tak kan terhenti jika kami mati, jodohkan kami bahkan saat kami sudah meninggal dan bertemu denganMu disana.

I love you, my dear. My best friend, my real partner, tentang buku-buku dan kopi yang menemani setiap waktu perjalanan persahabatan dan cinta kita…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...