Aku bukan orang Jawa yang memahami bagaimana sistem kosmik dan kehidupan Jawa diatur. Aku hanya seorang anak yang setiap malam jumat, selalu diajak almarhum bapak dan ibu untuk menyekar ke simbah-simbah kami. Berdoa, agar mereka diberikan keselamatan. Aku seorang anak pedagang yang ulet, bernama Ibu Sudarmi, yang mengabdikan seluruh kehidupannya untuk bekerja, suami dan anak-anaknya. Seorang Ibu yang sangat kuat dan tangguh mengarungi kehidupan yang penuh dengan liku. Aku ingin menceritak ibuku, yang membuatku kembali mengakar dan hidup kembali dialam Jawa, setelah sekian lama, aku tak pernah mau menengok akar dan asal usulku.
Kepergian ibu 13 Juni 2020, telah menggoncangku jiwa, raga dan kosmik kehidupanku sebagai seorang anak. Kehidupanku malik grembyang alias berputar 360 derajat. Saat Ibuku tercinta pergi, aku tidak mengenal alam ini. Rasanya berbeda dengan saat Bapak pergi di tahun 2012. Aku hanya terdiam, tak berkata apa-apa. Ini rasa hilang yang tak kumengerti, lebih dalam dibanding kehilangan Bapak. Aku mengingat lagi lubang hitam bernama depresi yang sempat menghampiriku tahun 2012 itu kembali datang tapi kali ini gelombangnya lebih dahsyat.
Aku mulai mencari pertolongan ke psikiater dan psikolog. Ini jauh lebih berat dari yang awal kuduga. Aku menghabiskan puluhan jam melamun, bergulung-gulung, meninju tembok dan melempar buku. Sebuah perasaan yang tak aku mengerti, yang kurasakan hanya dada terasa sakit hebat, marah, sedih sekaligus. Kesedihan yang dalam. Aku menyadari, ini alam bawah sadarku lah yang benar-benar tergoncang.Tapi aku tidak pernah berpikir ini akan sangat dahsyat.
Depresi tak ada korelasinya dengan iman yang buruk. Ini situasi yang kerap menjadi momok bagi siapapun yang mengalami kedukaan. Aku memiliki rekam panjang mengalami kedukaan yang berat pada saat kehilangan Bapak. Aku tertolong setelah 1 tahun, suamiku sekarang hadir dan tidak membiarkan diriku sendiri menghadapi duka. Ia datang dikala aku sudah merasa hidup tak ada harapan setelah kepergiaan bapakku terkasih.
Di psikiater aku menjalani obat atau farmakologi. Setidaknya, sampai saat ini, konsumsi obatku sudah amat turun tapi nyeri didada kerap terjadi karena memang pengobatan syaraf otak membutuhkan waktu. Proses psikoterapiku lah yang kurasakan paling dahsyat bagiku secara personal. Menghadirkan kembali memori-memori yang membuatku ingin berteriak, menangis dan merasakan sesak didada. Selama kurun waktu Juni 2021, setelah proses farmakologi yang menguras energiku, aku masuk ke fase psikoterapi.
Di bulan Juni, aku bertemu pertama kali dengan bu Gamayanti. Dosen sekaligus psikolog senior di UGM atas rekomendasi suamiku. Suamiku memberikan saran agar aku menghubungi beliau. Aku melakukan konseling sebanyak 3 kali melalui online. Proses psikoterapiku sangat dibantu dengan kemampuanku untuk menulis. Proses menulis telah membuat aku bisa merunut dimana akar depresiku. Ia berasal dari inner child yang sakit karena proses kehidupan keluarga kami seperti roller coster. Cerita ini telah mempengaruhi mentalku secara siginifikan. Aku banyak kecewa dengan kondisi kehidupan yang mengharuskanku kehilangan sosok bapak di usia 12 tahun, tidak mendapat perhatian ibu karena ibu harus bekerja dan kebencian pada laki-laki yang menjadi kakak iparku yang menjerumuskan keluarga dalam persoalan pelik tanpa ia mau bertanggungjawab.
Kepergian bapak dan ibu telah menyimpan kesakitan luar biasa dibatinku, terutama melihat nasib mereka yang harus menanggung penderitaan. Sebagai anak aku tak pernah sampai hati melihat orang tuaku dalam posisi seperti itu. Mereka diberikan cobaan oleh kakak iparku hingga mereka drop dan jatuh pada lubang kesedihan yang dalam. Meski hari ini, mbakku sudah memutuskan untuk berpisah. Aku bersyukur untuk hal itu.
Di Bu Gamayanti inilah, aku akhirnya mau masuk ke memori-memori paling menyakitkan seumur hidupku dan dikeluarkan emosinya. Rasanya setiap psikoterapi, semua teraduk-aduk jadi satu. Sampai aku kelelahan sendiri tapi aku melakoni proses itu karena aku tahu jalan kebaikan ada disana meski ini proses yang melelahkan dan tidak mudah. Selain itu, aku tahu, sekarang aku sudah aman karena memiliki keluarga suamiku yang sangat perduli dengan keadaanku pasca ibu pergi. Aku tak pernah sendiri. Aku punya ibu, mbah Uti, Ibu Harso Wagiyem. Ibukku yang amat kucintai. Yang ingin kujaga. Karena dari doanya lah, aku kembali hidup setelah aku mengalami masuk ke jurang depresi yang dalam. Aku telah berupaya kembali dan aku kuat meski tertatih. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar