Mungkin akan selalu ada pertanyaan, mengapa aku bersedia menghabiskan waktu sisa hidupku dengan suami yang memiliki difabel kaki. Yang mungkin bagi banyak perempuan, bukan sebuah pilihan. Mungkin, banyak juga laki-laki, yang meremehkan, atau mungkin juga tidak terima, mengapa aku akhirnya memilihnya?
Aku tidak pernah punya alasan mengapa akhirnya aku mencintainya. Itu yang kujawab ketika pertama kali, ia mengajakku menikah. Aku tak pernah punya alasan. Bagiku, cinta adalah hal yang tulus, tanpa butuh alasan-alasan teknis.
Aku belajar dari kehidupanku. Hidupku yang kuperjuangkan agar sempurna, nyatanya tak pernah sempurna. Aku mengharapkan kesempurnaan dari cinta ibuku, agar ia memiliki waktu untukku, mengantarkanku sekolah, bisa imunisasi bersamanya, diajak ngobrol, dan semua harapan itu tak pernah sepenuhnya aku dapatkan. Aku tahu Tuhan mengajariku untuk bisa menerima hal-hal yang tak pernah sempurna didalam hidup, bahkan semenjak anak-anak.
Aku tahu, keputusanku untuk menikah juga dulunya tak disetujui oleh keluarga pada awalnya. Tapi bagiku, cinta melewati batas-batas itu semua. Aku belajar mencintai ayahku, yang difabel karena serangan stroke berkali-kali. Dari yang awalnya bisa bergerak hingga diatas kursi roda. Cintaku tak terbatas untuknya, seperti halnya ia mengajariku untuk mengasihi apapun dengan lembut. Begitu juga, aku belajar menerima dan mencintai ibuku dengan caranya, bergerak menjadi kepala keluarga dan keras kepada kehidupan. Ia melakukan itu untukku, agar aku bisa hidup, sekolah dan punya kehidupan yang lebih baik.
Cintaku kepada suamiku, yang difabel kaki, semakin hari semakin tumbuh dengan penuh kasih. Bagiku, ia adalah kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan. Bagi banyak orang, ia mungkin memiliki kekurangan, tapi ia mengajariku bagaimana mencintai kekurangan. Aku tak pernah melihat difabel kakinya sebagai kekurangan karena aku meyakini, semua manusia, layak dicintai, apapun dan bagaimana pun keadaan fisik dan mentalnya.
Suamiku, tak pernah berupaya membuktikan apapun kepadaku. Ia menerimaku apa adanya. Aku dekat dengannya, saat aku dalam posisi depresi dan dia tidak meninggalkanku di tahun 2012-2013. Hanya dia yang mau menerima dan memastikan bahwa aku akan baik-baik saja, setelah bapak tidak ada. Dia pula yang mau melihatku menangis dalam keadaan depresif (meski aku tahu, ia tak pernah mau melihatku menangis setiap hari), saat aku kehilangan Ibu secara mendadak.
Cinta bagiku melebihi hal-hal fisik dan teknis. Aku melihat bagaimana ibuku tak pernah meninggalkan bapakku, saat bapak tak berdaya. Cinta itu juga dirawat alm ibu, saat ia mengatakan tak akan menikah lagi. Cintanya hanya untuk alm bapak.
Saat orang-orang berkata, ah sekarang posisi suamimu sudah dapat ini dan itu (jabatan dll). Aku sudah melewati banyak hal yang membuatku tak pernah mau berlutut karena jabatan, uang dan kekuasaan. Aku pernah melewati itu disaat usiaku masih kecil. Keluargaku pernah kehilangan uang miliaran rupiah, dan aku tahu dari peristiwa itu, harta mungkin diperlukan tapi ia tak akan cukup tanpa ada kehangatan dan cinta.
Bertahun-tahun, aku selalu berupaya tulus mengasihi orang-orang yang pernah singgah dalam hidupku. Tanpa berharap suatu saat akan ada yang mengasihiku dengan cara yang sama. Seperti halnya suamiku, yang difabel kaki. Aku hanya berharap bisa selalu memberikannya cinta yang hangat, mengasihi dan kami bisa saling menemukan tempat pulang, ditengah dunia yang kadang lebih banyak menawarkan kepentingan, kekuasaan dan uang tanpa batas. Tanpa sepenuhnya menyadari, bahwa hidup hanya butuh dijalani dengan kasih, cinta, makanan cukup, rumah dan merasa cukup...