Bulan agustus 2012, adalah tahun kelima aku tinggal di Yogyakarta dengan embel-embel sebagai mahasiswi. Berasal dari kota kecil di sebelah selatan Solo, aku mempersiapkan diri untuk hijrah ke kota yang disebut-sebut orang sebagai kota pelajar. Awal aku memutuskan untuk masuk UGM, hanya bermodal dorongan dari ibuku. Baginya, jika anaknya yang terakhir bisa masuk ke UGM, beliau akan bangga. Meskipun sampai sekarang aku masih
Selama lima tahun dalam setiap semester, ibu ku selalu bangga melihat nilai IP ku selalu cum laude, bahkan sekali waktu aku pernah mendapat IP 4,00. Bagiku 7 semseter menjalani kuliah adalah fase kering karena tidak ada kepuasan. Aku hanya puas ketika seharian suntuk membaca di perpus UPT sampai menjadi pengunjung terakhir yang meninggalkan perpus. Aku lebih suka menitip tanda tangan absen kepada teman sekelasku, karena aku sangat sulit bangun pagi. Aku orang dengan kadar insomia akut. Tidur selalu diatas jam 1 malam. Aku lebih suka diskusi-diskusi diluar kelas, menikmati pertunjukan seni setiap malam ditemani aroma cengkeh, dan jalan-jalan keluar kota.
Aku butuh lima tahun perenungan bahwa kuliah di meja universitas adalah tempat sampah bagi mereka yang menghamba pada gelar. Aku merasa butuh belajar bukan gelar. Ketika aku tidak mendapatkan gelar, maka ibukulah yang malu, kakak-kakak ku lah yang akan marah, atau orang-orang yang menganggap aku bodoh karena tidak lulus kuliah. Lalu? apakah pengadilan "bodoh" yang berhak menghakimi? Sesempitkah itu memahami esensi ilmu? hanya karena tambahan "S" di belakang namamu? Kejam!
Kemudian orang berlomba-lomba meraih S2 karena belum mendapat pekerjaan. Omong kosong apalagi ini. Aku yang belum lulus kuliah saja sudah bisa bekerja dan menghidupi diri sendiri tanpa meminta-minta pada orang tua. Aku kadang tidak sepaham dengan cara pikir orang tua yang menyuruh anaknya untuk segera lulus kuliah demi menjadi mesin pencentak investasi bagi baliknya modal. Akankah S2 menghidupimu kelak, kurasa tidak? Karena bekerja tidak membutuhkan gelar, tetapi otakmu yang bisa bekreativitas dan kamu bisa mencintai pekerjaanmu sebagai anak yang lahir dari kandung kerjamu.
Aku hanya ingin mengatakan jujur bahwa sistem pendidikan lebih membuat otak mahasiswa menjadi barang ketimbang orang. Lebih mengundang onani intelektualitas dibandingkan kerja untuk kebahagiaan dan keabadiaan. Sampai aku sadar, bahwa lulus pun dari universitas tidak lebih dari stempel yang tidak ingin aku gunakan untuk menghamba pada lowongan pekerjaan di kolom koran atau lembaran layar interenet.
begitu ya?
BalasHapus