Depresi bukanlah penyakit mental yang mudah dijalani. Rasa sakitnya benar-benar membuat orang yang mengalaminya akan memahami, bagaimana rasanya hidup tanpa jiwa, ingin mengakhiri segalanya. Manusia, makhluk paling survival, dengan rekam jejak panjang dari zaman purba, akan bisa mengakhiri kehidupan karena penyakit ini.
Gejala-gejala depresi lahir perlahan, dari genetik, pengasuhan masa kecil yang menyakitkan, lingkungan sekolah yang penuh bullying, putus cinta, krisis kehidupan, menghadapi kedukaan kematian dan berbagai trauma, bisa meledak tanpa diduga. Sebagian orang yang mengalaminya, akan menangis dan merasakan kesedihan mendalam. Rasanya seperti tenggelam dalam lumpur kesedihan, dimana orang yang mengalaminya tidak tahu bagaimana caranya keluar dari kesedihan itu.
Salah satu hal yang paling penting dari proses kesembuhan dari orang depresi adalah support system. Orang-orang terdekat menjadi kunci, berhasil tidaknya seluruh terapi yang dijalani orang yang mengalami depresi. Ada dua terapi yang bisa dijalani, sejauh ini ada farmakologi atau dengan pengobatan dari psikiater dan psikoterapi yang dilakukan oleh psikolog/terapis. Keduanya sebaiknya dilakukan beriringan. Obat dibutuhkan untuk membantu mengurangi gejala fisik dan psikoterapi digunakan untuk melatih cara berpikir, bertindak dan merasakan agar orang yang depresi tidak relaps atau kembali depresi.
Lingkungan menjadi faktor yang paling dominan menentukan apakah seseorang depresi bisa segera sembuh atau justru makin memburuk. Dalam kasus yang pernah kulihat ketika di klinik kejiwaan, hampir sebagian besar keluarga atau lingkungan pasien yang datang ke psikiater amat malu dan sembunyi-sembunyi ketika ada anggota keluarganya yang sakit mental. Di kesempatan lain, aku dan suamiku juga sering melihat pasien yang datang dengan malu ketika mengambil obat. Padahal, keterbukaan dan kesadaran untuk mengakui bahwa diri sedang tidak sehat mental, menurut dokter psikiaterku, adalah langkah awal untuk kesembuhan. Sebagai catatan, aku datang ditemani suamiku, saat menjalani serangkaian assessment, lalu bertemu dengan dokter, aku mengakui bahwa saya bermasalah. Hal itu direspon amat positif oleh dokter. Ia berkata bahwa dengan posisi kesadaran seperti ini, maka peluang sembuhku akan lebih cepat.
Support system dalam hal ini keluarga menjadi faktor penting kesembuhan seseorang dengan depresi. Ketika aku masuk depresi pertama kali, suamiku sudah berpikir bahwa aku jelas tidak akan bisa bekerja sementara waktu. Ini berarti sementara waktu penghasilan hanya akan ditopang oleh dirinya. Dia menyiapkan serangkaian rencana keuangan, agar aku bisa tertolong melalui pengobatan terbaik. Suamiku memutuskan agar diriku mendapatkan pengobatan mandiri, dengan harga obat bisa sampai rentang 500 ribu hingga 1 juta sekali konsultasi, dengan posisi 1-2 kali sebulan. Sebenarnya dengan BPJS, obat bisa gratis. Namun, ia memilih untuk aku menjalani terapi dengan dokter dan pengobatan terbaik.
Ia memilihkanku psikolog senior, yang memiliki rekam jejak panjang menangani pasien-pasien depresi akut. Ia yang merekomendasikanku untuk mendapatkan layanan terbaik dari biro psikologi Kemuning Kembar. Aku sempat 2 kali ganti psikolog sebelum ke Kemuning Kembar. Dengan rentang sekali konsultasi bisa antara 350-400 ribu. Tapi tenang saja, jika kalian punya BPJS, layanan ini bisa diakses di puskesmas/rumah sakit secara gratis. Depresiku lumayan kompleks, aku datang ke psikolog lebih dari 12 kali, dan masih di maintanance sampai sekarang. Aku ke psikolog sebulan sekali.
Saat depresi, suamiku juga tetap bekerja dan beberapa kali keluar kota dengan rentang waktu cukup panjang. Ia tidak ingin, aku tidak terawat. Maka ibu mertuaku yang kemudian merawatku. Hampir 1 bulan, aku dirawat ibu dan bapak saat aku dalam pengawasan obat depresi. Ibuku sangat telaten dan memperlakukanku sangat baik, dimana ia adalah sumber kekuatanku untuk pulih. Aku merasakan kembali dicintai oleh ibu dan keluarga yang hangat.
Aku sejujurnya sering melankolis sendiri, mengingat bagaimana suamiku bertahan sebagai caregiver. Tidak gampang. Hampir setiap saat aku menangis dan bersedih. Belum lagi gejolak emosional yang terjadi. Mendampingi orang depresi sangat melelahkan, sangat. Ia mempersiapkan banyak hal, agar aku tidak semakin jatuh kedalam lubang depresi. Ia mendorongku untuk menulis setiap saat. Saat amarah keluar, aku akan menulis lalu akan menangis. Ia berulang kali mendengar keluhan dan ucapan yang sama, ratusan kali dalam sehari. Belum lagi, menghadapi emosiku yang naik turun.
Sekarang, aku sadar, aku tidak akan sembuh kalau tidak ada dukungan dari suami dan keluarga. Disaat semua terasa gelap bagi orang depresi, sejujurnya, mereka hanya ingin orang terdekatnya tahu, tidak mudah menahan beban luka batin sendiri. Ia ingin diterima apa adanya. Ditemani untuk bersama-sama menyembuhkan luka dan belajar untuk mentransformasi luka. Aku merasa beruntung memiliki suamiku. Aku tahu, tidak banyak yang seberuntung aku ketika berhadapan dengan depresi. Maka, aku akan mulai menuliskan pengalamanku menghadapi masa-masa sulit saat depresi dan bagaimana support system harus dibangun tatkala ada seseorang membutuhkan bantuan saat ia berupaya untuk mengakhiri kehidupan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar