Selasa, 30 Oktober 2012

Pencitraan Positif SBY

Tulisan ini dimuat di Harian Jogja, 10 Oktober 2012

Jumat, tanggal 5 Oktober kantor KPK diserbu oleh anggota kepolisian yang berniat untuk menangkap penyidik KPK, Noval Baswedan. Upaya penangkapan tersebut dinilai sebagian kalangan sebagai kegagapan luar biasa dari institusi Trunojoyo.  Yang kemudian mengingatkan memori publik pada proses kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibid Samad Rianto pada tahun 2008.Kegaduhan beberapa hari ini akhirnya dijawab SBY dengan pidato yang bagi banyak kalangan memperlihatkan ketegasan, namun jika lebih cermati pidato SBY sebenarnya akan minim implikasi praksis.
Dalam pidatonya, SBY berucap bahwa ia sudah berulang kali melakukan upaya mediasi beberapa institusi hukum yang ada di Indonesia. SBY pun  tidak akan mengintervensi upaya penegakan hukum, karena wilayah tersebut bukan wilayah yang seharusnya ia tangani. Ia membantah bahwa ia melakukan pembiaran terhadap konflik antara KPK dan Polri. Ia terus memantau beberapa kejadian yang muncul melalui SMS maupun sosial media yang menjadi arena perbicangan publik. Ini menarik, karena biasanya SBY lebih sering “main aman” untuk menjawab isu-isu sensitif bagi publik.

Tanda bahwa SBY juga melihat dinamika yang terjadi di ruang sosial media, sebenarnya menandakan beberapa implikasi yang positif terhadap peran social media, sebagai ruang publik dalam sebuah negara hukum. Twitter, Facebook, jejaring sosial media yang lain telah membuka ruang-ruang serta kanal-kanal komunikasi dan aspirasi politik publik untuk mempengaruhi sebuah keputusan-keputusan yang diambil oleh para elite. Social media telah memberi dampak yang luar biasa terhadap reformasi politik untuk dijalankan lebih demokratis.  
Jumat malam dimana KPK didatangi oleh kepolisian, jejaring social media Twitter  menjadi saluran untuk memberitakan setiap detik kejadian yang terjadi di depan gedung KPK. Hastag #save KPK menjadi trending topic di Twitter. Hingga akhirnya, ratusan aktivis penggiat anti korupsi, mahasiswa, ormas dan masyarakat umum berdatangan ke KPK pada tengah malam, berorasi di depan gedung sembari meneriakan save KPK dari kepungan Polri.
Tetapi kegembiraan  penggiat anti korupsi atas keberhasilan jejaring social media dalam mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh SBY dalam pidatonya, seharusnya perlu dikoreksi. Karena langkah yang dilakukan oleh SBY sebenarnya jauh lebih taktis. Tekanan yang dilakukan publik melalui social media baik secara  langsung maupun tidak langsung telah memberi dampak kenaikan citra virtual positif terhadap diri SBY.
Sebelum SBY berpidato, ia telah berstrategi untuk mengetahui langkah apa yang bisa dilakukan agar ia tetap aman ditengah tekanan masyarakat tanpa mengorbankan citranya. Social media menjadi alat yang paling mudah mengukur bagaimana citranya selama ini dimata publik. SBY berhasil memanfaatkan momentum tersebut untuk menarik simpati publik, dengan menggunakan tekanan publik sebagai amunisi untuk mengembalikan citranya. Ketegasan pidato SBY, adalah langkah awal yang bisa dilakukan SBY untuk memulihkan citranya yang memburuk. Sikap tegas SBY ini seharusnya disikapi lebih kritis oleh publik. Mengapa? Karena dalam pidatonya, SBY mengungkapkan bahwa ia akan mengeluarkan keputusan untuk memperbaharui wewenang, masa jabatan dan proses administratif teknis, bagaimana KPK dan Polri bekerja dalam memberantas korupsi. SBY telah membuat kebijakan dan sebagai presiden ia tidak akan bergerak pada tataran teknis. Artinya, kebijakan yang ditandatangani oleh SBY kelak hanya bersifat memperlambat konflik secara institusional bukan menghentikan konflik institusional yang terjadi. Ambiguitas sikap SBY yang cenderung responsif untuk memperbaiki citra dan hanya mengandalkan sinergitas akan sulit dicapai, tanpa dibangun budaya dan komunikasi yang baik antara KPK dan Polri. Dan disinilah harusnya peran SBY membangun budaya kerjasama dimulai, bukan hanya menyerahkan pada pada hukum, tanpa penyelesaian konflik secara sosiologis dan historis  yang terjadi antara KPK dan Polri.
Langkah revisi UU KPK yang juga disinggung oleh presiden akan memiliki banyak dampak pada panasnya percaturan partai politik di DPR RI menjelang 2014. Hanya satu partai yang secara tegas menyatakan diri ikut dalam revisi UU KPK yakni partai Golkar. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pecah kongsi partai politik sering terjadi di DPR RI. Bisa jadi partai politik yang awalnya menolak revisi KPK berbalik akan mendukung, apabila partai politik bisa mendapat keuntungan politik dari revisi kew
Percaturan tarik menarik kewenangan KPK sepertinya masih akan panjang dan bisa menjadi komoditas politik yang menarik untuk 2014. Hal ini berbahaya, karena energi KPK hanya akan tersedot pada persoalan persoalan politik akibat prosedur-prosedur perundangan administratif, sementara upaya tindak pidana korupsi menjadi terabaikan. Publik tentunya tidak ingin, jika KPK kemudian mengalami hambatan seperti kriminalisasi KPK pada tahun 2008, yang menyebabkan lemahnya KPK akibat kepentingan dan konflik-konflik elite.
Kini pemilu hanya tinggal 2 tahun lagi, dan percaturan partai-partai untuk meraih simpati publik untuk menguatkan atau melemahkan KPK telah dimulai. Dorongan revisi wewenang KPK agar lebih kuat atau malah menjadi lemah, bergantung dari seberapa indah citra polesan yang dilakukan oleh partai politik, untuk menarik simpati publik dengan citra politik anti korupsi atau memang sebenar-benarnya memberantas korupsi. Dan disinilah peran kita dimulai, untuk menyelamatkan negeri dan juga KPK,  bukan hanya dari koruptor tetapi juga antek-anteknya yang bekerja secara sistematis didalam birokrasi negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...