Tulisan ini dimuat di Harian Jogja, 10 Oktober 2012
Jumat, tanggal 5
Oktober kantor KPK diserbu oleh anggota kepolisian yang berniat untuk menangkap
penyidik KPK, Noval Baswedan. Upaya penangkapan tersebut dinilai sebagian
kalangan sebagai kegagapan luar biasa dari institusi Trunojoyo. Yang kemudian mengingatkan memori publik pada
proses kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibid Samad
Rianto pada tahun 2008.Kegaduhan beberapa hari ini akhirnya dijawab SBY dengan
pidato yang bagi banyak kalangan memperlihatkan ketegasan, namun jika lebih
cermati pidato SBY sebenarnya akan minim implikasi praksis.
Dalam pidatonya,
SBY berucap bahwa ia sudah berulang kali melakukan upaya mediasi beberapa
institusi hukum yang ada di Indonesia. SBY pun
tidak akan mengintervensi upaya penegakan hukum, karena wilayah tersebut
bukan wilayah yang seharusnya ia tangani. Ia membantah bahwa ia melakukan
pembiaran terhadap konflik antara KPK dan Polri. Ia terus memantau beberapa
kejadian yang muncul melalui SMS maupun sosial media yang menjadi arena
perbicangan publik. Ini menarik, karena biasanya SBY lebih sering “main aman”
untuk menjawab isu-isu sensitif bagi publik.
Tanda bahwa SBY
juga melihat dinamika yang terjadi di ruang sosial media, sebenarnya menandakan
beberapa implikasi yang positif terhadap peran social media, sebagai ruang
publik dalam sebuah negara hukum. Twitter, Facebook, jejaring sosial media yang
lain telah membuka ruang-ruang serta kanal-kanal komunikasi dan aspirasi
politik publik untuk mempengaruhi sebuah keputusan-keputusan yang diambil oleh para
elite. Social media telah memberi dampak yang luar biasa terhadap reformasi
politik untuk dijalankan lebih demokratis.
Jumat malam
dimana KPK didatangi oleh kepolisian, jejaring social media Twitter menjadi saluran untuk memberitakan setiap
detik kejadian yang terjadi di depan gedung KPK. Hastag #save KPK menjadi
trending topic di Twitter. Hingga akhirnya, ratusan aktivis penggiat anti
korupsi, mahasiswa, ormas dan masyarakat umum berdatangan ke KPK pada tengah
malam, berorasi di depan gedung sembari meneriakan save KPK dari kepungan
Polri.
Tetapi kegembiraan penggiat anti korupsi atas keberhasilan jejaring
social media dalam mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh SBY
dalam pidatonya, seharusnya perlu dikoreksi. Karena langkah yang dilakukan oleh
SBY sebenarnya jauh lebih taktis. Tekanan yang dilakukan publik melalui social
media baik secara langsung maupun tidak
langsung telah memberi dampak kenaikan citra virtual positif terhadap diri SBY.
Sebelum SBY
berpidato, ia telah berstrategi untuk mengetahui langkah apa yang bisa
dilakukan agar ia tetap aman ditengah tekanan masyarakat tanpa mengorbankan
citranya. Social media menjadi alat yang paling mudah mengukur bagaimana
citranya selama ini dimata publik. SBY berhasil memanfaatkan momentum tersebut
untuk menarik simpati publik, dengan menggunakan tekanan publik sebagai amunisi
untuk mengembalikan citranya. Ketegasan pidato SBY, adalah langkah awal yang
bisa dilakukan SBY untuk memulihkan citranya yang memburuk. Sikap tegas SBY ini
seharusnya disikapi lebih kritis oleh publik. Mengapa? Karena dalam pidatonya,
SBY mengungkapkan bahwa ia akan mengeluarkan keputusan untuk memperbaharui
wewenang, masa jabatan dan proses administratif teknis, bagaimana KPK dan Polri
bekerja dalam memberantas korupsi. SBY telah membuat kebijakan dan sebagai
presiden ia tidak akan bergerak pada tataran teknis. Artinya, kebijakan yang ditandatangani
oleh SBY kelak hanya bersifat memperlambat konflik secara institusional bukan
menghentikan konflik institusional yang terjadi. Ambiguitas sikap SBY yang
cenderung responsif untuk memperbaiki citra dan hanya mengandalkan sinergitas
akan sulit dicapai, tanpa dibangun budaya dan komunikasi yang baik antara KPK
dan Polri. Dan disinilah harusnya peran SBY membangun budaya kerjasama dimulai,
bukan hanya menyerahkan pada pada hukum, tanpa penyelesaian konflik secara
sosiologis dan historis yang terjadi
antara KPK dan Polri.
Langkah revisi
UU KPK yang juga disinggung oleh presiden akan memiliki banyak dampak pada panasnya
percaturan partai politik di DPR RI menjelang 2014. Hanya satu partai yang
secara tegas menyatakan diri ikut dalam revisi UU KPK yakni partai Golkar.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pecah kongsi partai politik sering terjadi di
DPR RI. Bisa jadi partai politik yang awalnya menolak revisi KPK berbalik akan
mendukung, apabila partai politik bisa mendapat keuntungan politik dari revisi
kew
Percaturan tarik
menarik kewenangan KPK sepertinya masih akan panjang dan bisa menjadi komoditas
politik yang menarik untuk 2014. Hal ini berbahaya, karena energi KPK hanya
akan tersedot pada persoalan persoalan politik akibat prosedur-prosedur
perundangan administratif, sementara upaya tindak pidana korupsi menjadi
terabaikan. Publik tentunya tidak ingin, jika KPK kemudian mengalami hambatan
seperti kriminalisasi KPK pada tahun 2008, yang menyebabkan lemahnya KPK akibat
kepentingan dan konflik-konflik elite.
Kini pemilu
hanya tinggal 2 tahun lagi, dan percaturan partai-partai untuk meraih simpati
publik untuk menguatkan atau melemahkan KPK telah dimulai. Dorongan revisi
wewenang KPK agar lebih kuat atau malah menjadi lemah, bergantung dari seberapa
indah citra polesan yang dilakukan oleh partai politik, untuk menarik simpati
publik dengan citra politik anti korupsi atau memang sebenar-benarnya
memberantas korupsi. Dan disinilah peran kita dimulai, untuk menyelamatkan
negeri dan juga KPK, bukan hanya dari
koruptor tetapi juga antek-anteknya yang bekerja secara sistematis didalam
birokrasi negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar