Kini kasus semakin bertambah
ramai, karena tersebarnya foto-foto Novi
yang tengah diborgol dan hanya mengenakan celana dalam dan bikini. Dalam foto
yang tersebar luas di BBM maupun jejaring sosial media, terlihat Novi tampak
setengah tidak sadar dan berada dalam ikatan borgol. Yang sangat disayangkan
adalah foto-foto yang beredar tersebut diduga diambil oleh oknum kepolisian di
kantor polisi. Beredarnya foto-foto tersebut menyentak publik, bahwa kasus Novi
bukan hanya menyangkut aspek hukum semata, tetapi juga aspek pelecehan seksual
sebagai bagian dari kekerasan terhadap perempuan
Kasus Novi mungkin hanya satu
dari banyak kekerasan terhadap perempuan yang beredar luas di masyarakat.
Sekaligus bisa menjadi cerminan betapa lemah dan diskriminatifnya hukum
dan penegak hukum kita terhadap hak-hak perempuan. Kekerasan terhadap perempuan menebar teror
tidak hanya diwilayah privat tetapi juga diwilayah publik, bahkan juga terjadi di
lembaga penegakan hukum .
Teror
Kekerasan
Berdasarkan data kasus kekerasan
yang tercatat Rifka Annisa Women’s Cricis Center di Yogyakarta, selama kurun
waktu 1993- 2011 terdapat 4952 kasus kekerasan terhadap perempuan, terjadi
dalam berbagai bentuk dan level. Kekerasan terhadap istri (KDRT) dalam rumah
tangga masih mendominasi, dengan jumlah 3274 kasus, disusul dengan kasus
kekerasan dalam pacaran yakni 836 kasus
dengan rincian 32 kasus diantaranya adalah kehamilan yang tidak diinginkan, 395
kasus pemerkosaan, 264 kasus pelecehan seksual, 133 kekerasan dalam keluarga,
dan 4 kasus kekerasan terhadap anak.
Data ini sejalan dengan catatan
yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, yang mencatat untuk tahun 2011 saja,
terdapat
Berlakunya UU 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menjadikan kekerasan terhadap
perempuan bukan lagi menjadi urusan domestik, tetapi menjadi urusan publik. Akan
tetapi delapan tahun pasca kemunculannya, UU ini masih memiliki banyak catatan,
karena tidak secara signifikan menekan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan
dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Family
Court
Maka, penyelesaian kekerasan
terhadap perempuan seharusnya bertumpu pada keadilan dan keberpihakan korban. Selama
ini banyak perempuan korban merasa enggan untuk melaporkan pelaku untuk
mendapatan hukuman pidana karena pertimbangan aspek kultural ataupun
ketergantungan terhadap pelaku, jika pelaku adalah pasanganya sendiri. Ini terkait
pula dengan persoalan sensifitas gender para penegak hukum yang masih lemah dan
terkadang sangat bias dalam memperlakukan korban.
Munculnya gagasan “
Restorative justice bukan hanya
dimaknai sebagai upaya “damai”, tanpa memberikan tanggung jawab pada
pihak-pihak yang seharusnya melakukan peran penting dalam jangka panjang. Restorative
justice memberi konsekuensi peran pada korban, pelaku, keluarga, masyarakat
(komunitas) dan negara, yang harus secara detail dilekatkan pada mereka dan
harus dipantau.
Terobosan ini akan memberi jalan
bagi perempuan dapat mengakses layanan konseling psikologi dan hukum. Pelaku
dapat memperoleh efek jera sekaligus ikut dalam sesi konseling perubahan
perilaku, keluarga dan masyarakat bisa menjadi pengawas. Terakhir, negara wajib
menjamin bahwa hak-hak perempuan korban terbingkai dalam rasa keadilan dimata
hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar