Selasa, 30 Oktober 2012

Restorative Justice , Bagi Perempuan Korban Kekerasan


Kini kasus semakin bertambah ramai, karena tersebarnya  foto-foto Novi yang tengah diborgol dan hanya mengenakan celana dalam dan bikini. Dalam foto yang tersebar luas di BBM maupun jejaring sosial media, terlihat Novi tampak setengah tidak sadar dan berada dalam ikatan borgol. Yang sangat disayangkan adalah foto-foto yang beredar tersebut diduga diambil oleh oknum kepolisian di kantor polisi. Beredarnya foto-foto tersebut menyentak publik, bahwa kasus Novi bukan hanya menyangkut aspek hukum semata, tetapi juga aspek pelecehan seksual sebagai bagian dari kekerasan terhadap perempuan

Kasus Novi mungkin hanya satu dari banyak kekerasan terhadap perempuan yang beredar luas  di masyarakat.  Sekaligus bisa menjadi cerminan betapa lemah dan diskriminatifnya hukum dan penegak hukum kita terhadap hak-hak perempuan.  Kekerasan terhadap perempuan menebar teror tidak hanya diwilayah privat tetapi juga diwilayah publik, bahkan juga terjadi di lembaga penegakan hukum .
Teror Kekerasan
Berdasarkan data kasus kekerasan yang tercatat Rifka Annisa Women’s Cricis Center di Yogyakarta, selama kurun waktu 1993- 2011 terdapat 4952 kasus kekerasan terhadap perempuan, terjadi dalam berbagai bentuk dan level. Kekerasan terhadap istri (KDRT) dalam rumah tangga masih mendominasi, dengan jumlah 3274 kasus, disusul dengan kasus kekerasan dalam pacaran  yakni 836 kasus dengan rincian 32 kasus diantaranya adalah kehamilan yang tidak diinginkan, 395 kasus pemerkosaan, 264 kasus pelecehan seksual, 133 kekerasan dalam keluarga, dan 4 kasus kekerasan terhadap anak.
Data ini sejalan dengan catatan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, yang mencatat untuk tahun 2011 saja, terdapat
Berlakunya UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menjadikan kekerasan terhadap perempuan bukan lagi menjadi urusan domestik, tetapi menjadi urusan publik. Akan tetapi delapan tahun pasca kemunculannya, UU ini masih memiliki banyak catatan, karena tidak secara signifikan menekan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Family Court
Maka, penyelesaian kekerasan terhadap perempuan seharusnya bertumpu pada keadilan dan keberpihakan korban. Selama ini banyak perempuan korban merasa enggan untuk melaporkan pelaku untuk mendapatan hukuman pidana karena pertimbangan aspek kultural ataupun ketergantungan terhadap pelaku, jika pelaku adalah pasanganya sendiri. Ini terkait pula dengan persoalan sensifitas gender para penegak hukum yang masih lemah dan terkadang sangat bias dalam memperlakukan korban.
Munculnya gagasan “
Restorative justice bukan hanya dimaknai sebagai upaya “damai”, tanpa memberikan tanggung jawab pada pihak-pihak yang seharusnya melakukan peran penting dalam jangka panjang. Restorative justice memberi konsekuensi peran pada korban, pelaku, keluarga, masyarakat (komunitas) dan negara, yang harus secara detail dilekatkan pada mereka dan harus dipantau.
Terobosan ini akan memberi jalan bagi perempuan dapat mengakses layanan konseling psikologi dan hukum. Pelaku dapat memperoleh efek jera sekaligus ikut dalam sesi konseling perubahan perilaku, keluarga dan masyarakat bisa menjadi pengawas. Terakhir, negara wajib menjamin bahwa hak-hak perempuan korban terbingkai dalam rasa keadilan dimata hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suamiku

Setelah kurasa-rasakan, aku selalu meminta tolong kepadanya saat membutuhkan sesuatu. Sepertinya dia hadir dalam hidupku untuk menolongku. B...