Kamis, 05 Januari 2012

Kepempimpinan Yang Feminim


Kabar perempuan
Gagalnya kepempimpinan patriarkis dapat kita lihat, misalnya dalam penyelesaian kasus Mesuji. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, telah membuat warga menjadi korban. Dan tentu saja perempuan adalah pihak paling rentan mengalami kekerasan. Sayangnya, hiruk pikuk penyelesaian kasus sama sekali tidak menyentuh perempuan sebagai korban kekerasan. Polisi malah sibuk dengan urusan berapa jumlah korban tanpa melihat peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan pada saat konflik maupun pasca konflik. Mayoritas penduduk Mesuji yang bermata pencaharian sebagai petani, tentunya memposisikan perempuan sebagai sosok strategis dalam pengaturan ekonomi sebuah keluarga. Dengan pecahnya konflik, perempuan menjadi korban yang paling rentan mengalami kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial pasca konflik.
Kekerasan lain yang banyak dialami perempuan sepanjang 2011 adalah pemerkosaan di angkutan umum di Jakarta. Berkali-kali perempuan korban berjatuhan, tetapi mirisnya perempuan korban yang sudah diperkosa malah disudutkan sebagai penyebab terjadinya tindak pemerkosaan. Tubuh perempuan dianggap menggundang syahwat kaum adam karena menggunakan pakaian minim (rok mini). Ironisnya, pejabat setingkat gubernur juga menggunakan penjelasan patriarkis ini sebagai penyebab kenapa perempuan diperkosa. Walaupun kemudian si pejabat meralat pernyataan tersebut, tetapi tetap saja ia tak mau secara gambalang mengakui pernyataan yang sudah dibuatnya. Ini memberikan realitas bahwa pola pikir dari pejabat pemerintah cenderung sangat patriarkis, sebuah budaya yang mendominasi dan memberi kuasa yang kuat kepada laki-laki sehingga membuat posisi perempuan mejadi lebih lemah dan subordinat
Lain rok mini, lain cerita dengan para TKI yang baru pulang dari Arab Saudi.
Ya, perempuan buruh migran harus menjadi tameng terakhir ketika ekonomi negara ini tak mampu menyejahterakan anak bangsanya sendiri dengan memberikan lapangan pekerjaan. Perempuan akhirnya terpaksa bekerja meninggalkan keluarga yang dicintainya, demi keberlangsungan hidup anak-anak bahkan juga suaminya. Kerentanan perempuan semakin nyata ketika dia dihadapkan pada kondisi budaya negara tujuan yang sangat patriarkis. Hingga kini, kasus kekerasan terhadap buruh migran masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sekali lagi pemerintah tidak boleh  lalai melindungi warga negaranya, terutama perempuan pekerja. Sehingga kasus Ruyati, Darsem atau mungkin perempuan buruh migran lain tidak terulang. Pemerintah tidak boleh berlindung pada ungkapan “mereka pahlawan devisa” sebagai pengingkaran tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan warga negara secara umum.
Kasus kekerasan yang menjadikan perempuan sebagai korban tentunya bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal. Fakta bahwa negara sepertinya masih enggan menjadikan perempuan sebagai bagian yang secara integral mampu menciptakan perubahan, tidak bisa terbantahkan.  Misal dalam bidang politik, negara lebih sering menjadikan perempuan sebagai pelengkap kuota. Padahal keputusan-keputusan penting dalam kebijakan diatur dalam keputusan politik dan perempuan cenderung sulit mengakses arena ini karena lingkup kehidupan politik yang begitu maskulin, bersifat transaksional, pragmatis dan harus siap adu hantam. Disisi lain debat calon pemimpin 2014 menjadi semakin meruncing dengan ketiadakaan sosok pemimpin yang bisa melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud bukan semata perubahan kebijakan tetapi juga perubahan
Maka satu persoalan mendasar kegagalan bangsa sebenarnya terletak pada cara pandang kebanyakan pemimpin negeri ini yang cenderung patriarkis. Sehingga ditengah kegaduhan politik dan angka kekerasan yang semakin menjadi,
Lalu, masihkah kita perlu bertanya ketika zaman telah berbicara, bahwa sosok perubahan ada pada pemimpin yang memiliki sifat-sifat feminim? Sifat yang penuh kelembutan, perdamaian dan cinta kasih. Tahun 2011 seharusnya menjadi titik refleksi bagi para pemimpin negeri ini untuk menggunakan sifat kepemimpinan feminim sebagai alternatif kepemimpinan. Bukan lagi mengagunkan kepemimpinan patriarkis yang penuh kekerasan, arogan dan bermodalkan otot semata. Jika tidak, jangan heran jika kekerasan terus terjadi di negeri ini dan pada akhirnya perempuan lagi yang akan menjadi korbannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...