Gagalnya
kepempimpinan patriarkis dapat kita lihat, misalnya dalam penyelesaian kasus
Mesuji. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, telah membuat warga
menjadi korban. Dan tentu saja perempuan adalah pihak paling rentan mengalami
kekerasan. Sayangnya, hiruk pikuk penyelesaian kasus sama sekali tidak
menyentuh perempuan sebagai korban kekerasan. Polisi malah sibuk dengan urusan berapa
jumlah korban tanpa melihat peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan
pada saat konflik maupun pasca konflik. Mayoritas penduduk Mesuji yang bermata
pencaharian sebagai petani, tentunya memposisikan perempuan sebagai sosok
strategis dalam pengaturan ekonomi sebuah keluarga. Dengan pecahnya konflik,
perempuan menjadi korban yang paling rentan mengalami kekerasan, mulai dari
kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan sosial pasca konflik.
Kekerasan
lain yang banyak dialami perempuan sepanjang 2011 adalah pemerkosaan di angkutan
umum di Jakarta. Berkali-kali perempuan korban berjatuhan, tetapi mirisnya
perempuan korban yang sudah diperkosa malah disudutkan sebagai penyebab
terjadinya tindak pemerkosaan. Tubuh perempuan dianggap menggundang syahwat
kaum adam karena menggunakan pakaian minim (rok mini). Ironisnya, pejabat
setingkat gubernur juga menggunakan penjelasan patriarkis ini sebagai penyebab kenapa
perempuan diperkosa. Walaupun kemudian si pejabat meralat pernyataan tersebut,
tetapi tetap saja ia tak mau secara gambalang mengakui pernyataan yang sudah
dibuatnya. Ini memberikan realitas bahwa pola pikir dari pejabat pemerintah
cenderung sangat patriarkis, sebuah budaya yang mendominasi dan memberi kuasa
yang kuat kepada laki-laki sehingga membuat posisi perempuan mejadi lebih lemah
dan subordinat
Lain rok mini,
lain cerita dengan para TKI yang baru pulang dari Arab Saudi.
Ya, perempuan
buruh migran harus menjadi tameng terakhir ketika ekonomi negara ini tak mampu
menyejahterakan anak bangsanya sendiri dengan memberikan lapangan pekerjaan.
Perempuan akhirnya terpaksa bekerja meninggalkan keluarga yang dicintainya,
demi keberlangsungan hidup anak-anak bahkan juga suaminya. Kerentanan perempuan
semakin nyata ketika dia dihadapkan pada kondisi budaya negara tujuan yang
sangat patriarkis. Hingga kini, kasus kekerasan terhadap buruh migran masih
menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sekali lagi pemerintah tidak
boleh lalai melindungi warga negaranya,
terutama perempuan pekerja. Sehingga kasus Ruyati, Darsem atau mungkin
perempuan buruh migran lain tidak terulang. Pemerintah tidak boleh berlindung
pada ungkapan “mereka pahlawan devisa” sebagai pengingkaran tanggung jawab
negara terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan warga negara secara umum.
Kasus
kekerasan yang menjadikan perempuan sebagai korban tentunya bukan disebabkan
oleh satu faktor tunggal. Fakta bahwa negara sepertinya masih enggan menjadikan
perempuan sebagai bagian yang secara integral mampu menciptakan perubahan,
tidak bisa terbantahkan. Misal dalam
bidang politik, negara lebih sering menjadikan perempuan sebagai pelengkap
kuota. Padahal keputusan-keputusan penting dalam kebijakan diatur dalam
keputusan politik dan perempuan cenderung sulit mengakses arena ini karena
lingkup kehidupan politik yang begitu maskulin, bersifat transaksional,
pragmatis dan harus siap adu hantam. Disisi lain debat calon pemimpin 2014
menjadi semakin meruncing dengan ketiadakaan sosok pemimpin yang bisa melakukan
perubahan. Perubahan yang dimaksud bukan semata perubahan kebijakan tetapi juga
perubahan
Maka satu persoalan
mendasar kegagalan bangsa sebenarnya terletak pada cara pandang kebanyakan pemimpin
negeri ini yang cenderung patriarkis. Sehingga ditengah kegaduhan politik dan angka
kekerasan yang semakin menjadi,
Lalu,
masihkah kita perlu bertanya ketika zaman telah berbicara, bahwa sosok
perubahan ada pada pemimpin yang memiliki sifat-sifat feminim? Sifat yang penuh
kelembutan, perdamaian dan cinta kasih. Tahun 2011 seharusnya menjadi titik
refleksi bagi para pemimpin negeri ini untuk menggunakan sifat kepemimpinan feminim
sebagai alternatif kepemimpinan. Bukan lagi mengagunkan kepemimpinan patriarkis
yang penuh kekerasan, arogan dan bermodalkan otot semata. Jika tidak, jangan
heran jika kekerasan terus terjadi di negeri ini dan pada akhirnya perempuan
lagi yang akan menjadi korbannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar