Rabu, 11 Januari 2012

Wasior, Sendiri!


Pagi ini, 11 Januari 2011, pukul 09.45 saya menyeduh kopi Cordova hangat pemberian tante Tiwuk, rekan satu kantor saya. Katanya kopi ini sangat enak dan tentu saja kopi amat membantu saya untuk merenung. Terlebih, saya baru saja mendengar sebuah cerita. Ya, cerita ujung pulau paling timur Indonesia, Papua dari seorang ABK kapal tanker Caltex, Richard Supriyadi. Biasa dipanggil pak Richard. Ia bercerita tentang kejadian 4 Oktober 2010 yang lalu, tentang banjir bandang Wasior.

http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/1/wasior-pasca-banjir
Pak Richard, datang ke kantorku dengan membawa tas hitam kecil. Perawakanya kurus kecil. Ia memakai celana panjang yang agak kedodoran. Tatapanya sangat teduh. Ia berkerja sebagai anak buah kapal (ABK) di perusahaan bahan bakar dan oli Caltex di Kaibus, Teminabuan, Sorong. Ia bercerita tentang kedatanganya ke kantorku untuk meminta bantuan. Ia memohon bantuan untuk memberikan buku-buku bagi upaya pemberdayaan yang dilakukannya bersama kawan-kawan karyawan Caltex bagi perempuan janda korban bencana Wasior.


Dari sudut matanya, saya melihat kegundahannya. Ia kemudian bercerita, sejak 2 tahun setelah banjir bandang terjadi, tak ada lagi bantuan yang datang ke Wasior. Kini kota Wasiror sudah tidak ada lagi. Ia digantikan oleh lebatnya hutan dan tumpukan bebatuan serta sisa kayu gelondingan. Dan kota ini, sudah tidak mungkin dibangun lagi. Hancur karena banjir. Kemudian manusianya pun kehilangan langkah untuk menapaki masa depan. Banyak perempuan yang depresi karena ditinggal suaminya. Banyak anak yang tidak bisa lagi bersekolah. Wasior bukan hanya bencana alam, ini bencana kemanusiaan.

Menurut pak Richard, sejak 2 tahun pasca bencana. Tidak ada lagi yang memperhatikan Wasior. Menurutya, ini akibat dari bencana Wasior yang berbarengan dengan bencana tsunami Mentawai dan meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta. Baginya, Wasior telah ditinggalkan tanpa perduli. Tanpa ada yang mau menengok. Dan kini, banyak perempuan depresi karena ganasnya banjir disertai kayu glondongan yang meluncur ke Wasior. Mereka ada yang gila, berbicara sendiri dan bunuh diri.

http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/5/wasior-pasca-banjir
Sekarang, ditengah segala ketidakmampuan. Pak Richard dan teman-temanya ABK Caltex, berusaha untuk membantu para korban. Ia bersama teman seperkutuan di gereja, melakukan pendampingan kepada perempuan korban bencana. Bersama teman-temanya, ia ingin menolong perempuan korban bencana yang terancam depresi tanpa penanganan. Sebagai langkah awal, seluruh perempuan sejumlah 64 orang, diungsikan ke perumahan para pekerja Caltex yang ada di Kaibus. Mereka ikut ke keluarga para pekerja Caltex. Pak Richard ingin memberikan pemberdayaan meskipun jelas ini tidak mudah.

Usaha yang pertama ia lakukan adalah dengan berbicara dengan camat setempat. Ia bingung kemana dan darimana harus memulai melakukan pemberdayaan. Bebekal cerita dari pak camat, ia mendapatkan alamat kantorku. Ia ke jogja, setelah sebelumnya kapal berlabuh di Cilacap untuk mengambil bahan bakar. Ia hanya punya waktu hari ini untuk ke Jogja. Mencari buku pemberdayaan dan juga buku tentang keagamaan untuk penguatan psikologis korban. Sekalipun ia non muslim, ia rela berputar-putar ke Fatayat NU dan PP Muhammadiyah untuk mendapatkan sumbangan buku-buku islami dan Al Quran berdasarkan alamat yang saya berikan kepadanya.

http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/2/wasior-pasca-banjir
Saya sempat menanyakan alamatnya di sana, siapa tahu dia membutuhkan kiriman buku lagi. Dia tersenyum kecut. Katanya, ia membutuhkan buku, tetapi dia tidak yakin bukunya akan sampai ketujuan. Sepengalamanya, mengirimkan barang ke Papua, biasanya barang ditumpuk dulu di Jakarta, menunggu sampai barang yang dikirim ke Papua banyak. Setelah sampai ke Papua pun, masih ditumpuk di Manokwari dulu, sampai kira-kira cukup banyak baru dikirim ke Kaibus. Ini memakan jangkan waktu sangat panjang, berbulan-bulan. Dia tidak yakin, bukunya akan utuh ketika sampai dialamat tujuan. Karena, ia pernah mendapatkan kiriman 20 Alkitab, dan sesampainya di Kaibus, buku yang masih utuh hanya 2 buah. Yang lain rusak dimakan rayap atau tak sempurna lagi bentuknya akibat perjalanan.

Menurut ceritanya, bencana Wasior adalah akibat tidak patuhnya perusahaan kayu yang melakukan eksplorasi di Wasior tanpa menanam lagi pohon yang ditebang. Menurut hukum adat di Wasior, tiap orang yang melakukan penebangan satu pohon, wajib untuk menanam satu pohon pengganti. Ini tidak dipatuhi perusahaan kayu. Ia tetap semena-mena menebang karena dilindungi oleh salah satu petinggi di DPR , anak orang nomor satu dinegeri ini. Itu kenapa, si bapak dari anak yang menikah pada tanggal 1 suro itu, langsung cekatan berkata Wasior terjadi bukan karena eksplorasi alam, tetapi murni bencana. Miris, punya pemimpin pelindung anak, bukan pelindung rakyat.

Kini, para perempuan korban dan seluruh waga Wasior masih berjibaku di bawah tenda yang basah setiap kali hujan. Kedinginan dan mungkin saja kelaparan. Tanpa pernah ada keperdulian dari pemerintah. Wajar, bila sebagian saudara mereka menutut merdeka. Ketika tanah mereka dijajah oleh korporasi dan mereka harus menanggung beban lingkungan dan bencana yang bertubi-tubi. Bagi saya, ini melebihi bencana kemanusiaan. Ini pembiaran secara terang-terangan yang dilakukan negara secara tidak beradab. Anak negeri ini dipaksa menanggung beban berat. Dan SENDIRI!!! Pray for Wasior (ney)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Growing Pains

Banyak kesedihan yang ku tanggung. Seandainya aku boleh meminta dan mengulang waktu, aku ingin Bapak ku sehat. Menemaniku aku tumbuh dengan ...