Pagi ini, 11 Januari 2011, pukul
09.45 saya menyeduh kopi Cordova hangat pemberian tante Tiwuk, rekan satu
kantor saya. Katanya kopi ini sangat enak dan tentu saja kopi amat membantu
saya untuk merenung. Terlebih, saya baru saja mendengar sebuah cerita. Ya,
cerita ujung pulau paling timur Indonesia, Papua dari seorang ABK kapal tanker
Caltex, Richard Supriyadi. Biasa dipanggil pak Richard. Ia bercerita tentang
kejadian 4 Oktober 2010 yang lalu, tentang banjir bandang Wasior.
http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/1/wasior-pasca-banjir |
Pak Richard, datang ke kantorku
dengan membawa tas hitam kecil. Perawakanya kurus kecil. Ia memakai celana
panjang yang agak kedodoran. Tatapanya sangat teduh. Ia berkerja sebagai anak
buah kapal (ABK) di perusahaan bahan bakar dan oli Caltex di Kaibus,
Teminabuan, Sorong. Ia bercerita tentang kedatanganya ke kantorku untuk meminta
bantuan. Ia memohon bantuan untuk memberikan buku-buku bagi upaya pemberdayaan
yang dilakukannya bersama kawan-kawan karyawan Caltex bagi perempuan janda
korban bencana Wasior.
Dari sudut matanya, saya melihat
kegundahannya. Ia kemudian bercerita, sejak 2 tahun setelah banjir bandang
terjadi, tak ada lagi bantuan yang datang ke Wasior. Kini kota Wasiror sudah
tidak ada lagi. Ia digantikan oleh lebatnya hutan dan tumpukan bebatuan serta
sisa kayu gelondingan. Dan kota ini, sudah tidak mungkin dibangun lagi. Hancur
karena banjir. Kemudian manusianya pun kehilangan langkah untuk menapaki masa
depan. Banyak perempuan yang depresi karena ditinggal suaminya. Banyak anak
yang tidak bisa lagi bersekolah. Wasior bukan hanya bencana alam, ini bencana
kemanusiaan.
Menurut pak Richard, sejak 2
tahun pasca bencana. Tidak ada lagi yang memperhatikan Wasior. Menurutya, ini
akibat dari bencana Wasior yang berbarengan dengan bencana tsunami Mentawai dan
meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta. Baginya, Wasior telah ditinggalkan
tanpa perduli. Tanpa ada yang mau menengok. Dan kini, banyak perempuan depresi
karena ganasnya banjir disertai kayu glondongan yang meluncur ke Wasior. Mereka
ada yang gila, berbicara sendiri dan bunuh diri.
http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/5/wasior-pasca-banjir |
Sekarang, ditengah segala
ketidakmampuan. Pak Richard dan teman-temanya ABK Caltex, berusaha untuk
membantu para korban. Ia bersama teman seperkutuan di gereja, melakukan
pendampingan kepada perempuan korban bencana. Bersama teman-temanya, ia ingin
menolong perempuan korban bencana yang terancam depresi tanpa penanganan.
Sebagai langkah awal, seluruh perempuan sejumlah 64 orang, diungsikan ke
perumahan para pekerja Caltex yang ada di Kaibus. Mereka ikut ke keluarga para
pekerja Caltex. Pak Richard ingin memberikan pemberdayaan meskipun jelas ini
tidak mudah.
Usaha yang pertama ia lakukan
adalah dengan berbicara dengan camat setempat. Ia bingung kemana dan darimana
harus memulai melakukan pemberdayaan. Bebekal cerita dari pak camat, ia
mendapatkan alamat kantorku. Ia ke jogja, setelah sebelumnya kapal berlabuh di
Cilacap untuk mengambil bahan bakar. Ia hanya punya waktu hari ini untuk ke Jogja.
Mencari buku pemberdayaan dan juga buku tentang keagamaan untuk penguatan
psikologis korban. Sekalipun ia non muslim, ia rela berputar-putar ke Fatayat
NU dan PP Muhammadiyah untuk mendapatkan sumbangan buku-buku islami dan Al Quran
berdasarkan alamat yang saya berikan kepadanya.
http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/10/182037/1460599/157/2/wasior-pasca-banjir |
Saya sempat menanyakan alamatnya
di sana, siapa tahu dia membutuhkan kiriman buku lagi. Dia tersenyum kecut.
Katanya, ia membutuhkan buku, tetapi dia tidak yakin bukunya akan sampai
ketujuan. Sepengalamanya, mengirimkan barang ke Papua, biasanya barang ditumpuk
dulu di Jakarta, menunggu sampai barang yang dikirim ke Papua banyak. Setelah
sampai ke Papua pun, masih ditumpuk di Manokwari dulu, sampai kira-kira cukup
banyak baru dikirim ke Kaibus. Ini memakan jangkan waktu sangat panjang,
berbulan-bulan. Dia tidak yakin, bukunya akan utuh ketika sampai dialamat
tujuan. Karena, ia pernah mendapatkan kiriman 20 Alkitab, dan sesampainya di Kaibus,
buku yang masih utuh hanya 2 buah. Yang lain rusak dimakan rayap atau tak
sempurna lagi bentuknya akibat perjalanan.
Menurut ceritanya, bencana Wasior
adalah akibat tidak patuhnya perusahaan kayu yang melakukan eksplorasi di
Wasior tanpa menanam lagi pohon yang ditebang. Menurut hukum adat di Wasior,
tiap orang yang melakukan penebangan satu pohon, wajib untuk menanam satu pohon
pengganti. Ini tidak dipatuhi perusahaan kayu. Ia tetap semena-mena menebang
karena dilindungi oleh salah satu petinggi di DPR , anak orang nomor satu
dinegeri ini. Itu kenapa, si bapak dari anak yang menikah pada tanggal 1 suro
itu, langsung cekatan berkata Wasior terjadi bukan karena eksplorasi alam,
tetapi murni bencana. Miris, punya pemimpin pelindung anak, bukan pelindung
rakyat.
Kini, para perempuan korban dan
seluruh waga Wasior masih berjibaku di bawah tenda yang basah setiap kali
hujan. Kedinginan dan mungkin saja kelaparan. Tanpa pernah ada keperdulian dari
pemerintah. Wajar, bila sebagian saudara mereka menutut merdeka. Ketika tanah
mereka dijajah oleh korporasi dan mereka harus menanggung beban lingkungan dan
bencana yang bertubi-tubi. Bagi saya, ini melebihi bencana kemanusiaan. Ini
pembiaran secara terang-terangan yang dilakukan negara secara tidak beradab.
Anak negeri ini dipaksa menanggung beban berat. Dan SENDIRI!!! Pray for Wasior
(ney)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar